Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.
Dor! Dor! Dor!
Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?
Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.
Elera membeku.
Pria itu berusaha berjalan lebih jauh, tetapi beberapa detik kemudian, lututnya melemas dan ia jatuh bertumpu pada satu tangan. Napasnya berat, darahnya bercampur dengan hujan yang membasahi trotoar.
Tanpa sadar, langkah Elera bergerak maju.
"Tuan, Anda butuh bantuan medis!"
Mata abu-abu tajam menatapnya, penuh kewaspadaan meskipun tubuhnya jelas melemah. Hujan turun semakin deras, tapi tatapan pria itu membuatnya bergidik. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bahaya.
"Bawa aku dari sini," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Sebelum Elera bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki cepat mendekat. Dari gang yang sama, muncul empat pria bersenjata, ekspresi mereka penuh niat membunuh.
Salah satu dari mereka mengangkat senjata.
Dor!
Peluru pertama mengenai tiang lampu di samping mereka. Elera menjerit, tubuhnya refleks menunduk.
Pria di depannya—Leon—berusaha berdiri dengan sisa tenaganya dan langsung menembakkan satu peluru ke arah musuh.
Dor! Dor!
Salah satu pria bersenjata jatuh, tapi yang lain membalas. Braak! Kaca jendela kafe di samping mereka hancur berkeping-keping akibat rentetan tembakan. Elera terengah, jantungnya berdetak liar. Ini bukan perampokan. Ini perang.
Leon menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia meraih bahu Elera dan mendorongnya ke belakang mobil terdekat sebagai perlindungan.
"Kalau kau tidak mau mati, masuk ke mobil dan bawa aku pergi dari sini."
Otaknya menolak, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Elera merogoh kunci mobilnya dan berlari ke sisi pengemudi. Tapi mereka tidak bisa pergi begitu saja. Musuh sudah mengepung. Dari kaca spion, Elera melihat tiga mobil hitam berhenti di ujung blok, menutup jalan keluar mereka. Lebih banyak pria bersenjata keluar dari dalamnya.
Sial.
Leon menyadari situasi itu, matanya menyipit. Tangannya bergerak cepat memasukkan peluru baru ke dalam pistolnya. "Begitu aku bilang jalan, gaspol."
"Apa?!" Elera hampir berteriak. "Kita tidak bisa keluar dari sini! Mereka menutup jalan!"
Leon menatapnya sekilas. "Percayalah. Aku punya cara."
Tepat saat musuh mulai menembak lagi, Leon keluar dari balik mobil, menembak dengan presisi yang mengerikan. Dua pria jatuh seketika.
Elera mencengkeram kemudi erat, napasnya tercekat.
"JALAN!"
Tanpa berpikir panjang, Elera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil melesat, menerobos hujan dan suara tembakan. Musuh mulai mengejar. Salah satu mobil hitam yang tadi menghalangi jalan ikut melaju di belakang mereka.
Leon, meskipun terluka, berhasil duduk di kursi penumpang sambil mengisi ulang amunisinya. Ia membuka jendela, menoleh ke belakang, lalu mengangkat pistolnya.
Dor! Dor!
Braak!
Kaca depan mobil musuh pecah, membuat pengemudinya kehilangan kendali dan menabrak trotoar.
Tapi mereka belum selesai. Dua mobil lain masih mengejar. Elera menggigit bibirnya, matanya fokus ke jalan yang licin. Tangannya gemetar di atas kemudi, tapi ia tetap memacu mobil dengan kecepatan penuh.
"Sial, sial, sial! Aku bukan pengemudi aksi, tahu!" teriaknya.
Leon hanya menyeringai tipis meskipun kesakitan. "Sekarang kau jadi satu."
Suara tembakan masih menggema, mobil mereka berbelok tajam di tikungan, hampir menabrak truk yang melaju dari arah berlawanan.
Elera berteriak panik. "Kita akan mati!"
