Leon terkejut. Apa yang tadi dia tawarkan? Dia dengan sengaja dan tidak bercanda bersedia menemani Alman di rumah sakit malam itu? Pertanyaan Mentari membuat Leon seperti bangun dari mimpi saja. "Ahh, yaa ..." Leon tidak meralat ucapannya. Dia meyakinkan Mentari kalau dia memang mau tinggal di rumah sakit. "Aku ga tahu gimana mau ngucapin terima kasih, Mas. Beneran, aku lega sekali." Mentari memandang Leon dengan wajah terharu dan penuh rasa terima kasih. "Kita kan, harus saling bantu. Kalau gue bisa, kenapa nggak?" Leon tersenyum. "Baiklah, kurasa aku harus melanjutkan melihat pasien lain. Sebentar lagi kalau tidak ada keluhan, Pak Alman bisa dipindahkan ke ruangan. Selamat malam, selamat beristirahat, Pak Alman." Dokter pamitan. "Sekali lagi terima kasih, Dok. Mbak Suster juga." Alman tersenyum kecil. Dokter dan perawat meninggalkan ruangan itu. Tinggal Leon dan Mentari berhadapan. "Lu balik?" Leon bertanya pada Mentari. "Mas, aku ga tahu balik ke mal gimana?" Mentari melihat
"Sof, ini teman paling baikku yang aku pernah cerita." Leon memegang bahu Baharudin. "Sofi? Gue Udin." Dengan senyum lebar, Baharudin mengulurkan tangan, menjabat tangan Mentari. Roman muka kesal pemuda itu berubah seketika. "Yang kasih Mas Agus HP?" tanya Mentari. "Ya, betul. " Leon mengangguk cepat. "Apa?" Baharudin bingung dengan percakapan dua orang di depannya itu. "Mobil yang tadi Mas Agus pakai juga punya dia?" tanya Mentari lagi. "Heii, tunggu!" Baharudin menyela. "Aku tahu, lu ga suka gue cerita kebaikan lu. Tapi Sofi teman baik gue juga, Din. Ga apalah dia tahu." Leon memotong ucapan Baharudin. "Yang bener aja, Gus!" sahut Baharudin. "Udah, gue jalan. Keburu makin malam." Leon menghindar berdebat dengan Baharudin. Tangannya dengan cepat meraih jemari Mentari dan menggandeng gadis itu, mengajaknya segera pergi. "Agus!" Baharudin masih mau protes. Tapi dia di rumah sakit, tidak mungkin berteriak kesal pada sohibnya yang semaunya itu. "Dasar, Agus Dodol! Kenapa jadi g
"Lu ga becanda, kan, Leon? Lu serius beneran suka sama cewek kecil kurus itu?" Suara itu terdengar jelas di ruangan itu. Nada terkejut yang muncul. Suara itu membuat Alman terjaga. Dia mencoba membuka mata, tapi masih sangat berat. Badannya juga hampir tak bisa dia gerakkan. Alman menarik nafas panjang, berusaha membuka mata, ingin tahu siapa yang ada di ruangannya. Apakah itu perawat? "Aku serius, Din. Jujur aja, gue awalnya ga yakin sama perasaan gue. Tapi makin ke sini, main gue ga bisa nolak, gue mulai sayang sama Sofi." Suara itu, Alman hapal sekali. Itu suara si Agus.Apa Alman tidak salah dengar? Perlahan jari tangan Alman bergerak. Matanya, dia coba membukanya lagi, tapi masih sulit juga."Leon, lu ini anak Tuan Alvarez. Tuan Muda Leonardo Fidel Alvarez. Kalau nyokap bokap lu tahu, apa mereka bilang?" Suara itu lagi yang berbicara.Alman mulai bisa membuka mata dengan jelas. Tapi dia masih pura-pura tidur. Dan percakapan itu sepertinya tidak boleh dia lewatkan."Sofi tahu el
Alman mendesah. Beberapa kali dia menarik napas dalam. Yang melintasi pikirannya bukan hanya soal Leon yang meyakinkan dirinya kalau anak big big bos jatuh cinta pada Mentari, gadis malang yang dia temukan di atap mal. Tapi, kisah pedih diri Alman sendiri terpampang di depan mata. Wanita yang dia cintai adalah anak orang yang cukup berada, meski tidak sesultan Tuan Alvarez. Demi cinta pada Alman, dia rela. meninggalkan keluarga. Yang terjadi? Tidak pernah sedikitpun keluarga wanita kecintaan Alman mau bersentuhan dengannya lagi. Dan baru sedikit bahagia menyapa, kecelakaan mengenaskan menerjang. Hingga bukan hanya dia ikut terenggut nyawa, buah hati mereka satu-satunya juga turut pergi selamanya. "Om, aku janji aku akan melakukan yang terbaik buat Sofi. Om ga usah kuatir." Kalimat itu membuyarkan lamunan Alman. "Aku bisa bilang apa, Tuan Muda? Sekuat apa aku bilang jangan, yang aku lihat ... hmm ..." Desahan kembali terlontar dari pria berkumis itu. "... kalau Sofi juga punya hati u
Mentari menunggu Leon menjelaskan apa yang terjadi dengan Alman. Sejak pagi Mentari berharap Leon segera datang dan memberi kabar. Tetapi tidak juga muncul. Begitu dia datang, yang Mentari lihat, Leon didekati Lila. Lila makin gencar mengejar cinta pegawai tampan itu. Dan Mentari merasa ciut. "Kamu mau kabar baik atau kabar buruk? Yang mana lebih dulu?" Leon masih dengan pandangan tegang, bertanya tanpa ada senyum yang biasanya dia urai di bibirnya. "Mas, jangan buat aku tambah tegang dan cemas. Kasih tahu aja Om Al kenapa?" Mentari tak sabar lagi rasanya. "Hari ini dia ..." Leon sengaja menggantung ucapannya. Mata Mentari tak berkedip. Leon seperti takut menyampaikan kabar tentang Alman. "Mas Agus ..." Mentari memanggil bermaksud memohon agar Leon segera bicara. "Om Al akan segera pulang. Kemungkinan besar besok. " Leon mengubah lagi mimik wajahnya. Senyum lebar muncul di sana. "Ahh, Mas Agus! Bikin aku kaget. Beneran aku terkejut." Mentari lega mendengar itu. "Hee ... hee ...
