Lila pindah dari kursi naik ke kasur, duduk di samping Mentari. Sepertinya ada yang lebih perlu jadi perhatian sampai dia harus pindah tempat. Mentari menunggu apa yang selanjutnya Lila tuturkan. "Aku minta maaf dengan semua ketidaknyamanan yang terjadi karena Agus. Tetapi sama sekali tidak ada maksud aku menyudutkan siapapun, mencari kesalahan siapapun. Murni aku ingin belajar dari semua dan ingin menghargai apapun yang menjadi tanggung jawab bapak ibu dan rekan-rekan sekalian. "Untuk ke depan, kita akan bekerja lebih maksimal, lebih sehati, dan itu untuk kebaikan semua. Jika ada hal yang kurang berkenan, aku terbuka untuk kritik, saran dan masukan dari semua pihak, demi kebaikan kita." Lila berusaha meniru gaya Leon bicara. Mentari memandang Lila dengan serius. Keren juga yang Leon katakan di depan semua karyawan. Biasanya dia akan bicara santai dengan bahasa sehari-hari yang kadang terkesan seenaknya. "Satu hal lagi, mengenai hubungan Agus dan Sofi ..."Mendengar itu, mata Ment
"Lila, itu Sofi?" Leon maju tiga langkah makin mendekat. Lila tersentak. Dia seperti refleks menerima telpon tanpa berpikir kalau Leon sedang ada di depannya. "Eh, Ini ...""Berikan ponselmu. Sekarang!" Tegas Leon bicara. Lila tak berani menolak. Tapi dia juga tak bergerak. Leon yang tidak sabar. Dia mengulurkan tangan dan mengambil handphone Lila. Dengan cepat benda pipih itu pindah ke tangan Leon. "Mbak, makasih, ya? Buat semuanya dan ..." Suara manis dan lembut Mentari terdengar. Leon sangat rindu suara itu. Denyut di dada Leon semakin kuat. "Sofi, Sayang, kamu di mana?" Leon tak mampu menahan rindu hatinya. "Mas Agus?" Tentu saja Mentari sangat kaget mendengar Leon yang bicara dan bukan Lila. "Maafkan aku. Please, balik, Sofi. aku mau bicara dengan kamu. Baca pesanku, please ..." Tuuttt ... ttuuttt ... Panggilan itu terputus. Leon menarik napas dalam. Mentari benar-benar menolak dia. Mendengar suaranya saja, langsung dia akhiri telepon. Leon menoleh pada Lila dengan tatapa
Mentari menatap telepon genggam di tangannya. Dengan mata berkaca-kaca dia membaca puluhan pesan dari Leon di sana. Hatinya berdetak tidak karuan sambil membayangkan wajah tampan Leon sedih karena Mentari kabur. Tulisan aku sayang kamu dan rindu kamu banyak sekali yang Leon kirimkan. Hati Mentari seolah-olah penuh. Penuh rasa bersalah dan juga takut. Penuh dengan kesedihan harus kuat melepas pria pertama yang membuat dia jatuh hati dan sekaligus menjadi kekasih pertama di hidup Mentari. "Aku juga kangen, Mas. Sangat. Tapi aku ga mungkin kembali. Maafkan aku ..." bisik Mentari sambil mengusap matanya yang basah. Di hati terkecil Mentari ada suara lembut yang berbisk agar dia kembali. Setidaknya membalas pesan Leon atau memberanikan diri untuk menerima panggilan Leon. Tetapi rasa takutnya lebih besar, sehingga sekalipun pesan telah dia ketik, jari tak juga kunjung mengirim balasan. Apalagi menerima telpon dari Leon."Maafkan aku, Mas. Aku, aku ga bisa membayangkan kamu akan sangat kec
"Gimana? Mama lemas dan hampir pingsan? Aduh, Bi, bawa ke rumah sakit saja. Aku segera nyusul setelah ini. Oke, Bi. Makasih.” Baharudin mematikan ponselnya. Lila yang ada di depannya menatap Baharudin. Wajahnya yang manis dan biasanya tampak tenang berubah. Ada kecemasan muncul di sana. "Bang, ke rumah sakit saja. Aku akan lanjut mencari Sofi sendiri ga apa-apa. Tinggal dua tempat aja, kok," kata Lila. "Udah, makan dulu," kata Baharudin tidak menanggapi usul Lila. Tepat saat itu pesanan mereka datang. Dengan cepat mereka segera menyantapnya. Tidak ada lagi waktu untuk menikmati apakah menu yang disajikan itu lezat atau bagaimana. Yang ada di kepala Baharudin secepatnya dia harus menyusul mamanya ke rumah sakit. Lila pun sama. Dia tidak ingin merepotkan Baharudin. Pria itu pasti kuatir dengan kondisi ibunya. Lila makan dengan cepat agar Baharudin tidak perlu menunggu dia selesai. Tidak sampai lima belas menit, mereka telah menghabiskan makanan di piring masing-masing. "Ayo, aku ga
