Tatapan tajam Leon tidak mengejutkan Retha. Sejak awal dia tahu Leon memang tidak menghendaki menjalin hubungan dengan Retha. Tetapi waktu Retha mendengar Leon mengatakan sudah punya kekasih, Retha agak terkejut."Kamu sudah punya kekasih? Kenapa aku tidak yakin? Kalau benar, untuk apa tante Aster sengaja memintaku mendekatimu?" Retha tidak percaya bagian itu."Terserah lu percaya apa kagak. Itu kenyataan. Ah, makanan datang, lebih baik gue cepat makan lalu pulang," kata Leon sembari matanya melihat pada pelayan mengantarkan pesanan mereka, lebih tepatnya pesanan Retha. "Leon, aku bukan tipe yang mudah menyerah jika aku tahu apa yang aku inginkan. Sejak aku bocah, semua yang aku mau pasti aku dapat. Dan aku akan buktikan sama kamu, aku bisa menaklukkan kamu," tutur Retha. Tenang doa bicara, tapi seolah ada ancaman di sana.Ah, ternyata tidak segampang menyingkirkan Lila dan Devi berurusan dengan Retha kali ini. Leon menarik napas panjang. Dia makin yakin, Retha bukan wanita yang dia p
Waktu terus melaju. Tidak peduli lelahnya penduduk bumi yang berlarian mengejar mimpi. Tidak mau tahu anak manusia bahkan terseok-seok menggapai asa. Waktu, sejenak pun tidak akan menunda langkahnya. Hari-hari Mentari berjalan menyenangkan. Devi sangat sinis sejak tahu kalau Mentarilah kekasih Leon. Kabar tentang hubungan spesial antara Leon dan Mentari makin hari tak bisa dicegah. Mentari tidak mau menutupi, tapi juga tidak akan mengumumkan pada semua orang. Begitu kabar itu mulai merebak, Mentari mulai jadi perhatian. Karena Leon yang setengah Indonesia, dalam pandangan para karyawan, yang tidak lazim dengan penampilan seperti itu, menjadi pegawai biasa. Maka dalam waktu singkat Leon memang dikenal para karyawan. Sedangkan Mentari, menjadi perhatian karena tidak diduga bisa menaklukkan pria sekeren Leon. "Yang jadi pacar Mas 'Bule' Agus ... rajin bener ..." Slentingan seperti itu bukan sekali dua kali terdengar di telinga Mentari. "Ceweknya biasa, tapi heran, seganteng Agus, bisa
"Siapa yang tahu?" Leon mengangkat kedua bahunya. "Aneh saja, sih. Kenapa ceweknya sampai nyari dia ke sini? Dan ..." Mentari memandang Leon, serius. "... aku ketemu wanita itu di toilet. Dia lagi telpon sama Tuan Muda." "Apa?!" Leon makin terkejut sampai hampir meloncat. Jantung Leon beradu tak karuan. Apa benar Mentari bertemu Retha? Gawat! Situasi yang Leon hadapi semakin gawat. Retha tidak bisa diajak kompromi. Lalu Mentari, dia bahkan sudah bertemu dengan Retha? Di sisi lain, papa Leon meminta Sujana memindahkan Leon di kantor, mempelajari administrasi. Itu baru akan Leon mulai beberapa waktu lagi. Jangan sampai saat itu Retha datang. Jika Leon di kantor, maka sangat mungkin Retha bertemu dengannya. Tapi Leon menolak rencana papanya juga tidak mungkin."Aku jadi kasihan sama Tuan Muda itu. Horang kaya tapi kayaknya ga hepi gitu. Mending aku. Tinggal di gudang, tapi selalu gembira. Apalagi punya Mas Agus yang baik dan pengertian." Mentari tersenyum manis pada Leon."Ya, kamu be
Leon terhenyak. Dia tak bisa lagi mengelak. Retha berdiri di depannya! Alman yang ada di samping Leon pun terkejut dengan munculnya wanita cantik yang menghebohkan mal beberapa waktu ini. "Harus seperti ini baru aku bisa bertemu dengan kamu, Leon?! Dan ..." Retha tidak bisa percaya yang dia lihat. Leon memakai seragam karyawan mal. Dia tidak mengenakan kemeja bagus dengan jas keren, apalagi berdasi. Bukan. Leon memakai setelan seragam pegawai dengan logo mal di dada sebelah kiri. "Gue memang bekerja di sini, sebagai karyawan. Lu puas?" Leon bicara lalu menarik lengan Alman agar mengikuti dia menjauh dari Retha. "Hei!! Kamu mau mengerjai aku?" Retha tidak lega. Dia mengejar kedua pria itu. "Ini jam kerja. Gue ga suka ada gangguan. Lebih baik lu pulang! Gue rasa skripsi lu udah lama nunggu buat lu beresin!" Leon menjawab kesal. "Apa ini? Kamu jadi karyawan rendahan? Kamu Alvarez, Leon!" Retha benar-benar tak habis pikir. Teriakan Retha membuat pengunjung menoleh pada mereka. Ada t
