Leon harus mencari cara agar Retha tidak akan mengganggu dia lagi. Setidaknya dia tidak nekat datang ke mal mencarinya. "Gue masih lama sampai. Lu titip aja yang lu bawa ke satpam, entar gue ambil." Leon mencari alasan. "Ga masalah. Aku ga ada kuliah hari ini. Aku bisa nunggu kamu seharian di sini, kok." Retha tidak mau mengalah. "Damn," umpat Leon di hati. "Mikir ... mikir, Leon!" "Retha, lu beneran pingin deketin gue?" Leon harus berstrategi. "Aku udah jelasin ke kamu. Masih perlu aku ulang?" tanya Retha. Dia tetap terdengar santai dan ceria. "Oke. Gue kasih lu kesempatan, tapi lu mesti ikuti syarat gue," ujar Leon. "Syarat apaan?" Retha mulai terpancing. "Satu, gue ga suka urusan pribadi dibawa ke kerjaan. Kalau mau ketemu gue, jangan pernah nongol di mal. Janjian aja mau di mana, ntar gue ke sana." Leon bicara dengan tegas. "Oke, tapi ...""Kedua, gue cuma. punya waktu sekali seminggu buat ketemu lu.
"Sofi, aku cuma mau kamu baik-baik. Kita ga pernah tahu hati orang yang terdalam. Bisa jadi dia terlihat baik, tapi siapa yang tahu." Alman ingin sekali mengatakan siapa Leon. Sayangnya, dia tidak mungkin lakukan itu. Dia sudah berjanji pada Leon akan tutup mulut tentang siapa sebenarnya 'Agus'. "Om, makasih udah kasih peringatan sama aku. Aku pasti jaga diriku. Aku akan cerita sama Om kalau ada apa-apa. Aku ga punya siapa-siapa. Di Jakarta, Tuhan kirim Om buat aku, seperti aku ketemu ayah lagi." Mentari tersenyum manis. "Ga usah diterusin. Nanti aku mewek. Cepat habisin makanan kamu." Alman mengusap ujung matanya yang mulai basah. Dia tidak mau baper, ingat anak dan keponakannya lagi. Mentari menghabiskan sarapannya, lalu segera memulai pekerjaan. Alman pun balik ke tempat dia bekerja. Seperti biasa, mal penuh karena ramai pengunjung. Mentari seperti tidak ada waktu istirahat. Kalau sangat ramai, para pegawai harus istirahat gantian, dan hanya punya waktu sepuluh menit. Buat Ment
"Hai, Sayang!" Leon segera melemparkan senyum lebar pada Mentari. Semua rasa yang campur aduk di hatinya cepat dia sisihkan. Mentari tidak merespon. Dia terpaku memandang Leon. Siapa Leon sebenarnya? Dia baik, tampan, dan suka menolong. Dia bilang cinta pada Mentari, lalu menjadikannya kekasih. Tapi, semudah itu dia membuka diri untuk orang lain. Apa dia tidak mengerti yang Mentari rasakan? "Aku masih kerja. Sorry," kata Mentari. Dia berusaha menekan marah yang terus merajai hatinya. Mentari seolah tersadar kalau dia tidak mengenal pria yang telah jadi pacar pertama buat Mentari. Alman pasti benar. Dia harus hati-hati dengan Leon. Kenapa Mentari langsung setuju waktu Leon menyatakan cinta? Kenapa Mentari tidak jual mahal saja? Cinta pada pria tampan membuat Mentari buta. "Nanti kita ketemu abis kerja. Oke?" Leon bisa melihat aura tidak senang di wajah Mentari. Dia tahu dengan pasti karena dia wanita yang memperebutkan dirinya. "Mas Agus kan, udah ada janji sama Lila. Ya udah, ngap
Hati Leon terenyuh melihat Mentari seperti itu. Ini kali kedua Leon melihat Mentari menangis. Rasanya hati Leon ikut pedih. Dan yang sangat dia tidak suka, Mentari menangis karena dia."Sofi ..." Leon mengusap pipi Mentari yang basah. "Maafkan aku. Aku tahu kamu pasti marah sama aku.""Mas Agus kalau mau main-main cari wanita lain saja. Aku cuma ingin hidup baik-baik, punya uang cukup beli makan dan minum. Asal bisa menjalani semua tanpa menyusahkan orang lain, aku sudah senang. Kenapa Mas Agus tega sama aku?" Mentari berontak dan melepaskan pegangan Leon.Leon makin merasa bersalah. Dia tarik Mentari ke dadanya dan memeluknya erat-erat. Dia ingin Mentari tahu, sama sekali dia tidak bermaksud melukai hati Mentari."Sayang, please, dengarkan aku ..." ujar Leon sambil terus memeluk Mentari."Ga usah panggil sayang. Semua cuma gombal. Aku ga mau. Mas Agus pergi saja. Aku ga mau kayak gini." Mentari masih berusaha melepaskan diri."Nggak. Aku ga akan melepaskan kamu. Aku sangat sayang sama