Mentari memegang di tangannya ponsel dengan warna biru cerah cantik. Dia tahu itu bukan HP keluaran baru. Bahkan ponsel Mentari yang dia tinggal di rumah besar tempat penampungan wanita malam itu, masih lebih bagus. Tapi kenapa Leon membeli HP buatnya? "Mas, ini maksudnya gimana?" ulang Mentari bertanya. "Sof, jangan marah dan jangan tersinggung. Aku tahu kamu butuh HP. Kamu perlu komunikasi dengan orang lain. Dan HP itu vital zaman sekarang, Sofi." Leon mencoba menjelaskan tujuannya. "Aku tahu, Mas. Tapi ga usah Mas Agus repot beliin aku kayak gini. Mas Agus dapat uang dari mana?" tanya Mentari. Ini benar-benar di luar dugaan Mentari! "Itu HP murah, HP tipe lama." Leon tahu apa yang ada di benak Mentari. "Iya, Mas. Aku tahu," sahut Mentari. "Jujur, Mas Agus dapat uang dari mana? Jangan bilang buka celengan. Atau, hasil job Mas Agus yang lain, kayak yang nyariin kado waktu itu ... Mas, ini berlebihan." Mentari meras sangat tidak enak dengan yang Leon lakukan. "Aku cuma mau mempe
Leon tersenyum dan menggeleng kecil. "Mama kangen sama aku. Minta aku cepat pulang." Leon menjawab. "Ah, semalam jaga di sini ya, temani Om Al. Maaf. Harusnya Mas Agus bisa tidur di rumah." Mentari merasa tidak enak Leon sampai dicari ibunya. "Kamu tuh, lugu amat. Aku canda doang, Sof. Mama cuma nitip dibelikan roti buat sarapan besok." Leon bicara asal. Ada hal lain yang sebenarnya yang diinginkan mamanya, tapi Leon tidak mungkin cerita. "Oohh ..." Mentari mengangguk-angguk. "Makananku abis. Kenyang." Alman meletakkan piring di nakas kecil sebelah ranjang. Mentari bergeser tiga langkah. Dia bantu Alman minum obat. Lalu Alman merebahkan badan dengan posisi kepala agak tinggi. "Kita makan dulu, sekalian aku beresin HP. Abis itu aku pulang." Leon menepuk bahu Mentari. "Ya, Mas." Mentari manut. Mereka keluar ruangan dan menuju ke kantin. Seperti sebelumnya, Leon duduk di kursi yang sama. Mentari duduk di depannya. Mentari memesan gado-gado dua porsi. Dia langsung membayarnya seka
Asterita terkejut dengan reaksi Leon yang meledak tiba-tiba. Tidak dia kira putra sulungnya akan sekeras itu. Dia berusaha memahami selama ini luka Leon karena kehilangan dan pengkhianatan Hera. Tetapi semua itu sudah lewat. Waktu terus berjalan, Leon makin dewasa dan seharusnya dia siap memulai hubungan yang baru. "Sayang ... Mama lakukan ini karena sayang sama kamu." Asterita tidak melepaskan tangan Leon. Dia harus bisa meraih hati putranya dan membuat Leon menerima maksud baiknya. Leon akan menjadi pimpinan. Dia butuh pendamping yang tepat untuk bisa memahami dirinya. Seorang yang sepadan dan bisa mendukung Leon. Retha dalam bayangan Asterita adalah salah satu yang sangat mungkin. Dari keluarga dan pendidikan, dia akan bisa mengimbangi Leon. Tinggal keterbukaan Leon saja memberi kesempatan dirinya dan Retha untuk bisa saling mengenal. "Ada apa ini? Kalian serius sekali?" Horacio muncul dan duduk di samping Asterita. "Papa juga setuju dengan yang Mama rencanakan?" Leon beralih m