Leon berbalik cepat! Pria berkumis dengan tubuh agak gendut itu menatap Leon tajam. Ada rasa curiga yang besar dia tunjukkan di wajahnya. "Hei, Om! Hee ... hhee ..." Leon tersenyum sampai gigi putihnya terlihat jelas. "Ga apa-apa. Mau balik kerja!" ujar Leon. Dia acungkan alat pel yang dia pegang. "Kamu ngintipin Sofi?" Alman dengan nada tidak suka bicara ketus. "Cuma mau mastiin aja, dia baik-baik," kata Leon. "Emang di sini ada penjahat apa? Dia pasti baik-baik. Kerja sana yang bener, biar ga usah dipindah-pindah. Masih bagus kamu ga dipecat!" gertak Alman kesal. "Iya, Om, siap." Leon menaikkan jemarinya di pelipis memberi hormat pada Alman. "Pakai hormat?! Kamu kira aku ini komandan peleton apa gimana?" Alman menggeleng dengan muka belum lega. "Hee ... hee ..." Leon menggaruk-garuk kepala sambil ngeloyor pergi. Alman berkacak pinggang sampai benar-benar Leon menghilang dari tempat itu. Lalu Alman berjalan mendekati Mentari yang ada di lorong arah masuk toilet. "Sofi!" Alma
Mentari panik! Dia bersimpuh di sebelah Alman sambil berusaha menahan tangis. Satpam di depan mal sudah ikut menolong. Alman dibawa ke tepi agar tidak menghalangi orang berlalu lalang. Mereka yang merubung segera diminta minggir supaya ada udara terbuka untuk Alman bernapas lega. "Om! Bangun, Om! Ayo, bangun!" kata Mentari dengan cemas. "Ini harus dibawa ke rumah sakit, Neng. Pasti ada sesuatu, bapaknya jatuh tiba-tiba gitu." Seorang ibu yang ikut menolong bicara pada Mentari. "Rumah sakit?" Mentari tidak tahu harus bagaimana. Dia cemas dan takut. Berurusan dengan rumah sakit? "Maaf, ada apa ini?" Seorang pria mendekat. "Mas Agus!" Mentari tidak menduga Leon masih ada di mal ternyata. "Om Al? Apa yang terjadi?" Leon ikut berjongkok di samping Mentari. "Ga tahu, Mas. Tiba-tiba pingsan. Aku bingung. Aku harus bagaimana ini?" Mata Mentari berkaca-kaca. Pandangannya menghujam Leon. Dari tatapan itu, Leon tahu, Mentari butuh pertolongan. Leon mengangkat kepala, melihat pada satpam y
Leon terkejut. Apa yang tadi dia tawarkan? Dia dengan sengaja dan tidak bercanda bersedia menemani Alman di rumah sakit malam itu? Pertanyaan Mentari membuat Leon seperti bangun dari mimpi saja. "Ahh, yaa ..." Leon tidak meralat ucapannya. Dia meyakinkan Mentari kalau dia memang mau tinggal di rumah sakit. "Aku ga tahu gimana mau ngucapin terima kasih, Mas. Beneran, aku lega sekali." Mentari memandang Leon dengan wajah terharu dan penuh rasa terima kasih. "Kita kan, harus saling bantu. Kalau gue bisa, kenapa nggak?" Leon tersenyum. "Baiklah, kurasa aku harus melanjutkan melihat pasien lain. Sebentar lagi kalau tidak ada keluhan, Pak Alman bisa dipindahkan ke ruangan. Selamat malam, selamat beristirahat, Pak Alman." Dokter pamitan. "Sekali lagi terima kasih, Dok. Mbak Suster juga." Alman tersenyum kecil. Dokter dan perawat meninggalkan ruangan itu. Tinggal Leon dan Mentari berhadapan. "Lu balik?" Leon bertanya pada Mentari. "Mas, aku ga tahu balik ke mal gimana?" Mentari melihat
"Sof, ini teman paling baikku yang aku pernah cerita." Leon memegang bahu Baharudin. "Sofi? Gue Udin." Dengan senyum lebar, Baharudin mengulurkan tangan, menjabat tangan Mentari. Roman muka kesal pemuda itu berubah seketika. "Yang kasih Mas Agus HP?" tanya Mentari. "Ya, betul. " Leon mengangguk cepat. "Apa?" Baharudin bingung dengan percakapan dua orang di depannya itu. "Mobil yang tadi Mas Agus pakai juga punya dia?" tanya Mentari lagi. "Heii, tunggu!" Baharudin menyela. "Aku tahu, lu ga suka gue cerita kebaikan lu. Tapi Sofi teman baik gue juga, Din. Ga apalah dia tahu." Leon memotong ucapan Baharudin. "Yang bener aja, Gus!" sahut Baharudin. "Udah, gue jalan. Keburu makin malam." Leon menghindar berdebat dengan Baharudin. Tangannya dengan cepat meraih jemari Mentari dan menggandeng gadis itu, mengajaknya segera pergi. "Agus!" Baharudin masih mau protes. Tapi dia di rumah sakit, tidak mungkin berteriak kesal pada sohibnya yang semaunya itu. "Dasar, Agus Dodol! Kenapa jadi g
