"Langsung saja ya, ga banyak waktu. Takut hadiahnya ga sampai on time pada orangnya." Leon tidak mau meladeni tatapan penuh tanya dari wajah Mentari. Lebih baik tujuan dia meminta Mentari membantunya segera diwujudkan."Iya, Mas. Jadi bisa kasih info?" Mentari pun fokus pada rencana urusan cari kado.Leon mulai berjalan. Mentari menjajari langkah Leon. Leon menyebutkan seperti apa Lusia secara umum saja. Dari info itu mulai pertanyaan Mentari mengerucut."Hobinya apa? Warna kesukaan? Hal yang berarti buat dia seperti apa?" Pertanyaan-pertanyaan itu Mentari ajukan. Leon menjawab saja apa yang Mentari tanya. Dari gambaran yang Mentari dapat, dia mulai memikirkan benda apa yang paling mungkin bisa menjadi sesuatu buat gadis yang sedikit lebih muda dari Mentari. Seorang mahasiswa, penyuka musik indie, membaca, dan menulis. Semua data yang Mentari terima, membawa langkah gadis itu ke toko pernak-pernik yang super komplit. Leon ngikut saja, ingin tahu kira-kira Mentari punya ide apa. Sebe
Leon tertawa mendengar kata-kata Lusia. Ya, Leon bukan tipe pria yang bisa bermanis-manis pada wanita. Waktu masih punya Hera, dia berusaha melakukan itu, tapi luka yang dalam mendera hatinya, membuat Leon memilih tak peduli dan dingin pada wanita. Bahkan pada keluarganya sendiri. Lusia melirik kakaknya. Dia berjalan ke meja di teras, menaruh kado di sana. Lalu dia duduk dan mulai membuka kado yang Leon bilang istimewa itu. Leon sudah juga duduk di samping Lusia. Mata Lusia melebar saat melihat apa yang ada di dalam bungkusan cantik itu. "Ahh! Ini bagus! Kok tau sih, aku memang pingin ganti lampu belajar yang juga bisa jadi lampu tidur. Kamu bisa juga ya, baca pikiran orang?" Lusia tersenyum riang sambil mengusap lembut bagian-bagian lampu yang ada di depannya. "Hee ... hee ... Kamu kira aku ga tahu apa yang bagus buat kamu?" Leon kembali tersenyum lebar. Mengajak Mentari mencari kado buat Lusia ternyata pilihan yang sangat bagus. Senangnya bisa membuat adik satu-satunya sebahagia i
Leon refleks melangkah maju mendekat pada gudang di depannya. Dia penasaran apa mungkin ada orang di gudang sepagi itu? Betapa terkejutnya Leon, saat dari dalam gudang itu muncul gadis imut berambut coklat kemerahan dengan poni bagus di keningnya."Sofia?" ucap Leon hampir tak percaya apa yang dia lihat.Gadis itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mentari, sangat terkejut ada orang lain yang naik ke atap dan menemukan dia di gudang kosong itu."Mas Agus?" Gugup dengan wajah memerah, Mentari memandang Leon. Matanya melotot saking kagetnya."Kok kamu di sini?" Leon mencermati Mentari. Jelas terlihat gadis itu baru berganti pakaian. Dia rapi dengan seragam siap berangkat bekerja. "Ah, aku itu ... ehhh ..." Mentari bingung harus menjawa apa.Leon tidak menunggu jawaban. Kakinya segera bergerak mendekati pintu gudang dan melongok ke dalam tanpa bisa Mentari cegah. Leon melihat di dalam keadaan begitu sederhana, bahkan hampir tidak ada barang. Tapi tetap terlhat di dalam gudang itu su
Leon tidak menemukan apapun petunjuk tentang Mentari. Tidak ada hasil, Leon memilih keluar gudang kecil dan panas itu. Di luar gudang, sekalipun hawa panas mendera, angin cukup kuat menerpa, memberi rasa sejuk juga."Sorry, Sofi, terpaksa gue geledah gudang ini. Gue bukan orang yang kepo. Ga biasanya gue pake nyelidik orang. Tapi kalo mau terang-terangan, lu udah tinggal ilegal di mal gue." Leon memandang gudang yang telah kembali tertutup pintunya.Ttuttt!! Ttutttt!!Ponsel Leon berdering. Leon merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel untuk melihat panggilan siapa yang masuk."Pak Sujana?" Leon dengan cepat menerima panggilan itu. "Halo, Pak!""Tuan Muda, Tuan di mana? Aku dapat laporan mengejutkan pagi-pagi. Temui aku di kantor, segera." Sujana terdengar kesal bercampur panik."Ah, Pak Sujana sudah dengar soal keributan di gudang?" Leon tidak mengira secepat itu berita pertengkarannya dengan Seno sampai pada asisten papanya."Mataku ada di mana-mana, Tuan Muda. Aku mau Tuan Muda
