"Ayo, kita ga bisa lambat ini," ajak Baharudin. Bergegas mereka menuju ke ruangan Leon. Tepat dari luar ruangan, terdengar suara keras bicara dengan nada marah. Lila dan Baharudin berhenti. "Aku kecewa sama kamu, Leon! Bukan soal kinerjamu, tapi attitude kamu!" "Om Horas," kata Baharudin lirih. "Apa, Bang?" Lila menoleh pada Baharudin. "Horacio Don Alvarez, ayah Leon. Dia tampaknya marah besar. Cilaka," Baharudin menggeleng-geleng. "Terus gimana ntar?" Lila menciut. Baru juga mendengar suara Tuan Besar pemilik mal, Lila sudah keder. "Tunggu saja. Kita lihat dulu gimana. Kalau sampai makin buruk, kalu perlu kita selamatkan Leon." Baharudin bicara dengan tegas. "Emang Tuan Alvarez galak?" tanya Lila dengan dada mulai berdebaran. "Nggak, sih. Cuma dia tegas kalau ada yang salah terjadi. Dan Leon ... oh, my God ..." ucap Baharudin. "Pa, aku yang membuat kekacauan ini. Beri aku waktu menyelesaikannya. Aku akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Leon. Lila dan Baharudin berpan
"Siapa yang menduga, justru saat Leon menyamar jadi Agus, hatinya yang keras dan tertutup bisa luluh. Dia bisa mencintai lagi. Buat gue ini keajaiban. Gue ga akan biarkan Leon luka lagi. Terlalu lama dia sakit. Sofi harusnya membawa bahagia buat Leon." Sisi lain dari kisah Leon kembali diperdengarkan. Lila terdiam. Jika semua itu benar, Lila punya misi membawa Mentari kembali pada Leon. Bagus sekali, Mentari ada di tempat kosnya. Lila punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Mentari. "Lu jadi pulang? Gue juga mau jalan. Lu arah mana?" tanya Baharudin saat mereka hampir sampai di pintu depan mal. "Ya, langsung pulang. Aku arah ..." Lila menjelaskan ke mana dia akan pulang. "Bareng aja. Aku juga lewat situ. Tapi turun depan gang ga bisa masuk." Baharudin menawarkan. "Oh, boleh. Lumayan bisa irit ongkos." Lila tersenyum. Baharudin mengajak Lila ke tempat parkir. Begitu tahu mobil yang dikendarai Baharudin, Lila sedikit menciut. Mobil yang mewah dan tidak begitu sering tampak si j
"Ga segampang itu, Sofi. Aku dengar semua penjelasan Tuan Muda. Aku ngerti, buat dia juga ga mudah. Dia udah atur semua biar ada waktu yang pas gitu, bicara sama kamu. Tapi siapa yang tau, malah kayak gini jadinya." Alman menerangkan. Mentari tidak merespon. Pikirannya penuh. Sayangnya pada Leon ga mungkin berkurang. Sayangnya, kejadian-kejadian di sekitar mereka membuat semua porak poranda begitu cepat. "Sof, baliklah ... Om kuatir sama kamu. Juga sama Tuan Muda," bujuk Alman. "Maaf, Om ... aku ga bisa. Aku butuh waktu memikirkan semuanya," kata Mentari menolak. Alman terus membujuk Mentari agar mau kembali. Dia berusaha meyakinkan jika pria itu, yang mereka kenal dengan nama Agus, tapi ternyata Leon Alvarez, memang sayang pada Mentari. "Om, aku ga bisa. Aku ga mau buat masalah lagi. Tempat Tuan Muda memang di mal, aku hanya terdampar di sana. Aku harus cari tempat lain untuk menjalani hidupku." Mentari kekeh tidak mau menuruti permintaan Alman. Alman harus menyerah rupanya. Tel
Mentari memperhatikan Angel yang sibuk bicara di telpon. Makanan yang ada di depannya hampir tak dia sentuh. Hati Mentari berdebar-debar, apakah ada pekerjaan buatnya? Apakah syaratnya akan memudahkan dia diterima seandainya ada pekerjaan? "Oh, baiklah. Terima kasih banyak. Nanti aku hubungi lagi." Akhirnya Angel selesai. Dia memandang pada Mentari. Mentari juga melihat padanya, menanti kabar. Baik atau buruk? "Thank God, ada satu pekerjaan. Aku harap ini sesuai buat kamu." Angel kembali tersenyum. "Oya? Boleh tahu, Tante, pekerjaannya bagaimana? Apakah kira-kira saya bisa?" Mentari senang mendengar kabar itu. "Jemaat kami itu punya usaha laundry. Jadi kamu akan bekerja di sana. Bagaimana menurutmu?" tanya Angel. "Laundry? Ya, Tante. Saya bersedia dengan pekerjaan itu," jawab Mentari dengan hati lega. "Baik. Kurasa ..." Angel tersenyum lebih lebar. Dari tatapan matanya tampak dia berpikir. "Sofi, sebaiknya aku antar saja kamu menemui pemilik laundry. Kalau begitu tunggu sebenta
