Leon terhenyak. Dia tak bisa lagi mengelak. Retha berdiri di depannya! Alman yang ada di samping Leon pun terkejut dengan munculnya wanita cantik yang menghebohkan mal beberapa waktu ini. "Harus seperti ini baru aku bisa bertemu dengan kamu, Leon?! Dan ..." Retha tidak bisa percaya yang dia lihat. Leon memakai seragam karyawan mal. Dia tidak mengenakan kemeja bagus dengan jas keren, apalagi berdasi. Bukan. Leon memakai setelan seragam pegawai dengan logo mal di dada sebelah kiri. "Gue memang bekerja di sini, sebagai karyawan. Lu puas?" Leon bicara lalu menarik lengan Alman agar mengikuti dia menjauh dari Retha. "Hei!! Kamu mau mengerjai aku?" Retha tidak lega. Dia mengejar kedua pria itu. "Ini jam kerja. Gue ga suka ada gangguan. Lebih baik lu pulang! Gue rasa skripsi lu udah lama nunggu buat lu beresin!" Leon menjawab kesal. "Apa ini? Kamu jadi karyawan rendahan? Kamu Alvarez, Leon!" Retha benar-benar tak habis pikir. Teriakan Retha membuat pengunjung menoleh pada mereka. Ada t
Mentari terus berlari menuju ke atap mal. Tidak ada artinya semuanya. Kenyataan di depannya membuat Mentari merasa berantakan. Agus adalah Leonardo Alvarez! Dia pemilik mal tempat dia bekerja. Kenapa sampai dia bisa tertipu? Leon sudah tahu Mentari diam-diam tinggal di atap mal. Tinggal tunggu waktu maka Mentari akan diusir. Apa mungkin Leon benar-benar cinta padanya? Tidak masuk akal. Wanita itu, yang mengaku kekasih Tuan Muda, begitu cantik dan molek. Mentari tidak ada apa-apanya dibanding dengannya. Mana mungkin Leon akan menoleh dan melihat gadis penuh derita seperti Mentari. Entah apa yang terjadi dengan hubungan mereka, yang jelas, wanita itu pasti lebih tepat berada di sisi Leon daripada Mentari. Sebelum dia dipermalukan karena ketahuan bersembunyi di mal, lebih baik Mentari kabur saja. Cepat-cepat Mentari membereskan pakaiannya yang hanya beberapa potong di dalam lemari kecil yang dia beli dari hasil kerjanya. Dia masukkan ke tote bag belanja miliknya dengan asal. Setelah itu
"Ayo, kita ga bisa lambat ini," ajak Baharudin. Bergegas mereka menuju ke ruangan Leon. Tepat dari luar ruangan, terdengar suara keras bicara dengan nada marah. Lila dan Baharudin berhenti. "Aku kecewa sama kamu, Leon! Bukan soal kinerjamu, tapi attitude kamu!" "Om Horas," kata Baharudin lirih. "Apa, Bang?" Lila menoleh pada Baharudin. "Horacio Don Alvarez, ayah Leon. Dia tampaknya marah besar. Cilaka," Baharudin menggeleng-geleng. "Terus gimana ntar?" Lila menciut. Baru juga mendengar suara Tuan Besar pemilik mal, Lila sudah keder. "Tunggu saja. Kita lihat dulu gimana. Kalau sampai makin buruk, kalu perlu kita selamatkan Leon." Baharudin bicara dengan tegas. "Emang Tuan Alvarez galak?" tanya Lila dengan dada mulai berdebaran. "Nggak, sih. Cuma dia tegas kalau ada yang salah terjadi. Dan Leon ... oh, my God ..." ucap Baharudin. "Pa, aku yang membuat kekacauan ini. Beri aku waktu menyelesaikannya. Aku akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Leon. Lila dan Baharudin berpan
"Siapa yang menduga, justru saat Leon menyamar jadi Agus, hatinya yang keras dan tertutup bisa luluh. Dia bisa mencintai lagi. Buat gue ini keajaiban. Gue ga akan biarkan Leon luka lagi. Terlalu lama dia sakit. Sofi harusnya membawa bahagia buat Leon." Sisi lain dari kisah Leon kembali diperdengarkan. Lila terdiam. Jika semua itu benar, Lila punya misi membawa Mentari kembali pada Leon. Bagus sekali, Mentari ada di tempat kosnya. Lila punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Mentari. "Lu jadi pulang? Gue juga mau jalan. Lu arah mana?" tanya Baharudin saat mereka hampir sampai di pintu depan mal. "Ya, langsung pulang. Aku arah ..." Lila menjelaskan ke mana dia akan pulang. "Bareng aja. Aku juga lewat situ. Tapi turun depan gang ga bisa masuk." Baharudin menawarkan. "Oh, boleh. Lumayan bisa irit ongkos." Lila tersenyum. Baharudin mengajak Lila ke tempat parkir. Begitu tahu mobil yang dikendarai Baharudin, Lila sedikit menciut. Mobil yang mewah dan tidak begitu sering tampak si j
