"Siapa yang tahu?" Leon mengangkat kedua bahunya. "Aneh saja, sih. Kenapa ceweknya sampai nyari dia ke sini? Dan ..." Mentari memandang Leon, serius. "... aku ketemu wanita itu di toilet. Dia lagi telpon sama Tuan Muda." "Apa?!" Leon makin terkejut sampai hampir meloncat. Jantung Leon beradu tak karuan. Apa benar Mentari bertemu Retha? Gawat! Situasi yang Leon hadapi semakin gawat. Retha tidak bisa diajak kompromi. Lalu Mentari, dia bahkan sudah bertemu dengan Retha? Di sisi lain, papa Leon meminta Sujana memindahkan Leon di kantor, mempelajari administrasi. Itu baru akan Leon mulai beberapa waktu lagi. Jangan sampai saat itu Retha datang. Jika Leon di kantor, maka sangat mungkin Retha bertemu dengannya. Tapi Leon menolak rencana papanya juga tidak mungkin."Aku jadi kasihan sama Tuan Muda itu. Horang kaya tapi kayaknya ga hepi gitu. Mending aku. Tinggal di gudang, tapi selalu gembira. Apalagi punya Mas Agus yang baik dan pengertian." Mentari tersenyum manis pada Leon."Ya, kamu be
Leon terhenyak. Dia tak bisa lagi mengelak. Retha berdiri di depannya! Alman yang ada di samping Leon pun terkejut dengan munculnya wanita cantik yang menghebohkan mal beberapa waktu ini. "Harus seperti ini baru aku bisa bertemu dengan kamu, Leon?! Dan ..." Retha tidak bisa percaya yang dia lihat. Leon memakai seragam karyawan mal. Dia tidak mengenakan kemeja bagus dengan jas keren, apalagi berdasi. Bukan. Leon memakai setelan seragam pegawai dengan logo mal di dada sebelah kiri. "Gue memang bekerja di sini, sebagai karyawan. Lu puas?" Leon bicara lalu menarik lengan Alman agar mengikuti dia menjauh dari Retha. "Hei!! Kamu mau mengerjai aku?" Retha tidak lega. Dia mengejar kedua pria itu. "Ini jam kerja. Gue ga suka ada gangguan. Lebih baik lu pulang! Gue rasa skripsi lu udah lama nunggu buat lu beresin!" Leon menjawab kesal. "Apa ini? Kamu jadi karyawan rendahan? Kamu Alvarez, Leon!" Retha benar-benar tak habis pikir. Teriakan Retha membuat pengunjung menoleh pada mereka. Ada t
Mentari terus berlari menuju ke atap mal. Tidak ada artinya semuanya. Kenyataan di depannya membuat Mentari merasa berantakan. Agus adalah Leonardo Alvarez! Dia pemilik mal tempat dia bekerja. Kenapa sampai dia bisa tertipu? Leon sudah tahu Mentari diam-diam tinggal di atap mal. Tinggal tunggu waktu maka Mentari akan diusir. Apa mungkin Leon benar-benar cinta padanya? Tidak masuk akal. Wanita itu, yang mengaku kekasih Tuan Muda, begitu cantik dan molek. Mentari tidak ada apa-apanya dibanding dengannya. Mana mungkin Leon akan menoleh dan melihat gadis penuh derita seperti Mentari. Entah apa yang terjadi dengan hubungan mereka, yang jelas, wanita itu pasti lebih tepat berada di sisi Leon daripada Mentari. Sebelum dia dipermalukan karena ketahuan bersembunyi di mal, lebih baik Mentari kabur saja. Cepat-cepat Mentari membereskan pakaiannya yang hanya beberapa potong di dalam lemari kecil yang dia beli dari hasil kerjanya. Dia masukkan ke tote bag belanja miliknya dengan asal. Setelah itu
"Ayo, kita ga bisa lambat ini," ajak Baharudin. Bergegas mereka menuju ke ruangan Leon. Tepat dari luar ruangan, terdengar suara keras bicara dengan nada marah. Lila dan Baharudin berhenti. "Aku kecewa sama kamu, Leon! Bukan soal kinerjamu, tapi attitude kamu!" "Om Horas," kata Baharudin lirih. "Apa, Bang?" Lila menoleh pada Baharudin. "Horacio Don Alvarez, ayah Leon. Dia tampaknya marah besar. Cilaka," Baharudin menggeleng-geleng. "Terus gimana ntar?" Lila menciut. Baru juga mendengar suara Tuan Besar pemilik mal, Lila sudah keder. "Tunggu saja. Kita lihat dulu gimana. Kalau sampai makin buruk, kalu perlu kita selamatkan Leon." Baharudin bicara dengan tegas. "Emang Tuan Alvarez galak?" tanya Lila dengan dada mulai berdebaran. "Nggak, sih. Cuma dia tegas kalau ada yang salah terjadi. Dan Leon ... oh, my God ..." ucap Baharudin. "Pa, aku yang membuat kekacauan ini. Beri aku waktu menyelesaikannya. Aku akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Leon. Lila dan Baharudin berpan
