Mentari baru sampai di toilet tempat dia bekerja. Lila berdiri berkacak pinggang menyambutnya. Wajah wanita muda itu tampak tegang. "Mbak, pagi ..." sapa Mentari. Dia bersikap sewajarnya. "Hhmm, aku perlu bicara serius dengan kamu." Bukan balasan sapaan yang Mentari terima. Sebaliknya sambutan dingin yang dia dapatkan. Mentari sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Lila. "Ya, Mbak. Gimana?" Mentari merasa dadanya berdegup. Ternyata dia bisa grogi juga menghadapi Lila. Apa yang akan Lila katakan? "Kamu tahu kan, aku suka sama Agus? Kamu juga tahu aku berusaha merebut hatinya dengan membawa makanan, kasih hadiah, dan lainnya. Kenapa tiba-tiba kamu yang jadian sama Agus?" Lila langsung pada tujuan dia ingin bicara pada Mentari. Mentari kaget dan menjadi gugup. Dia ternyata tidak siap diserang Lila seperti itu. "Jelas-jelas aku di depan kamu nunjukin kalau Agus itu udah aku iket, aku patok, dan ga boleh siapapun mendekat. Kamu, tanpa tanda-tanda, udah jalan bareng dia?" Lila be
Tatapan tajam Leon tidak mengejutkan Retha. Sejak awal dia tahu Leon memang tidak menghendaki menjalin hubungan dengan Retha. Tetapi waktu Retha mendengar Leon mengatakan sudah punya kekasih, Retha agak terkejut."Kamu sudah punya kekasih? Kenapa aku tidak yakin? Kalau benar, untuk apa tante Aster sengaja memintaku mendekatimu?" Retha tidak percaya bagian itu."Terserah lu percaya apa kagak. Itu kenyataan. Ah, makanan datang, lebih baik gue cepat makan lalu pulang," kata Leon sembari matanya melihat pada pelayan mengantarkan pesanan mereka, lebih tepatnya pesanan Retha. "Leon, aku bukan tipe yang mudah menyerah jika aku tahu apa yang aku inginkan. Sejak aku bocah, semua yang aku mau pasti aku dapat. Dan aku akan buktikan sama kamu, aku bisa menaklukkan kamu," tutur Retha. Tenang doa bicara, tapi seolah ada ancaman di sana.Ah, ternyata tidak segampang menyingkirkan Lila dan Devi berurusan dengan Retha kali ini. Leon menarik napas panjang. Dia makin yakin, Retha bukan wanita yang dia p
Waktu terus melaju. Tidak peduli lelahnya penduduk bumi yang berlarian mengejar mimpi. Tidak mau tahu anak manusia bahkan terseok-seok menggapai asa. Waktu, sejenak pun tidak akan menunda langkahnya. Hari-hari Mentari berjalan menyenangkan. Devi sangat sinis sejak tahu kalau Mentarilah kekasih Leon. Kabar tentang hubungan spesial antara Leon dan Mentari makin hari tak bisa dicegah. Mentari tidak mau menutupi, tapi juga tidak akan mengumumkan pada semua orang. Begitu kabar itu mulai merebak, Mentari mulai jadi perhatian. Karena Leon yang setengah Indonesia, dalam pandangan para karyawan, yang tidak lazim dengan penampilan seperti itu, menjadi pegawai biasa. Maka dalam waktu singkat Leon memang dikenal para karyawan. Sedangkan Mentari, menjadi perhatian karena tidak diduga bisa menaklukkan pria sekeren Leon. "Yang jadi pacar Mas 'Bule' Agus ... rajin bener ..." Slentingan seperti itu bukan sekali dua kali terdengar di telinga Mentari. "Ceweknya biasa, tapi heran, seganteng Agus, bisa
"Siapa yang tahu?" Leon mengangkat kedua bahunya. "Aneh saja, sih. Kenapa ceweknya sampai nyari dia ke sini? Dan ..." Mentari memandang Leon, serius. "... aku ketemu wanita itu di toilet. Dia lagi telpon sama Tuan Muda." "Apa?!" Leon makin terkejut sampai hampir meloncat. Jantung Leon beradu tak karuan. Apa benar Mentari bertemu Retha? Gawat! Situasi yang Leon hadapi semakin gawat. Retha tidak bisa diajak kompromi. Lalu Mentari, dia bahkan sudah bertemu dengan Retha? Di sisi lain, papa Leon meminta Sujana memindahkan Leon di kantor, mempelajari administrasi. Itu baru akan Leon mulai beberapa waktu lagi. Jangan sampai saat itu Retha datang. Jika Leon di kantor, maka sangat mungkin Retha bertemu dengannya. Tapi Leon menolak rencana papanya juga tidak mungkin."Aku jadi kasihan sama Tuan Muda itu. Horang kaya tapi kayaknya ga hepi gitu. Mending aku. Tinggal di gudang, tapi selalu gembira. Apalagi punya Mas Agus yang baik dan pengertian." Mentari tersenyum manis pada Leon."Ya, kamu be