"Ga segampang itu, Sofi. Aku dengar semua penjelasan Tuan Muda. Aku ngerti, buat dia juga ga mudah. Dia udah atur semua biar ada waktu yang pas gitu, bicara sama kamu. Tapi siapa yang tau, malah kayak gini jadinya." Alman menerangkan. Mentari tidak merespon. Pikirannya penuh. Sayangnya pada Leon ga mungkin berkurang. Sayangnya, kejadian-kejadian di sekitar mereka membuat semua porak poranda begitu cepat. "Sof, baliklah ... Om kuatir sama kamu. Juga sama Tuan Muda," bujuk Alman. "Maaf, Om ... aku ga bisa. Aku butuh waktu memikirkan semuanya," kata Mentari menolak. Alman terus membujuk Mentari agar mau kembali. Dia berusaha meyakinkan jika pria itu, yang mereka kenal dengan nama Agus, tapi ternyata Leon Alvarez, memang sayang pada Mentari. "Om, aku ga bisa. Aku ga mau buat masalah lagi. Tempat Tuan Muda memang di mal, aku hanya terdampar di sana. Aku harus cari tempat lain untuk menjalani hidupku." Mentari kekeh tidak mau menuruti permintaan Alman. Alman harus menyerah rupanya. Tel
Mentari memperhatikan Angel yang sibuk bicara di telpon. Makanan yang ada di depannya hampir tak dia sentuh. Hati Mentari berdebar-debar, apakah ada pekerjaan buatnya? Apakah syaratnya akan memudahkan dia diterima seandainya ada pekerjaan? "Oh, baiklah. Terima kasih banyak. Nanti aku hubungi lagi." Akhirnya Angel selesai. Dia memandang pada Mentari. Mentari juga melihat padanya, menanti kabar. Baik atau buruk? "Thank God, ada satu pekerjaan. Aku harap ini sesuai buat kamu." Angel kembali tersenyum. "Oya? Boleh tahu, Tante, pekerjaannya bagaimana? Apakah kira-kira saya bisa?" Mentari senang mendengar kabar itu. "Jemaat kami itu punya usaha laundry. Jadi kamu akan bekerja di sana. Bagaimana menurutmu?" tanya Angel. "Laundry? Ya, Tante. Saya bersedia dengan pekerjaan itu," jawab Mentari dengan hati lega. "Baik. Kurasa ..." Angel tersenyum lebih lebar. Dari tatapan matanya tampak dia berpikir. "Sofi, sebaiknya aku antar saja kamu menemui pemilik laundry. Kalau begitu tunggu sebenta
Lila pindah dari kursi naik ke kasur, duduk di samping Mentari. Sepertinya ada yang lebih perlu jadi perhatian sampai dia harus pindah tempat. Mentari menunggu apa yang selanjutnya Lila tuturkan. "Aku minta maaf dengan semua ketidaknyamanan yang terjadi karena Agus. Tetapi sama sekali tidak ada maksud aku menyudutkan siapapun, mencari kesalahan siapapun. Murni aku ingin belajar dari semua dan ingin menghargai apapun yang menjadi tanggung jawab bapak ibu dan rekan-rekan sekalian. "Untuk ke depan, kita akan bekerja lebih maksimal, lebih sehati, dan itu untuk kebaikan semua. Jika ada hal yang kurang berkenan, aku terbuka untuk kritik, saran dan masukan dari semua pihak, demi kebaikan kita." Lila berusaha meniru gaya Leon bicara. Mentari memandang Lila dengan serius. Keren juga yang Leon katakan di depan semua karyawan. Biasanya dia akan bicara santai dengan bahasa sehari-hari yang kadang terkesan seenaknya. "Satu hal lagi, mengenai hubungan Agus dan Sofi ..."Mendengar itu, mata Ment
"Lila, itu Sofi?" Leon maju tiga langkah makin mendekat. Lila tersentak. Dia seperti refleks menerima telpon tanpa berpikir kalau Leon sedang ada di depannya. "Eh, Ini ...""Berikan ponselmu. Sekarang!" Tegas Leon bicara. Lila tak berani menolak. Tapi dia juga tak bergerak. Leon yang tidak sabar. Dia mengulurkan tangan dan mengambil handphone Lila. Dengan cepat benda pipih itu pindah ke tangan Leon. "Mbak, makasih, ya? Buat semuanya dan ..." Suara manis dan lembut Mentari terdengar. Leon sangat rindu suara itu. Denyut di dada Leon semakin kuat. "Sofi, Sayang, kamu di mana?" Leon tak mampu menahan rindu hatinya. "Mas Agus?" Tentu saja Mentari sangat kaget mendengar Leon yang bicara dan bukan Lila. "Maafkan aku. Please, balik, Sofi. aku mau bicara dengan kamu. Baca pesanku, please ..." Tuuttt ... ttuuttt ... Panggilan itu terputus. Leon menarik napas dalam. Mentari benar-benar menolak dia. Mendengar suaranya saja, langsung dia akhiri telepon. Leon menoleh pada Lila dengan tatapa
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de