"Belok kanan sekarang!" perintah Leon.
Dengan naluri bertahan hidup, Elera membanting setir ke kanan, memasuki jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Mobil musuh tidak sempat mengerem dan melewati mereka, kehilangan jalur pengejaran.
Leon mendesah lega. "Bagus. Sekarang menuju distrik barat."
Elera masih bernapas terengah-engah, keringat bercampur dengan hujan di dahinya. "Kau gila."
Leon meliriknya sekilas, ekspresinya tetap santai meskipun darah masih mengalir dari lukanya. "Dan kau baru saja menyelamatkan seorang mafia."
Safe house itu terasa lebih besar dari yang Elera duga. Begitu ia memasuki ruangan utama, matanya langsung disambut oleh interior megah yang terasa kontras dengan situasi Leon yang masih berlumuran darah.
Leon berjalan santai ke arah sofa besar, tapi Elera langsung menyusulnya dengan wajah murka. "Duduk. Jangan banyak bergerak."
Leon hanya mendesah dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan elegan. "Santai, Dokter. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."
"Oh ya?" Elera melipat tangan di dada, menatap darah yang sudah mulai mengering di kemejanya. "Karena menurutku, orang yang ‘baik-baik saja’ tidak berjalan-jalan dengan lubang peluru di tubuhnya!"
Dante, yang berdiri di sudut ruangan sambil menyaksikan interaksi ini, terkekeh. "Wow, bos. Sepertinya kau mendapatkan dokter yang lebih cerewet daripada yang biasanya."
Leon menatap Dante sekilas sebelum kembali menatap Elera. "Aku sudah melalui yang lebih buruk."
"TIDAK PEDULI!" Elera mendekat dan menekan bahu Leon dengan kasar agar dia tidak bisa bangun. "Aku tidak peduli seberapa kebal kau terhadap rasa sakit, kau tetap manusia, Leon! Kau bisa mati karena pendarahan atau infeksi!"
Leon mengangkat satu alis, tampak sedikit terhibur. "Jadi kau peduli padaku, ya?"
Elera mendelik tajam. "Aku peduli pada pasienku, bukan padamu secara khusus. Jadi diam dan biarkan aku bekerja."
Leon menahan tawa kecil sementara Elera menarik peralatan medis seadanya yang diberikan Dante. Setelah membersihkan tangannya, ia mulai membuka kemeja Leon tanpa peringatan.
Leon menegang. "Biasanya wanita setidaknya makan malam dulu sebelum mencoba melepas bajuku."
Elera berhenti sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi. "Aku bisa saja menjahit luka ini tanpa anestesi, tahu?"
Dante langsung tertawa keras. "Bos, aku rasa kau akhirnya bertemu seseorang yang tidak takut padamu."
Leon hanya mendesah lelah. "Baiklah, lakukan saja."
Elera mulai bekerja. Ia membersihkan luka dengan tekanan agak keras, sengaja tidak terlalu lembut sebagai bentuk hukuman karena kebodohan Leon.
Leon mengerang pelan. "Astaga, kau bisa sedikit lebih lembut?"
"Oh, maaf," kata Elera datar. "Aku lupa bahwa Tuan Mafia ini punya ambang batas sakit selektif."
Leon menutup matanya sejenak, menikmati momen ketika seseorang berani berbicara kasar padanya tanpa rasa takut. "Kau benar-benar dokter yang menyebalkan."
"Dan kau pasien terburuk yang pernah kutangani," balas Elera tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Leon.
Dante yang sejak tadi menonton hanya bisa menggelengkan kepala, senyum geli masih terpampang di wajahnya. "Dokter, aku menyukaimu lebih dari yang kupikirkan."
Elera mendengus. "Sayangnya, aku tidak bisa berkata sama."
Leon menahan tawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali serius ketika rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa. Elera menutup luka dengan perban bersih, lalu menarik napas lega.
