Mentari memperhatikan Angel yang sibuk bicara di telpon. Makanan yang ada di depannya hampir tak dia sentuh. Hati Mentari berdebar-debar, apakah ada pekerjaan buatnya? Apakah syaratnya akan memudahkan dia diterima seandainya ada pekerjaan? "Oh, baiklah. Terima kasih banyak. Nanti aku hubungi lagi." Akhirnya Angel selesai. Dia memandang pada Mentari. Mentari juga melihat padanya, menanti kabar. Baik atau buruk? "Thank God, ada satu pekerjaan. Aku harap ini sesuai buat kamu." Angel kembali tersenyum. "Oya? Boleh tahu, Tante, pekerjaannya bagaimana? Apakah kira-kira saya bisa?" Mentari senang mendengar kabar itu. "Jemaat kami itu punya usaha laundry. Jadi kamu akan bekerja di sana. Bagaimana menurutmu?" tanya Angel. "Laundry? Ya, Tante. Saya bersedia dengan pekerjaan itu," jawab Mentari dengan hati lega. "Baik. Kurasa ..." Angel tersenyum lebih lebar. Dari tatapan matanya tampak dia berpikir. "Sofi, sebaiknya aku antar saja kamu menemui pemilik laundry. Kalau begitu tunggu sebenta
Lila pindah dari kursi naik ke kasur, duduk di samping Mentari. Sepertinya ada yang lebih perlu jadi perhatian sampai dia harus pindah tempat. Mentari menunggu apa yang selanjutnya Lila tuturkan. "Aku minta maaf dengan semua ketidaknyamanan yang terjadi karena Agus. Tetapi sama sekali tidak ada maksud aku menyudutkan siapapun, mencari kesalahan siapapun. Murni aku ingin belajar dari semua dan ingin menghargai apapun yang menjadi tanggung jawab bapak ibu dan rekan-rekan sekalian. "Untuk ke depan, kita akan bekerja lebih maksimal, lebih sehati, dan itu untuk kebaikan semua. Jika ada hal yang kurang berkenan, aku terbuka untuk kritik, saran dan masukan dari semua pihak, demi kebaikan kita." Lila berusaha meniru gaya Leon bicara. Mentari memandang Lila dengan serius. Keren juga yang Leon katakan di depan semua karyawan. Biasanya dia akan bicara santai dengan bahasa sehari-hari yang kadang terkesan seenaknya. "Satu hal lagi, mengenai hubungan Agus dan Sofi ..."Mendengar itu, mata Ment
"Lila, itu Sofi?" Leon maju tiga langkah makin mendekat. Lila tersentak. Dia seperti refleks menerima telpon tanpa berpikir kalau Leon sedang ada di depannya. "Eh, Ini ...""Berikan ponselmu. Sekarang!" Tegas Leon bicara. Lila tak berani menolak. Tapi dia juga tak bergerak. Leon yang tidak sabar. Dia mengulurkan tangan dan mengambil handphone Lila. Dengan cepat benda pipih itu pindah ke tangan Leon. "Mbak, makasih, ya? Buat semuanya dan ..." Suara manis dan lembut Mentari terdengar. Leon sangat rindu suara itu. Denyut di dada Leon semakin kuat. "Sofi, Sayang, kamu di mana?" Leon tak mampu menahan rindu hatinya. "Mas Agus?" Tentu saja Mentari sangat kaget mendengar Leon yang bicara dan bukan Lila. "Maafkan aku. Please, balik, Sofi. aku mau bicara dengan kamu. Baca pesanku, please ..." Tuuttt ... ttuuttt ... Panggilan itu terputus. Leon menarik napas dalam. Mentari benar-benar menolak dia. Mendengar suaranya saja, langsung dia akhiri telepon. Leon menoleh pada Lila dengan tatapa
Mentari menatap telepon genggam di tangannya. Dengan mata berkaca-kaca dia membaca puluhan pesan dari Leon di sana. Hatinya berdetak tidak karuan sambil membayangkan wajah tampan Leon sedih karena Mentari kabur. Tulisan aku sayang kamu dan rindu kamu banyak sekali yang Leon kirimkan. Hati Mentari seolah-olah penuh. Penuh rasa bersalah dan juga takut. Penuh dengan kesedihan harus kuat melepas pria pertama yang membuat dia jatuh hati dan sekaligus menjadi kekasih pertama di hidup Mentari. "Aku juga kangen, Mas. Sangat. Tapi aku ga mungkin kembali. Maafkan aku ..." bisik Mentari sambil mengusap matanya yang basah. Di hati terkecil Mentari ada suara lembut yang berbisk agar dia kembali. Setidaknya membalas pesan Leon atau memberanikan diri untuk menerima panggilan Leon. Tetapi rasa takutnya lebih besar, sehingga sekalipun pesan telah dia ketik, jari tak juga kunjung mengirim balasan. Apalagi menerima telpon dari Leon."Maafkan aku, Mas. Aku, aku ga bisa membayangkan kamu akan sangat kec