Leon terhenyak. Dia tak bisa lagi mengelak. Retha berdiri di depannya! Alman yang ada di samping Leon pun terkejut dengan munculnya wanita cantik yang menghebohkan mal beberapa waktu ini. "Harus seperti ini baru aku bisa bertemu dengan kamu, Leon?! Dan ..." Retha tidak bisa percaya yang dia lihat. Leon memakai seragam karyawan mal. Dia tidak mengenakan kemeja bagus dengan jas keren, apalagi berdasi. Bukan. Leon memakai setelan seragam pegawai dengan logo mal di dada sebelah kiri. "Gue memang bekerja di sini, sebagai karyawan. Lu puas?" Leon bicara lalu menarik lengan Alman agar mengikuti dia menjauh dari Retha. "Hei!! Kamu mau mengerjai aku?" Retha tidak lega. Dia mengejar kedua pria itu. "Ini jam kerja. Gue ga suka ada gangguan. Lebih baik lu pulang! Gue rasa skripsi lu udah lama nunggu buat lu beresin!" Leon menjawab kesal. "Apa ini? Kamu jadi karyawan rendahan? Kamu Alvarez, Leon!" Retha benar-benar tak habis pikir. Teriakan Retha membuat pengunjung menoleh pada mereka. Ada t
Mentari terus berlari menuju ke atap mal. Tidak ada artinya semuanya. Kenyataan di depannya membuat Mentari merasa berantakan. Agus adalah Leonardo Alvarez! Dia pemilik mal tempat dia bekerja. Kenapa sampai dia bisa tertipu? Leon sudah tahu Mentari diam-diam tinggal di atap mal. Tinggal tunggu waktu maka Mentari akan diusir. Apa mungkin Leon benar-benar cinta padanya? Tidak masuk akal. Wanita itu, yang mengaku kekasih Tuan Muda, begitu cantik dan molek. Mentari tidak ada apa-apanya dibanding dengannya. Mana mungkin Leon akan menoleh dan melihat gadis penuh derita seperti Mentari. Entah apa yang terjadi dengan hubungan mereka, yang jelas, wanita itu pasti lebih tepat berada di sisi Leon daripada Mentari. Sebelum dia dipermalukan karena ketahuan bersembunyi di mal, lebih baik Mentari kabur saja. Cepat-cepat Mentari membereskan pakaiannya yang hanya beberapa potong di dalam lemari kecil yang dia beli dari hasil kerjanya. Dia masukkan ke tote bag belanja miliknya dengan asal. Setelah itu
"Ayo, kita ga bisa lambat ini," ajak Baharudin. Bergegas mereka menuju ke ruangan Leon. Tepat dari luar ruangan, terdengar suara keras bicara dengan nada marah. Lila dan Baharudin berhenti. "Aku kecewa sama kamu, Leon! Bukan soal kinerjamu, tapi attitude kamu!" "Om Horas," kata Baharudin lirih. "Apa, Bang?" Lila menoleh pada Baharudin. "Horacio Don Alvarez, ayah Leon. Dia tampaknya marah besar. Cilaka," Baharudin menggeleng-geleng. "Terus gimana ntar?" Lila menciut. Baru juga mendengar suara Tuan Besar pemilik mal, Lila sudah keder. "Tunggu saja. Kita lihat dulu gimana. Kalau sampai makin buruk, kalu perlu kita selamatkan Leon." Baharudin bicara dengan tegas. "Emang Tuan Alvarez galak?" tanya Lila dengan dada mulai berdebaran. "Nggak, sih. Cuma dia tegas kalau ada yang salah terjadi. Dan Leon ... oh, my God ..." ucap Baharudin. "Pa, aku yang membuat kekacauan ini. Beri aku waktu menyelesaikannya. Aku akan bertanggung jawab atas semuanya," kata Leon. Lila dan Baharudin berpan
"Siapa yang menduga, justru saat Leon menyamar jadi Agus, hatinya yang keras dan tertutup bisa luluh. Dia bisa mencintai lagi. Buat gue ini keajaiban. Gue ga akan biarkan Leon luka lagi. Terlalu lama dia sakit. Sofi harusnya membawa bahagia buat Leon." Sisi lain dari kisah Leon kembali diperdengarkan. Lila terdiam. Jika semua itu benar, Lila punya misi membawa Mentari kembali pada Leon. Bagus sekali, Mentari ada di tempat kosnya. Lila punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Mentari. "Lu jadi pulang? Gue juga mau jalan. Lu arah mana?" tanya Baharudin saat mereka hampir sampai di pintu depan mal. "Ya, langsung pulang. Aku arah ..." Lila menjelaskan ke mana dia akan pulang. "Bareng aja. Aku juga lewat situ. Tapi turun depan gang ga bisa masuk." Baharudin menawarkan. "Oh, boleh. Lumayan bisa irit ongkos." Lila tersenyum. Baharudin mengajak Lila ke tempat parkir. Begitu tahu mobil yang dikendarai Baharudin, Lila sedikit menciut. Mobil yang mewah dan tidak begitu sering tampak si j
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de