"Siapa yang menduga, justru saat Leon menyamar jadi Agus, hatinya yang keras dan tertutup bisa luluh. Dia bisa mencintai lagi. Buat gue ini keajaiban. Gue ga akan biarkan Leon luka lagi. Terlalu lama dia sakit. Sofi harusnya membawa bahagia buat Leon." Sisi lain dari kisah Leon kembali diperdengarkan. Lila terdiam. Jika semua itu benar, Lila punya misi membawa Mentari kembali pada Leon. Bagus sekali, Mentari ada di tempat kosnya. Lila punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Mentari. "Lu jadi pulang? Gue juga mau jalan. Lu arah mana?" tanya Baharudin saat mereka hampir sampai di pintu depan mal. "Ya, langsung pulang. Aku arah ..." Lila menjelaskan ke mana dia akan pulang. "Bareng aja. Aku juga lewat situ. Tapi turun depan gang ga bisa masuk." Baharudin menawarkan. "Oh, boleh. Lumayan bisa irit ongkos." Lila tersenyum. Baharudin mengajak Lila ke tempat parkir. Begitu tahu mobil yang dikendarai Baharudin, Lila sedikit menciut. Mobil yang mewah dan tidak begitu sering tampak si j
"Ga segampang itu, Sofi. Aku dengar semua penjelasan Tuan Muda. Aku ngerti, buat dia juga ga mudah. Dia udah atur semua biar ada waktu yang pas gitu, bicara sama kamu. Tapi siapa yang tau, malah kayak gini jadinya." Alman menerangkan. Mentari tidak merespon. Pikirannya penuh. Sayangnya pada Leon ga mungkin berkurang. Sayangnya, kejadian-kejadian di sekitar mereka membuat semua porak poranda begitu cepat. "Sof, baliklah ... Om kuatir sama kamu. Juga sama Tuan Muda," bujuk Alman. "Maaf, Om ... aku ga bisa. Aku butuh waktu memikirkan semuanya," kata Mentari menolak. Alman terus membujuk Mentari agar mau kembali. Dia berusaha meyakinkan jika pria itu, yang mereka kenal dengan nama Agus, tapi ternyata Leon Alvarez, memang sayang pada Mentari. "Om, aku ga bisa. Aku ga mau buat masalah lagi. Tempat Tuan Muda memang di mal, aku hanya terdampar di sana. Aku harus cari tempat lain untuk menjalani hidupku." Mentari kekeh tidak mau menuruti permintaan Alman. Alman harus menyerah rupanya. Tel
Mentari memperhatikan Angel yang sibuk bicara di telpon. Makanan yang ada di depannya hampir tak dia sentuh. Hati Mentari berdebar-debar, apakah ada pekerjaan buatnya? Apakah syaratnya akan memudahkan dia diterima seandainya ada pekerjaan? "Oh, baiklah. Terima kasih banyak. Nanti aku hubungi lagi." Akhirnya Angel selesai. Dia memandang pada Mentari. Mentari juga melihat padanya, menanti kabar. Baik atau buruk? "Thank God, ada satu pekerjaan. Aku harap ini sesuai buat kamu." Angel kembali tersenyum. "Oya? Boleh tahu, Tante, pekerjaannya bagaimana? Apakah kira-kira saya bisa?" Mentari senang mendengar kabar itu. "Jemaat kami itu punya usaha laundry. Jadi kamu akan bekerja di sana. Bagaimana menurutmu?" tanya Angel. "Laundry? Ya, Tante. Saya bersedia dengan pekerjaan itu," jawab Mentari dengan hati lega. "Baik. Kurasa ..." Angel tersenyum lebih lebar. Dari tatapan matanya tampak dia berpikir. "Sofi, sebaiknya aku antar saja kamu menemui pemilik laundry. Kalau begitu tunggu sebenta
Lila pindah dari kursi naik ke kasur, duduk di samping Mentari. Sepertinya ada yang lebih perlu jadi perhatian sampai dia harus pindah tempat. Mentari menunggu apa yang selanjutnya Lila tuturkan. "Aku minta maaf dengan semua ketidaknyamanan yang terjadi karena Agus. Tetapi sama sekali tidak ada maksud aku menyudutkan siapapun, mencari kesalahan siapapun. Murni aku ingin belajar dari semua dan ingin menghargai apapun yang menjadi tanggung jawab bapak ibu dan rekan-rekan sekalian. "Untuk ke depan, kita akan bekerja lebih maksimal, lebih sehati, dan itu untuk kebaikan semua. Jika ada hal yang kurang berkenan, aku terbuka untuk kritik, saran dan masukan dari semua pihak, demi kebaikan kita." Lila berusaha meniru gaya Leon bicara. Mentari memandang Lila dengan serius. Keren juga yang Leon katakan di depan semua karyawan. Biasanya dia akan bicara santai dengan bahasa sehari-hari yang kadang terkesan seenaknya. "Satu hal lagi, mengenai hubungan Agus dan Sofi ..."Mendengar itu, mata Ment