Lila terbelalak. Terasa panas dingin badannya mendengar kata-kata itu. Dia menoleh pada Baharudin yang tersenyum memandang ibunya. "Iya, Ma. Baru jadian. Makanya baru bisa ajak Lila ke sini. Menurut Mama cocok, ga?" Baharudin makin lebar tersenyum. "Lila nama kamu? Secantik orangnya. Kamu yang sabar sama Bahar, ya? Kadang dia terlampau manja. Maklum anak tunggal." Dengan suara yang terdengar parau, ibu Baharudin bicara. Lila tidak tahu harus menjawab apa. Wajahnya merah bak tomat. Telinganya terasa panas juga. "Eh, iya, Nyonya ..." "Panggil Tante, bukan Nyonya." Ibu Baharudin memotong ucapan Lila. "Baik, Tante," sahut Lila kikuk. "Mama harus istirahat. Jangan buat aku takut kayak tadi. Pokoknya Mama harus sembuh," kata Baharudin. Dia memeluk mamanya dengan manja, menempelkan pipinya. Lila paham apa yang barusan sang ibu katakan tentang Baharudin. Lalu Baharudin mengajak Lila keluar. Di kamar, dokter dan perawat serta satu pelayan masih menemani. Bapak yang tadi mengantar Lila m
Leon menopang dagunya. Dia memandangi wajah Lila. Sepertinya ada sesuatu. Tetapi gadis itu menghindar dan tidak ingin bicara. Padahal sebelum dia pergi dengan Baharudin mencari Mentari, dia menangis penuh penyesalan karena tidak mengatakan pada Leon soal Mentari yang bersembunyi di tempat dia tinggal. Begitu Lila datang lagi, dia menjadi ketus dan kesal. "Lila, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Leon memastikan. "Eh, ya ... ga apa-apa, Tuan. Saya permisi, terima kasih," kata Lila. Dia berdiri, sedikit membungkuk memberi hormat lalu keluar ruangan itu. "Aneh. Dia bukan Lila yang biasanya," ujar Alman. Matanya memandangi Lila yang berjalan buru-buru keluar ruangan itu. "Udin ... bikin apa dia sama Lila?" gumam Leon. Sayangnya Leon tidak bisa mengurus itu. Dia harus mengerjakan yang lain. Dia akan menuntaskan rencana dengan Alman. Baik Lila ikut serta atau tidak, dia akan tetap menjalankan rencana itu. Setelah matang apa yang dia dan Alman akan lakukan, Alman meninggalkan kantor Leon.
Ingatan Mentari balik pada kejadian Alman pingsan sampai masuk rumah sakit. Dan belum sampai dua bulan berselang Alman kembali sakit. Kalau sampai ada apa-apa dengan Alman bagaimana? Mentari berpikir apa yang harus dia lakukan. "Kalau aku nongol, apa tepat? Padahal sebisa mungkin aku menghindar tidak bertemu, tidak berhubungan dengan siapapun yang kasih terkait dengan mal. Gimana, ya?" Mentari bingung. Mentari memutar otaknya. Semisal Alman memburuk, apa yang bisa dia perbuat? Yang lalu apa-apa Mentari akan minta Leon membantu. Tapi setelah semua yang terjadi? Tidak, Mentari tidak mungkin mengganggu Leon lagi. "Mbak Lila ... ya, kukira Mbak Lila akan dengan senang hati menolong." Mentari memutuskan. Mentari mengirim pesan pada Lila. Centang satu. "Ah, kok ga bisa. Apa masih sibuk? Tapi ini udah malam, bukan jam kerja Mbak Lila. Atau dia tukar jam kerja?" Mentari gelisah. Dia letakkan ponsel dan kembali berbaring. Dia akan tunggu beberapa waktu dan melihat apakah ada balasan dari
Alman termangu di pinggir kasur. Dia masih tidak percaya berhasil membuat Mentari keluar dari persembunyian. Mentari mengirim pesan sedang menuju ke tempat kos Alman. "Ah, Tuan Muda!" Tiba-tiba Alman seperti tersadar. Dia harus cepat memberi kabar pada Leon. Alman menghubungi Leon dan memberitahu kalau Mentari sedang dalam perjalanan menuju ke tempatnya. "Aku akan ke sana, Om. Tahan dia selama mungkin. Om Al memang keren. Makasih banyak!" Leon mengakhiri panggilan Alman. Alman berpikir. Bagaimana caranya Mentari tidak curiga kalau dia hanya pura-pura sakit. Alman harus terlihat pucat? Atau merah wajahnya? Alman melihat ke seluruh kamarnya. Dia bergerak cepat. Dia buat kamarnya tampak berantakan. Lalu dia berbaring dengan mengenakan jaket tipis dan kumal miliknya. Tidak lupa dia berselimut sampai di pinggangnya. Tentu saja panas sekali di tubuhnya. Meskipun pagi, Jakarta tetap saja panas. Tapi apa boleh buat, akting harus dilanjutkan. Dia harus siap begitu Mentari datang. Setidak
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de