Leon tidak menemukan apapun petunjuk tentang Mentari. Tidak ada hasil, Leon memilih keluar gudang kecil dan panas itu. Di luar gudang, sekalipun hawa panas mendera, angin cukup kuat menerpa, memberi rasa sejuk juga."Sorry, Sofi, terpaksa gue geledah gudang ini. Gue bukan orang yang kepo. Ga biasanya gue pake nyelidik orang. Tapi kalo mau terang-terangan, lu udah tinggal ilegal di mal gue." Leon memandang gudang yang telah kembali tertutup pintunya.Ttuttt!! Ttutttt!!Ponsel Leon berdering. Leon merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel untuk melihat panggilan siapa yang masuk."Pak Sujana?" Leon dengan cepat menerima panggilan itu. "Halo, Pak!""Tuan Muda, Tuan di mana? Aku dapat laporan mengejutkan pagi-pagi. Temui aku di kantor, segera." Sujana terdengar kesal bercampur panik."Ah, Pak Sujana sudah dengar soal keributan di gudang?" Leon tidak mengira secepat itu berita pertengkarannya dengan Seno sampai pada asisten papanya."Mataku ada di mana-mana, Tuan Muda. Aku mau Tuan Muda
Sujana menaikkan alisnya begitu melihat Leon tersenyum lebar."Tuan Muda tahu artinya kerja di divisi kebersihan?" tanya Sujana."Jadi cleaning service, kan?" Leon balik bertanya."Iya, itu termasuk. Tuan Muda kok keliatan senang?" sujana meminta penjelasan."Aku boleh memilih area mana yang akan jadi lokasi kerjaku?" pinta Leon."Yaa, boleh saja. Kenapa tidak?* jawab Sujana masih dengan rasa heran.*Nice. Kalau gitu aku mau ...." Leon mengutarakan apa yang ada di kepalanya.Sujana mendengarkan dengan serius apa yang Leon sampaikan. Agak aneh permintaan Leon menurut pikiran Sujana. Tetapi mau bagaimana Leon akan jadi pimpinan pucuk perusahaan. Sujana tidak boleh asal saja menempatkan Leon."Tuan Muda, ga salah Tuan mau di kamar mandi jadi cleaning service-nya?" tanya Sujana setelah mendengar penuturan Leon."Apa bahasaku susah dipahami, Pak?" Leon balik bertanya."Tidak, sangat jelas. Cuma ..." Sujana ragu menyelesaikan kalimatnya."Yang kerja di kamar mandi juga karyawan yang diperlu
Mentari menarik napas dalam. Bukan hal mudah baginya berkata sesuatu yang bukan kebenaran. Tetapi Mentari tidak mungkin mengatakan siapa dirinya. Dia adalah Sofia Agatha di mata semua pegawai di mal itu. Kalau tiba-tiba Mentari mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya, apa yang akan Leon katakan? Apa mungkin kira-kira Leon akan tetap baik padanya? Pria tampan penuh pesona itu sangat mungkin akan memandang dia sebagai pendusta. "Ini ... ceritaku pasti tidak menyenangkan untuk didengar. Kuharap, Mas Agus ga akan berpikir apa-apa kalau aku kasih tahu," kata Mentari berusaha tenang dengan mengucapkan kalimat pembuka. "Cerita saja. Gue siap dengar apapun itu," sahut Leon dengan cepat. Dia urungkan menggigit ayam yang sudah dekat ke mulutnya. "Aku asli dari Malang. Lulus SMA tahun lalu. Pingin kuliah ga ada biaya, karena aku hidup sendiri. Orang tuaku meninggal dalam waktu yang tidak berjarak lama. Ayahku kena liver kronis. Tidak sampai enam bulan, Ibu menyusul Ayah, dokter bilang Ibu me
"Aku udah cerita. Aku mau makan pizza. Lapar banget aku. Hee ... hhee ..." Mentari tersenyum lebar hingga giginya yang rapi terlihat. Leon termangu memandang Mentari. Dia masih merasa heran dengan rasa di hatinya. Sejak Leon kehilangan cinta terbaik yang dia rasa, tidak pernah rasa seperti ini hinggap di hati Leon. Sekian banyak teman wanita cantik dan berkelas mendekat, Leon tidak merasa apapun. Tapi dengan Mentari, mengapa rasa itu tiba-tiba muncul? "Mas Agus ga lapar?" Panggilan itu membuyarkan lamunan Leon. "Ya, ayo makan! Gue juga lapar banget!" Leon ikut melebarkan bibirnya yang bagus. Hampir bersamaan mereka memulai santapan yang sedari tadi belum jadi mereka nikmati. Pembicaraan kemudian berlanjut pada seputar pekerjaan. Bagaimana rasanya mereka bekerja di mal besar dengan banyak karyawan, banyak bagian, dan banyak yang diurusi. Mal selalu padat pengunjung dengan tingkah yang aneh-aneh dan bermacam model. Sesekali terdengar tawa mereka. Leon bisa saja membuat lelucon semen
Setelah mengucapkan itu Mentari cepat-cepat menuju pinggir tembok pembatas ke arah bagian depan mal. Mentari melongok ke jalan di depan mal itu. Dia berharap akan melihat Leon melintas di depan mal, seperti hari pertama dia melihat pria tampan penuh pesona itu. Tepat sekali! Leon melintas dengan motornya perlahan meninggalkan mal, bersatu dengan kendaraan di jalanan yang ramai. "Pokoknya Mas Agus harus cerita, biar aku ga sok tahu!" Mentari berteriak sekerasnya sambil terus memandang motor Leon yang makin menghilang di padatnya jalanan. Mentari berbalik ke depan gudang. Bungkus sisa pizza dan minuman dia bereskan. Lalu dia masukkan ke tas plastik besar di samping gudang. Mentari masuk ke dalam gudang dan merebahkan badannya. Perutnya penuh. Kenyang dengan makanan lezat yang jarang bisa dia nikmati. Rasa lelah dan kantuk dengan cepat menerjang. "Tuhan, aku cuma mau bersyukur, Kau lindungi aku, pelihara aku. Kau kirim orang-orang baik menolong aku bertahan. Om Al ... juga Mas Agus ..