Mentari terus berlari menuju ke atap mal. Tidak ada artinya semuanya. Kenyataan di depannya membuat Mentari merasa berantakan. Agus adalah Leonardo Alvarez! Dia pemilik mal tempat dia bekerja. Kenapa sampai dia bisa tertipu? Leon sudah tahu Mentari diam-diam tinggal di atap mal. Tinggal tunggu waktu maka Mentari akan diusir. Apa mungkin Leon benar-benar cinta padanya? Tidak masuk akal. Wanita itu, yang mengaku kekasih Tuan Muda, begitu cantik dan molek. Mentari tidak ada apa-apanya dibanding dengannya. Mana mungkin Leon akan menoleh dan melihat gadis penuh derita seperti Mentari. Entah apa yang terjadi dengan hubungan mereka, yang jelas, wanita itu pasti lebih tepat berada di sisi Leon daripada Mentari. Sebelum dia dipermalukan karena ketahuan bersembunyi di mal, lebih baik Mentari kabur saja. Cepat-cepat Mentari membereskan pakaiannya yang hanya beberapa potong di dalam lemari kecil yang dia beli dari hasil kerjanya. Dia masukkan ke tote bag belanja miliknya dengan asal. Setelah itu
"Ayo, kita ga bisa lambat ini," ajak Baharudin. Bergegas mereka menuju ke ruangan Leon. Tepat dari luar ruangan, terdengar suara keras bicara dengan nada marah. Lila dan Baharudin berhenti. "Aku kecewa sama kamu, Leon! Bukan soal kinerjamu, tapi attitude kamu!" "Om Horas," kata Baharudin lirih. "Apa, Bang?" Lila menoleh pada Baharudin. "Horacio Don Alvarez, ayah Leon. Dia tampaknya marah besar. Cilaka," Baharudin menggeleng-geleng. "Terus gimana ntar?" Lila menciut. Baru juga mendengar suara Tuan Besar pemilik mal, Lila sudah keder. "Tunggu saja. Kita lihat dulu gimana. Kalau sampai makin buruk, kalu perlu kita selamatkan Leon." Baharudin bicara dengan tegas. "Emang Tuan Alvarez galak?" tanya Lila dengan dada mulai berdebaran. "Nggak, sih. Cuma dia tegas kalau ada yang salah terjadi. Dan Leon ... oh, my God ..." ucap Baharudin. "Pa, aku yang membuat kekacauan ini. Beri aku waktu menyelesaikannya. Aku akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Leon. Lila dan Baharudin berpan
"Siapa yang menduga, justru saat Leon menyamar jadi Agus, hatinya yang keras dan tertutup bisa luluh. Dia bisa mencintai lagi. Buat gue ini keajaiban. Gue ga akan biarkan Leon luka lagi. Terlalu lama dia sakit. Sofi harusnya membawa bahagia buat Leon." Sisi lain dari kisah Leon kembali diperdengarkan. Lila terdiam. Jika semua itu benar, Lila punya misi membawa Mentari kembali pada Leon. Bagus sekali, Mentari ada di tempat kosnya. Lila punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Mentari. "Lu jadi pulang? Gue juga mau jalan. Lu arah mana?" tanya Baharudin saat mereka hampir sampai di pintu depan mal. "Ya, langsung pulang. Aku arah ..." Lila menjelaskan ke mana dia akan pulang. "Bareng aja. Aku juga lewat situ. Tapi turun depan gang ga bisa masuk." Baharudin menawarkan. "Oh, boleh. Lumayan bisa irit ongkos." Lila tersenyum. Baharudin mengajak Lila ke tempat parkir. Begitu tahu mobil yang dikendarai Baharudin, Lila sedikit menciut. Mobil yang mewah dan tidak begitu sering tampak si j
"Ga segampang itu, Sofi. Aku dengar semua penjelasan Tuan Muda. Aku ngerti, buat dia juga ga mudah. Dia udah atur semua biar ada waktu yang pas gitu, bicara sama kamu. Tapi siapa yang tau, malah kayak gini jadinya." Alman menerangkan. Mentari tidak merespon. Pikirannya penuh. Sayangnya pada Leon ga mungkin berkurang. Sayangnya, kejadian-kejadian di sekitar mereka membuat semua porak poranda begitu cepat. "Sof, baliklah ... Om kuatir sama kamu. Juga sama Tuan Muda," bujuk Alman. "Maaf, Om ... aku ga bisa. Aku butuh waktu memikirkan semuanya," kata Mentari menolak. Alman terus membujuk Mentari agar mau kembali. Dia berusaha meyakinkan jika pria itu, yang mereka kenal dengan nama Agus, tapi ternyata Leon Alvarez, memang sayang pada Mentari. "Om, aku ga bisa. Aku ga mau buat masalah lagi. Tempat Tuan Muda memang di mal, aku hanya terdampar di sana. Aku harus cari tempat lain untuk menjalani hidupku." Mentari kekeh tidak mau menuruti permintaan Alman. Alman harus menyerah rupanya. Tel