"Selesai. Tapi kau harus istirahat. Aku tidak mau melihatmu bangun dan bertingkah seolah kau tidak terluka!"
Leon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Dokter, kau harus mulai terbiasa. Aku tidak akan diam terlalu lama."
Elera berdecak kesal. "Ya Tuhan, kau keras kepala."
Leon mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. "Dan kau tidak biasa berhadapan dengan pria sepertiku, kan?"
Jantung Elera sedikit berdebar, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku sudah cukup banyak berurusan dengan pasien keras kepala sepertimu."
Dante tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku merasa drama ini akan jadi tontonan yang menarik."
Elera menutup kotak medisnya dengan keras, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius. "Kau masih harus banyak beristirahat. Kalau kau berani bergerak terlalu banyak, aku sendiri yang akan membuatmu pingsan."
Leon hanya tersenyum miring, menikmati bagaimana dokter itu bisa mendominasi percakapan tanpa rasa takut. "Baiklah, Dokter. Aku akan mencoba menaatimu… untuk sementara."
Elera mendesah panjang. "Kita lihat saja nanti."
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.Leon Santiago.Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.Di luar, suara langkah kaki mendekat.Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.Leon.Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi."Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang memb
Maya mondar-mandir di ruang tamu apartemen Elera, wajahnya penuh kekhawatiran dan frustrasi. Ponselnya tergenggam erat di tangan, siap menelepon polisi kapan saja.Seharusnya mereka sudah berada di Pattaya sekarang, menikmati liburan yang telah direncanakan berbulan-bulan. Tapi nyatanya? Sahabatnya malah menghilang tanpa kabar.Klik!Suara kunci berputar.Maya langsung menoleh ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya muncul."ELERA!"Ia langsung berlari dan memeluk sahabatnya erat, hampir membuat Elera kehilangan keseimbangan."Ya Tuhan, kau ke mana saja?! Aku sudah hampir gila!"Elera tersenyum tipis, membalas pelukan itu dengan tepukan pelan di punggung Maya. "Aku baik-baik saja, Ma."Namun, Maya langsung menarik diri dan menatapnya penuh selidik."Tidak! Kau tidak baik-baik saja! Kau menghilang semalaman, tidak menjawab telepon, lalu tiba-tiba kembali seperti ini?"Elera membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu
Hening.Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju."Ayah…?"Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya."Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.Diego kembali menatap Leon
Hening.Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.Elera merasakan firasat buruk.Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan."Kau akan ikut denganku."Hening.Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."Elera
Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya."Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.Dante menyeringai d
Elera menatap kosong ke arah layar ponselnya, jari-jarinya masih ragu untuk mengetik. Setelah percakapan gila dengan Leon tadi, otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria itu benar-benar baru saja melamarnya.Melamar.Untuk menikah.Dengan dia.Elera memijat pelipisnya, menghela napas panjang. Dia butuh seseorang untuk menertawakan semua ini bersamanya, atau setidaknya, seseorang yang bisa membantunya berpikir lebih jernih.Jadi, tanpa pikir panjang lagi, dia menekan nomor Maya.Dreet. Dreet. Dreet.Panggilan tersambung hanya dalam dua detik."AKHIRNYA KAU MENELPON!" Suara Maya langsung melengking di telinganya.Elera menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sebelum kembali mendekatkannya. "Maya, tolong, jangan berteriak—""JANGAN BERTERIAK?! ELERA VASQUEZ, KAU MENGHILANG SELAMA SEMINGGU DAN SEKARANG BARU MENELPONKU?! APA KAU TAHU SEBERAPA BANYAK PERTANYAAN YANG KUPUNYA?!"Elera menghela napas panjang, berusaha meredam emosi sahabatnya. "Maya, aku tidak punya banyak waktu un