Mentari baru sampai di toilet tempat dia bekerja. Lila berdiri berkacak pinggang menyambutnya. Wajah wanita muda itu tampak tegang. "Mbak, pagi ..." sapa Mentari. Dia bersikap sewajarnya. "Hhmm, aku perlu bicara serius dengan kamu." Bukan balasan sapaan yang Mentari terima. Sebaliknya sambutan dingin yang dia dapatkan. Mentari sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Lila. "Ya, Mbak. Gimana?" Mentari merasa dadanya berdegup. Ternyata dia bisa grogi juga menghadapi Lila. Apa yang akan Lila katakan? "Kamu tahu kan, aku suka sama Agus? Kamu juga tahu aku berusaha merebut hatinya dengan membawa makanan, kasih hadiah, dan lainnya. Kenapa tiba-tiba kamu yang jadian sama Agus?" Lila langsung pada tujuan dia ingin bicara pada Mentari. Mentari kaget dan menjadi gugup. Dia ternyata tidak siap diserang Lila seperti itu. "Jelas-jelas aku di depan kamu nunjukin kalau Agus itu udah aku iket, aku patok, dan ga boleh siapapun mendekat. Kamu, tanpa tanda-tanda, udah jalan bareng dia?" Lila be
Tatapan tajam Leon tidak mengejutkan Retha. Sejak awal dia tahu Leon memang tidak menghendaki menjalin hubungan dengan Retha. Tetapi waktu Retha mendengar Leon mengatakan sudah punya kekasih, Retha agak terkejut."Kamu sudah punya kekasih? Kenapa aku tidak yakin? Kalau benar, untuk apa tante Aster sengaja memintaku mendekatimu?" Retha tidak percaya bagian itu."Terserah lu percaya apa kagak. Itu kenyataan. Ah, makanan datang, lebih baik gue cepat makan lalu pulang," kata Leon sembari matanya melihat pada pelayan mengantarkan pesanan mereka, lebih tepatnya pesanan Retha. "Leon, aku bukan tipe yang mudah menyerah jika aku tahu apa yang aku inginkan. Sejak aku bocah, semua yang aku mau pasti aku dapat. Dan aku akan buktikan sama kamu, aku bisa menaklukkan kamu," tutur Retha. Tenang doa bicara, tapi seolah ada ancaman di sana.Ah, ternyata tidak segampang menyingkirkan Lila dan Devi berurusan dengan Retha kali ini. Leon menarik napas panjang. Dia makin yakin, Retha bukan wanita yang dia p
Waktu terus melaju. Tidak peduli lelahnya penduduk bumi yang berlarian mengejar mimpi. Tidak mau tahu anak manusia bahkan terseok-seok menggapai asa. Waktu, sejenak pun tidak akan menunda langkahnya. Hari-hari Mentari berjalan menyenangkan. Devi sangat sinis sejak tahu kalau Mentarilah kekasih Leon. Kabar tentang hubungan spesial antara Leon dan Mentari makin hari tak bisa dicegah. Mentari tidak mau menutupi, tapi juga tidak akan mengumumkan pada semua orang. Begitu kabar itu mulai merebak, Mentari mulai jadi perhatian. Karena Leon yang setengah Indonesia, dalam pandangan para karyawan, yang tidak lazim dengan penampilan seperti itu, menjadi pegawai biasa. Maka dalam waktu singkat Leon memang dikenal para karyawan. Sedangkan Mentari, menjadi perhatian karena tidak diduga bisa menaklukkan pria sekeren Leon. "Yang jadi pacar Mas 'Bule' Agus ... rajin bener ..." Slentingan seperti itu bukan sekali dua kali terdengar di telinga Mentari. "Ceweknya biasa, tapi heran, seganteng Agus, bisa
"Siapa yang tahu?" Leon mengangkat kedua bahunya. "Aneh saja, sih. Kenapa ceweknya sampai nyari dia ke sini? Dan ..." Mentari memandang Leon, serius. "... aku ketemu wanita itu di toilet. Dia lagi telpon sama Tuan Muda." "Apa?!" Leon makin terkejut sampai hampir meloncat. Jantung Leon beradu tak karuan. Apa benar Mentari bertemu Retha? Gawat! Situasi yang Leon hadapi semakin gawat. Retha tidak bisa diajak kompromi. Lalu Mentari, dia bahkan sudah bertemu dengan Retha? Di sisi lain, papa Leon meminta Sujana memindahkan Leon di kantor, mempelajari administrasi. Itu baru akan Leon mulai beberapa waktu lagi. Jangan sampai saat itu Retha datang. Jika Leon di kantor, maka sangat mungkin Retha bertemu dengannya. Tapi Leon menolak rencana papanya juga tidak mungkin."Aku jadi kasihan sama Tuan Muda itu. Horang kaya tapi kayaknya ga hepi gitu. Mending aku. Tinggal di gudang, tapi selalu gembira. Apalagi punya Mas Agus yang baik dan pengertian." Mentari tersenyum manis pada Leon."Ya, kamu be