Sujana menaikkan alisnya begitu melihat Leon tersenyum lebar."Tuan Muda tahu artinya kerja di divisi kebersihan?" tanya Sujana."Jadi cleaning service, kan?" Leon balik bertanya."Iya, itu termasuk. Tuan Muda kok keliatan senang?" sujana meminta penjelasan."Aku boleh memilih area mana yang akan jadi lokasi kerjaku?" pinta Leon."Yaa, boleh saja. Kenapa tidak?* jawab Sujana masih dengan rasa heran.*Nice. Kalau gitu aku mau ...." Leon mengutarakan apa yang ada di kepalanya.Sujana mendengarkan dengan serius apa yang Leon sampaikan. Agak aneh permintaan Leon menurut pikiran Sujana. Tetapi mau bagaimana Leon akan jadi pimpinan pucuk perusahaan. Sujana tidak boleh asal saja menempatkan Leon."Tuan Muda, ga salah Tuan mau di kamar mandi jadi cleaning service-nya?" tanya Sujana setelah mendengar penuturan Leon."Apa bahasaku susah dipahami, Pak?" Leon balik bertanya."Tidak, sangat jelas. Cuma ..." Sujana ragu menyelesaikan kalimatnya."Yang kerja di kamar mandi juga karyawan yang diperlu
Mentari menarik napas dalam. Bukan hal mudah baginya berkata sesuatu yang bukan kebenaran. Tetapi Mentari tidak mungkin mengatakan siapa dirinya. Dia adalah Sofia Agatha di mata semua pegawai di mal itu. Kalau tiba-tiba Mentari mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya, apa yang akan Leon katakan? Apa mungkin kira-kira Leon akan tetap baik padanya? Pria tampan penuh pesona itu sangat mungkin akan memandang dia sebagai pendusta. "Ini ... ceritaku pasti tidak menyenangkan untuk didengar. Kuharap, Mas Agus ga akan berpikir apa-apa kalau aku kasih tahu," kata Mentari berusaha tenang dengan mengucapkan kalimat pembuka. "Cerita saja. Gue siap dengar apapun itu," sahut Leon dengan cepat. Dia urungkan menggigit ayam yang sudah dekat ke mulutnya. "Aku asli dari Malang. Lulus SMA tahun lalu. Pingin kuliah ga ada biaya, karena aku hidup sendiri. Orang tuaku meninggal dalam waktu yang tidak berjarak lama. Ayahku kena liver kronis. Tidak sampai enam bulan, Ibu menyusul Ayah, dokter bilang Ibu me
"Aku udah cerita. Aku mau makan pizza. Lapar banget aku. Hee ... hhee ..." Mentari tersenyum lebar hingga giginya yang rapi terlihat. Leon termangu memandang Mentari. Dia masih merasa heran dengan rasa di hatinya. Sejak Leon kehilangan cinta terbaik yang dia rasa, tidak pernah rasa seperti ini hinggap di hati Leon. Sekian banyak teman wanita cantik dan berkelas mendekat, Leon tidak merasa apapun. Tapi dengan Mentari, mengapa rasa itu tiba-tiba muncul? "Mas Agus ga lapar?" Panggilan itu membuyarkan lamunan Leon. "Ya, ayo makan! Gue juga lapar banget!" Leon ikut melebarkan bibirnya yang bagus. Hampir bersamaan mereka memulai santapan yang sedari tadi belum jadi mereka nikmati. Pembicaraan kemudian berlanjut pada seputar pekerjaan. Bagaimana rasanya mereka bekerja di mal besar dengan banyak karyawan, banyak bagian, dan banyak yang diurusi. Mal selalu padat pengunjung dengan tingkah yang aneh-aneh dan bermacam model. Sesekali terdengar tawa mereka. Leon bisa saja membuat lelucon semen
Setelah mengucapkan itu Mentari cepat-cepat menuju pinggir tembok pembatas ke arah bagian depan mal. Mentari melongok ke jalan di depan mal itu. Dia berharap akan melihat Leon melintas di depan mal, seperti hari pertama dia melihat pria tampan penuh pesona itu. Tepat sekali! Leon melintas dengan motornya perlahan meninggalkan mal, bersatu dengan kendaraan di jalanan yang ramai. "Pokoknya Mas Agus harus cerita, biar aku ga sok tahu!" Mentari berteriak sekerasnya sambil terus memandang motor Leon yang makin menghilang di padatnya jalanan. Mentari berbalik ke depan gudang. Bungkus sisa pizza dan minuman dia bereskan. Lalu dia masukkan ke tas plastik besar di samping gudang. Mentari masuk ke dalam gudang dan merebahkan badannya. Perutnya penuh. Kenyang dengan makanan lezat yang jarang bisa dia nikmati. Rasa lelah dan kantuk dengan cepat menerjang. "Tuhan, aku cuma mau bersyukur, Kau lindungi aku, pelihara aku. Kau kirim orang-orang baik menolong aku bertahan. Om Al ... juga Mas Agus ..