Ruangan itu dipenuhi ketegangan saat Diego Alvarez menatap Leon dan Elera tanpa ekspresi. Mata tajamnya menembus mereka, seolah mencoba menilai apa yang sebenarnya terjadi.Maya duduk di sofa dengan tangan disilangkan, jelas menikmati momen ini."Jelaskan," ulang Diego dengan nada lebih dalam.Leon tetap berdiri dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. "Kami datang untuk membicarakan sesuatu denganmu."Diego menaikkan satu alis, lalu menatap ke arah Elera yang sejak tadi berdiri canggung di samping Leon."Elera," suaranya lebih lembut saat berbicara padanya. "Apa kau baik-baik saja?"Elera mengangguk cepat, tetapi kemudian menelan ludah sebelum berbicara. "Paman… aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu."Diego mengisyaratkan agar mereka duduk. Elera langsung menurut, tetapi Leon tetap berdiri, memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu di sisi ruangan."Apa yang ingin kau tanyakan?"Elera menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian. "Paman… bagaim
Elera tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Leon.Pria itu terlihat begitu santai, begitu percaya diri—tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang lebih berbahaya dari biasanya.Seolah-olah dia tahu persis apa yang sedang terjadi dalam kepala Elera.Seolah-olah dia menikmati bagaimana pertahanannya perlahan runtuh.Dan sialnya, dia benar.Elera meneguk anggur merahnya dengan gugup, tetapi bahkan itu tidak bisa menenangkan degup jantungnya."Kau terlalu diam," suara Leon rendah, penuh nada menggoda.Elera menghela napas panjang. "Kau terlalu menyebalkan."Leon menyeringai. "Tapi kau tetap di sini."Sial.Dia benar lagi.Elera meletakkan gelasnya dengan hati-hati di meja, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius."Jadi, bagaimana ini akan berakhir?" katanya pelan.Leon mencondongkan tubuhnya, membiarkan wajahnya semakin dekat dengan Elera."Sayang…" bisiknya, "ini tidak akan berakhir. Ini baru saja dimulai."Elera kehilangan kata-kata.Karena dalam detik berikutnya, Leon sudah berdiri d
Di tengah keramaian yang masih berlangsung, sebuah suara berat memecah kehebohan."Apa yang begitu lucu?"Semua orang terdiam.Mereka menoleh secara bersamaan, dan di sana, berdiri Leon Santiago—dengan tatapan yang sama sekali tidak bisa dianggap main-main.Elera mendadak merasa jantungnya berhenti sesaat.Tatapan itu… berbeda.Bukan hanya sekadar godaan atau keisengan biasa.Ada sesuatu dalam sorot mata abu-abu itu—sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih mengancam ketenangannya.Mata Leon menelusuri tubuhnya perlahan, dari kepala hingga ujung kaki, seolah ingin mengingat setiap detailnya.Dan saat tatapan mereka bertemu…Elera merasa napasnya tersangkut di tenggorokan."Astaga…" bisik Maya tanpa sadar, sebelum menoleh ke yang lain. "Aku tidak tahu apakah aku harus merasa iri atau takut sekarang."Dante menyeringai kecil. "Kurasa kita harus mundur sebelum Leon benar-benar lupa bahwa kita ada di sini."Kai bersiul pelan. "Lihat itu… pria ini sudah kalah total."Tapi Leon tidak men