"Lu ga becanda, kan, Leon? Lu serius beneran suka sama cewek kecil kurus itu?" Suara itu terdengar jelas di ruangan itu. Nada terkejut yang muncul. Suara itu membuat Alman terjaga. Dia mencoba membuka mata, tapi masih sangat berat. Badannya juga hampir tak bisa dia gerakkan. Alman menarik nafas panjang, berusaha membuka mata, ingin tahu siapa yang ada di ruangannya. Apakah itu perawat? "Aku serius, Din. Jujur aja, gue awalnya ga yakin sama perasaan gue. Tapi makin ke sini, main gue ga bisa nolak, gue mulai sayang sama Sofi." Suara itu, Alman hapal sekali. Itu suara si Agus.Apa Alman tidak salah dengar? Perlahan jari tangan Alman bergerak. Matanya, dia coba membukanya lagi, tapi masih sulit juga."Leon, lu ini anak Tuan Alvarez. Tuan Muda Leonardo Fidel Alvarez. Kalau nyokap bokap lu tahu, apa mereka bilang?" Suara itu lagi yang berbicara.Alman mulai bisa membuka mata dengan jelas. Tapi dia masih pura-pura tidur. Dan percakapan itu sepertinya tidak boleh dia lewatkan."Sofi tahu el
Alman mendesah. Beberapa kali dia menarik napas dalam. Yang melintasi pikirannya bukan hanya soal Leon yang meyakinkan dirinya kalau anak big big bos jatuh cinta pada Mentari, gadis malang yang dia temukan di atap mal. Tapi, kisah pedih diri Alman sendiri terpampang di depan mata. Wanita yang dia cintai adalah anak orang yang cukup berada, meski tidak sesultan Tuan Alvarez. Demi cinta pada Alman, dia rela. meninggalkan keluarga. Yang terjadi? Tidak pernah sedikitpun keluarga wanita kecintaan Alman mau bersentuhan dengannya lagi. Dan baru sedikit bahagia menyapa, kecelakaan mengenaskan menerjang. Hingga bukan hanya dia ikut terenggut nyawa, buah hati mereka satu-satunya juga turut pergi selamanya. "Om, aku janji aku akan melakukan yang terbaik buat Sofi. Om ga usah kuatir." Kalimat itu membuyarkan lamunan Alman. "Aku bisa bilang apa, Tuan Muda? Sekuat apa aku bilang jangan, yang aku lihat ... hmm ..." Desahan kembali terlontar dari pria berkumis itu. "... kalau Sofi juga punya hati u
Mentari menunggu Leon menjelaskan apa yang terjadi dengan Alman. Sejak pagi Mentari berharap Leon segera datang dan memberi kabar. Tetapi tidak juga muncul. Begitu dia datang, yang Mentari lihat, Leon didekati Lila. Lila makin gencar mengejar cinta pegawai tampan itu. Dan Mentari merasa ciut. "Kamu mau kabar baik atau kabar buruk? Yang mana lebih dulu?" Leon masih dengan pandangan tegang, bertanya tanpa ada senyum yang biasanya dia urai di bibirnya. "Mas, jangan buat aku tambah tegang dan cemas. Kasih tahu aja Om Al kenapa?" Mentari tak sabar lagi rasanya. "Hari ini dia ..." Leon sengaja menggantung ucapannya. Mata Mentari tak berkedip. Leon seperti takut menyampaikan kabar tentang Alman. "Mas Agus ..." Mentari memanggil bermaksud memohon agar Leon segera bicara. "Om Al akan segera pulang. Kemungkinan besar besok. " Leon mengubah lagi mimik wajahnya. Senyum lebar muncul di sana. "Ahh, Mas Agus! Bikin aku kaget. Beneran aku terkejut." Mentari lega mendengar itu. "Hee ... hee ...
Mentari memegang di tangannya ponsel dengan warna biru cerah cantik. Dia tahu itu bukan HP keluaran baru. Bahkan ponsel Mentari yang dia tinggal di rumah besar tempat penampungan wanita malam itu, masih lebih bagus. Tapi kenapa Leon membeli HP buatnya? "Mas, ini maksudnya gimana?" ulang Mentari bertanya. "Sof, jangan marah dan jangan tersinggung. Aku tahu kamu butuh HP. Kamu perlu komunikasi dengan orang lain. Dan HP itu vital zaman sekarang, Sofi." Leon mencoba menjelaskan tujuannya. "Aku tahu, Mas. Tapi ga usah Mas Agus repot beliin aku kayak gini. Mas Agus dapat uang dari mana?" tanya Mentari. Ini benar-benar di luar dugaan Mentari! "Itu HP murah, HP tipe lama." Leon tahu apa yang ada di benak Mentari. "Iya, Mas. Aku tahu," sahut Mentari. "Jujur, Mas Agus dapat uang dari mana? Jangan bilang buka celengan. Atau, hasil job Mas Agus yang lain, kayak yang nyariin kado waktu itu ... Mas, ini berlebihan." Mentari meras sangat tidak enak dengan yang Leon lakukan. "Aku cuma mau mempe