Lila pindah dari kursi naik ke kasur, duduk di samping Mentari. Sepertinya ada yang lebih perlu jadi perhatian sampai dia harus pindah tempat. Mentari menunggu apa yang selanjutnya Lila tuturkan. "Aku minta maaf dengan semua ketidaknyamanan yang terjadi karena Agus. Tetapi sama sekali tidak ada maksud aku menyudutkan siapapun, mencari kesalahan siapapun. Murni aku ingin belajar dari semua dan ingin menghargai apapun yang menjadi tanggung jawab bapak ibu dan rekan-rekan sekalian. "Untuk ke depan, kita akan bekerja lebih maksimal, lebih sehati, dan itu untuk kebaikan semua. Jika ada hal yang kurang berkenan, aku terbuka untuk kritik, saran dan masukan dari semua pihak, demi kebaikan kita." Lila berusaha meniru gaya Leon bicara. Mentari memandang Lila dengan serius. Keren juga yang Leon katakan di depan semua karyawan. Biasanya dia akan bicara santai dengan bahasa sehari-hari yang kadang terkesan seenaknya. "Satu hal lagi, mengenai hubungan Agus dan Sofi ..."Mendengar itu, mata Ment
"Lila, itu Sofi?" Leon maju tiga langkah makin mendekat. Lila tersentak. Dia seperti refleks menerima telpon tanpa berpikir kalau Leon sedang ada di depannya. "Eh, Ini ...""Berikan ponselmu. Sekarang!" Tegas Leon bicara. Lila tak berani menolak. Tapi dia juga tak bergerak. Leon yang tidak sabar. Dia mengulurkan tangan dan mengambil handphone Lila. Dengan cepat benda pipih itu pindah ke tangan Leon. "Mbak, makasih, ya? Buat semuanya dan ..." Suara manis dan lembut Mentari terdengar. Leon sangat rindu suara itu. Denyut di dada Leon semakin kuat. "Sofi, Sayang, kamu di mana?" Leon tak mampu menahan rindu hatinya. "Mas Agus?" Tentu saja Mentari sangat kaget mendengar Leon yang bicara dan bukan Lila. "Maafkan aku. Please, balik, Sofi. aku mau bicara dengan kamu. Baca pesanku, please ..." Tuuttt ... ttuuttt ... Panggilan itu terputus. Leon menarik napas dalam. Mentari benar-benar menolak dia. Mendengar suaranya saja, langsung dia akhiri telepon. Leon menoleh pada Lila dengan tatapa
Mentari menatap telepon genggam di tangannya. Dengan mata berkaca-kaca dia membaca puluhan pesan dari Leon di sana. Hatinya berdetak tidak karuan sambil membayangkan wajah tampan Leon sedih karena Mentari kabur. Tulisan aku sayang kamu dan rindu kamu banyak sekali yang Leon kirimkan. Hati Mentari seolah-olah penuh. Penuh rasa bersalah dan juga takut. Penuh dengan kesedihan harus kuat melepas pria pertama yang membuat dia jatuh hati dan sekaligus menjadi kekasih pertama di hidup Mentari. "Aku juga kangen, Mas. Sangat. Tapi aku ga mungkin kembali. Maafkan aku ..." bisik Mentari sambil mengusap matanya yang basah. Di hati terkecil Mentari ada suara lembut yang berbisk agar dia kembali. Setidaknya membalas pesan Leon atau memberanikan diri untuk menerima panggilan Leon. Tetapi rasa takutnya lebih besar, sehingga sekalipun pesan telah dia ketik, jari tak juga kunjung mengirim balasan. Apalagi menerima telpon dari Leon."Maafkan aku, Mas. Aku, aku ga bisa membayangkan kamu akan sangat kec
"Gimana? Mama lemas dan hampir pingsan? Aduh, Bi, bawa ke rumah sakit saja. Aku segera nyusul setelah ini. Oke, Bi. Makasih.” Baharudin mematikan ponselnya. Lila yang ada di depannya menatap Baharudin. Wajahnya yang manis dan biasanya tampak tenang berubah. Ada kecemasan muncul di sana. "Bang, ke rumah sakit saja. Aku akan lanjut mencari Sofi sendiri ga apa-apa. Tinggal dua tempat aja, kok," kata Lila. "Udah, makan dulu," kata Baharudin tidak menanggapi usul Lila. Tepat saat itu pesanan mereka datang. Dengan cepat mereka segera menyantapnya. Tidak ada lagi waktu untuk menikmati apakah menu yang disajikan itu lezat atau bagaimana. Yang ada di kepala Baharudin secepatnya dia harus menyusul mamanya ke rumah sakit. Lila pun sama. Dia tidak ingin merepotkan Baharudin. Pria itu pasti kuatir dengan kondisi ibunya. Lila makan dengan cepat agar Baharudin tidak perlu menunggu dia selesai. Tidak sampai lima belas menit, mereka telah menghabiskan makanan di piring masing-masing. "Ayo, aku ga