Pagi itu, cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menghangatkan kamar mereka dengan sinar keemasan.Elera terbangun perlahan, tubuhnya masih terasa nyaman dalam kehangatan selimut.Dia hendak berbalik, tetapi sesuatu menahannya. Lebih tepatnya, seseorang.Leon.Lengan pria itu melingkari pinggangnya, membawanya lebih dekat ke tubuhnya yang hangat.Elera mengerjap pelan, merasakan napas tenang Leon di tengkuknya.Pria ini benar-benar tidur dengan nyenyak.Biasanya, Leon selalu bangun lebih awal darinya.Tapi kali ini, mungkin karena semua ketegangan di antara mereka sudah menghilang, dia terlihat jauh lebih rileks.Elera tersenyum kecil.Siapa sangka pria yang begitu dingin dan menakutkan bagi dunia luar bisa tidur seperti ini di sisinya?Dia menyentuh jemari Leon yang masih melingkar di pinggangnya, menyadari betapa kuatnya genggaman itu.Seolah dia tidak ingin kehilangannya lagi.Dan mungkin… Elera juga merasakan hal yang sama.Tapi tentu saja, momen ini tidak berlangsung lama.Ka
Elera tidak pernah menyangka bahwa kebahagiaannya bisa berubah begitu cepat.Baru tadi malam, dia akhirnya menyerah pada perasaannya terhadap Leon.Namun pagi ini, dia menemukan sesuatu yang mengubah segalanya.Sebuah dokumen.Sebuah dokumen lama di ruang kerja Leon yang tidak sengaja jatuh saat dia mencari sesuatu.Dan di sanalah dia melihatnya.Nama ayahnya.Rodrigo Vasquez.Dan nama Leon Santiago.Mata Elera menelusuri isi dokumen itu dengan cepat, semakin membaca, semakin hatinya mencelos.Mereka sudah saling mengenal.Sejak lama.Dan lebih buruknya, ini bukan sekadar perkenalan biasa.Ini adalah sesuatu yang sudah direncanakan.Tangannya gemetar saat dia menutup dokumen itu, otaknya berusaha mencari penjelasan.Tapi satu hal jelas.Leon sudah mengenal ayahnya sebelum mengenalnya.Dan itu berarti…Apakah semua ini jebakan?Apakah pernikahan ini benar-benar sebuah kebetulan?Atau sejak awal… Leon memang menginginkannya di dalam jaringannya?Langkah kaki terdengar dari belakang, dan
Setelah interogasi tanpa akhir dari Maya dan para dokter lainnya, Elera akhirnya bisa menghela napas lega begitu dia melangkah masuk ke ruang operasi.Di sini, tidak ada yang bisa mengganggunya.Tidak ada yang bisa menanyakan hal-hal memalukan.Tidak ada yang bisa menyindirnya tentang suami mafianya.Hanya dia, pasiennya, dan pekerjaannya.Elera mengenakan sarung tangan sterilnya, mengabaikan senyuman penuh arti dari salah satu perawat yang pasti juga sudah mendengar gosip yang beredar."Ayo mulai," katanya dengan nada profesional.Seperti biasa, begitu dia menyentuh pisau bedah, semua hal di luar operasi menghilang dari pikirannya.Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama.Begitu dia selesai dengan operasinya yang berlangsung selama beberapa jam, Elera melepas sarung tangannya dan keluar dari ruang operasi.Dan di situlah kejutan itu menunggunya.Leon bersandar di dinding luar ruang operasi dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya.Matanya yang tajam langsung menatap Elera be