"Gimana? Mama lemas dan hampir pingsan? Aduh, Bi, bawa ke rumah sakit saja. Aku segera nyusul setelah ini. Oke, Bi. Makasih.” Baharudin mematikan ponselnya. Lila yang ada di depannya menatap Baharudin. Wajahnya yang manis dan biasanya tampak tenang berubah. Ada kecemasan muncul di sana. "Bang, ke rumah sakit saja. Aku akan lanjut mencari Sofi sendiri ga apa-apa. Tinggal dua tempat aja, kok," kata Lila. "Udah, makan dulu," kata Baharudin tidak menanggapi usul Lila. Tepat saat itu pesanan mereka datang. Dengan cepat mereka segera menyantapnya. Tidak ada lagi waktu untuk menikmati apakah menu yang disajikan itu lezat atau bagaimana. Yang ada di kepala Baharudin secepatnya dia harus menyusul mamanya ke rumah sakit. Lila pun sama. Dia tidak ingin merepotkan Baharudin. Pria itu pasti kuatir dengan kondisi ibunya. Lila makan dengan cepat agar Baharudin tidak perlu menunggu dia selesai. Tidak sampai lima belas menit, mereka telah menghabiskan makanan di piring masing-masing. "Ayo, aku ga
Lila terbelalak. Terasa panas dingin badannya mendengar kata-kata itu. Dia menoleh pada Baharudin yang tersenyum memandang ibunya. "Iya, Ma. Baru jadian. Makanya baru bisa ajak Lila ke sini. Menurut Mama cocok, ga?" Baharudin makin lebar tersenyum. "Lila nama kamu? Secantik orangnya. Kamu yang sabar sama Bahar, ya? Kadang dia terlampau manja. Maklum anak tunggal." Dengan suara yang terdengar parau, ibu Baharudin bicara. Lila tidak tahu harus menjawab apa. Wajahnya merah bak tomat. Telinganya terasa panas juga. "Eh, iya, Nyonya ..." "Panggil Tante, bukan Nyonya." Ibu Baharudin memotong ucapan Lila. "Baik, Tante," sahut Lila kikuk. "Mama harus istirahat. Jangan buat aku takut kayak tadi. Pokoknya Mama harus sembuh," kata Baharudin. Dia memeluk mamanya dengan manja, menempelkan pipinya. Lila paham apa yang barusan sang ibu katakan tentang Baharudin. Lalu Baharudin mengajak Lila keluar. Di kamar, dokter dan perawat serta satu pelayan masih menemani. Bapak yang tadi mengantar Lila m
Leon menopang dagunya. Dia memandangi wajah Lila. Sepertinya ada sesuatu. Tetapi gadis itu menghindar dan tidak ingin bicara. Padahal sebelum dia pergi dengan Baharudin mencari Mentari, dia menangis penuh penyesalan karena tidak mengatakan pada Leon soal Mentari yang bersembunyi di tempat dia tinggal. Begitu Lila datang lagi, dia menjadi ketus dan kesal. "Lila, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Leon memastikan. "Eh, ya ... ga apa-apa, Tuan. Saya permisi, terima kasih," kata Lila. Dia berdiri, sedikit membungkuk memberi hormat lalu keluar ruangan itu. "Aneh. Dia bukan Lila yang biasanya," ujar Alman. Matanya memandangi Lila yang berjalan buru-buru keluar ruangan itu. "Udin ... bikin apa dia sama Lila?" gumam Leon. Sayangnya Leon tidak bisa mengurus itu. Dia harus mengerjakan yang lain. Dia akan menuntaskan rencana dengan Alman. Baik Lila ikut serta atau tidak, dia akan tetap menjalankan rencana itu. Setelah matang apa yang dia dan Alman akan lakukan, Alman meninggalkan kantor Leon.
Ingatan Mentari balik pada kejadian Alman pingsan sampai masuk rumah sakit. Dan belum sampai dua bulan berselang Alman kembali sakit. Kalau sampai ada apa-apa dengan Alman bagaimana? Mentari berpikir apa yang harus dia lakukan. "Kalau aku nongol, apa tepat? Padahal sebisa mungkin aku menghindar tidak bertemu, tidak berhubungan dengan siapapun yang kasih terkait dengan mal. Gimana, ya?" Mentari bingung. Mentari memutar otaknya. Semisal Alman memburuk, apa yang bisa dia perbuat? Yang lalu apa-apa Mentari akan minta Leon membantu. Tapi setelah semua yang terjadi? Tidak, Mentari tidak mungkin mengganggu Leon lagi. "Mbak Lila ... ya, kukira Mbak Lila akan dengan senang hati menolong." Mentari memutuskan. Mentari mengirim pesan pada Lila. Centang satu. "Ah, kok ga bisa. Apa masih sibuk? Tapi ini udah malam, bukan jam kerja Mbak Lila. Atau dia tukar jam kerja?" Mentari gelisah. Dia letakkan ponsel dan kembali berbaring. Dia akan tunggu beberapa waktu dan melihat apakah ada balasan dari