Leon berbalik cepat! Pria berkumis dengan tubuh agak gendut itu menatap Leon tajam. Ada rasa curiga yang besar dia tunjukkan di wajahnya. "Hei, Om! Hee ... hhee ..." Leon tersenyum sampai gigi putihnya terlihat jelas. "Ga apa-apa. Mau balik kerja!" ujar Leon. Dia acungkan alat pel yang dia pegang. "Kamu ngintipin Sofi?" Alman dengan nada tidak suka bicara ketus. "Cuma mau mastiin aja, dia baik-baik," kata Leon. "Emang di sini ada penjahat apa? Dia pasti baik-baik. Kerja sana yang bener, biar ga usah dipindah-pindah. Masih bagus kamu ga dipecat!" gertak Alman kesal. "Iya, Om, siap." Leon menaikkan jemarinya di pelipis memberi hormat pada Alman. "Pakai hormat?! Kamu kira aku ini komandan peleton apa gimana?" Alman menggeleng dengan muka belum lega. "Hee ... hee ..." Leon menggaruk-garuk kepala sambil ngeloyor pergi. Alman berkacak pinggang sampai benar-benar Leon menghilang dari tempat itu. Lalu Alman berjalan mendekati Mentari yang ada di lorong arah masuk toilet. "Sofi!" Alma
Mentari panik! Dia bersimpuh di sebelah Alman sambil berusaha menahan tangis. Satpam di depan mal sudah ikut menolong. Alman dibawa ke tepi agar tidak menghalangi orang berlalu lalang. Mereka yang merubung segera diminta minggir supaya ada udara terbuka untuk Alman bernapas lega. "Om! Bangun, Om! Ayo, bangun!" kata Mentari dengan cemas. "Ini harus dibawa ke rumah sakit, Neng. Pasti ada sesuatu, bapaknya jatuh tiba-tiba gitu." Seorang ibu yang ikut menolong bicara pada Mentari. "Rumah sakit?" Mentari tidak tahu harus bagaimana. Dia cemas dan takut. Berurusan dengan rumah sakit? "Maaf, ada apa ini?" Seorang pria mendekat. "Mas Agus!" Mentari tidak menduga Leon masih ada di mal ternyata. "Om Al? Apa yang terjadi?" Leon ikut berjongkok di samping Mentari. "Ga tahu, Mas. Tiba-tiba pingsan. Aku bingung. Aku harus bagaimana ini?" Mata Mentari berkaca-kaca. Pandangannya menghujam Leon. Dari tatapan itu, Leon tahu, Mentari butuh pertolongan. Leon mengangkat kepala, melihat pada satpam y
Leon terkejut. Apa yang tadi dia tawarkan? Dia dengan sengaja dan tidak bercanda bersedia menemani Alman di rumah sakit malam itu? Pertanyaan Mentari membuat Leon seperti bangun dari mimpi saja. "Ahh, yaa ..." Leon tidak meralat ucapannya. Dia meyakinkan Mentari kalau dia memang mau tinggal di rumah sakit. "Aku ga tahu gimana mau ngucapin terima kasih, Mas. Beneran, aku lega sekali." Mentari memandang Leon dengan wajah terharu dan penuh rasa terima kasih. "Kita kan, harus saling bantu. Kalau gue bisa, kenapa nggak?" Leon tersenyum. "Baiklah, kurasa aku harus melanjutkan melihat pasien lain. Sebentar lagi kalau tidak ada keluhan, Pak Alman bisa dipindahkan ke ruangan. Selamat malam, selamat beristirahat, Pak Alman." Dokter pamitan. "Sekali lagi terima kasih, Dok. Mbak Suster juga." Alman tersenyum kecil. Dokter dan perawat meninggalkan ruangan itu. Tinggal Leon dan Mentari berhadapan. "Lu balik?" Leon bertanya pada Mentari. "Mas, aku ga tahu balik ke mal gimana?" Mentari melihat