Elera tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini.Satu detik dia masih mengomel di tempat tidur, detik berikutnya, dia sudah terperangkap di bawah pancuran air hangat—bersama Leon.Dan masalahnya?Pria itu tidak hanya berhenti pada niat ‘membantu’ seperti yang dikatakannya.Sekarang, dia menyadari bahwa bantuan ala Leon Santiago sangat berbahaya.Sangat, sangat berbahaya."Aku BENAR-BENAR harus ke rumah sakit," gumamnya dengan napas masih terengah.Leon, yang masih menekan tubuhnya ke dinding kaca kamar mandi, hanya tersenyum puas. "Aku tahu."Elera memelototinya. "KAU TIDAK TERLIHAT SEPERTI SESEORANG YANG PEDULI."Leon tertawa kecil, jari-jarinya masih menelusuri kulitnya dengan santai."Aku hanya memastikan kau rileks sebelum pergi," katanya santai.Elera ingin menendangnya kalau saja dia punya tenaga.Masalahnya, dia juga menikmatinya.Dan itulah yang membuatnya semakin frustasi."Aku benci kau," gumamnya lemah.Leon mengecup bahunya sebelum berbisik, "Tapi kau tetap menikmatinya
Elera tidak tahu kapan tepatnya dia mulai menyerah. Mungkin setelah sekian banyak serangan licik yang Leon lancarkan. Mungkin setelah setiap sentuhan halusnya yang menghangatkan hatinya tanpa ia sadari. Atau mungkin, dia sudah jatuh lebih dulu, jauh sebelum permainan ini dimulai. Yang jelas, saat ini dia tidak ingin melawan lagi. Saat Leon menariknya ke dalam pelukannya, dia tidak lagi berusaha melepaskan diri. Saat pria itu menyentuh wajahnya dengan lembut, dia tidak lagi menepisnya. Dan saat Leon menatapnya dengan mata abu-abu yang menyala penuh ketulusan, dia akhirnya membiarkan dirinya tenggelam dalam momen ini. "Akhirnya menyerah?" suara Leon terdengar lembut, tetapi juga penuh kemenangan. Elera menghela napas panjang. "Kau menang, Santiago." Leon tersenyum kecil, jari-jarinya menyusuri rahangnya dengan lembut. "Aku tahu aku akan menang sejak awal." Elera ingin membantah, tetapi dia tidak bisa. Dia terlalu lelah untuk berpura-pura, terlalu muak dengan penya
Sejak taruhan dimulai, Elera merasa hidupnya berubah menjadi neraka pribadi.Bukan karena teman-temannya yang terus mengolok-oloknya. Bukan juga karena Maya yang setiap saat siap menyaksikan kejatuhannya.Tapi karena Leon.Pria itu tidak bermain adil.Sejak pagi, Leon tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk menggoda dan menyusup ke dalam pikirannya.Dimulai saat sarapan.Elera hanya ingin makan dengan tenang, tetapi Leon malah menarik kursinya lebih dekat—terlalu dekat."Ada sesuatu di bibirmu," kata Leon, suaranya santai.Elera mengerutkan kening. "Apa?"Sebelum dia sempat merespons, Leon mengangkat tangannya, menyeka sudut bibirnya dengan ibu jarinya.Elera langsung membeku.Sial. Dia bisa merasakan tatapan semua orang di meja makan.Dan lebih buruknya lagi—Leon tidak melepas tatapan intens itu dari dirinya."Sudah bersih," katanya akhirnya, senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya.Dante menahan tawa, sementara Gabriel menyeringai puas.Kai bersiul pelan. "Wow. Itu serangan yang
Elera menatap pantulan dirinya di cermin dengan ekspresi setengah frustasi, setengah pasrah.Gaun berwarna merah marun yang dipilih Maya untuknya terlihat terlalu elegan untuk sesuatu yang disebut sebagai "pesta kecil." Ditambah lagi, teman-temannya pasti tidak akan melewatkan satu pun kesempatan untuk mengolok-oloknya malam ini.Sialan.Kenapa dia merasa akan diseret ke dalam jebakan di tengah pesta itu?"Dongak sedikit," suara Maya terdengar di belakangnya.Elera mendengus. "Aku masih bisa kabur kalau aku mau."Maya langsung memutar matanya. "Tentu saja tidak. Aku sudah menunggu momen ini terlalu lama. Kau pikir aku akan membiarkanmu lolos begitu saja?"Elera merintih pelan. "Aku benci kalian semua."Maya tersenyum lebar. "Kami juga mencintaimu, sayang."Sementara itu, di sisi lain mansion, Leon juga tidak bisa lepas dari gangguan teman-temannya."Jadi?" Gabriel menyandarkan diri ke meja bar, menatap Leon dengan penuh arti. "Bagaimana rasanya akhirnya menikah?"Leon menyesap wiski d