Elera mendengus kesal, duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada. Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima ketimbang tempat persembunyian. Tetapi meskipun ranjangnya nyaman, ia tetap merasa seperti tahanan mewah.
"Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya, memijat pelipis.
Di luar kamarnya, terdengar suara langkah kaki mendekat. Elera segera merapatkan selimutnya dan menajamkan pendengaran.
~~~~~~~
Di ruang kerja Leon…
Leon duduk di kursi besar di balik meja kayu gelap, matanya menelusuri dokumen laporan terbaru. Namun, pikirannya terus melayang pada kejadian malam itu—baku tembak, luka yang ia alami, dan… Elera.
Pintu terbuka, dan seorang pria masuk tanpa izin, langsung menjatuhkan dirinya ke sofa.
"Gawat, Leon. Aku baru dengar kabar ini, dan aku harus lihat dengan mataku sendiri."
Leon mendesah tanpa melihat. "Gabriel, tutup pintu dan berhenti berisik."
Gabriel Moretti, sahabat sekaligus penasihat strateginya, menyeringai. "Aku tidak berisik, aku hanya kagum. Siapa sangka ‘sang singa’ akhirnya bisa terluka karena sesuatu selain peluru?"
Dante yang duduk di sudut ruangan ikut tertawa. "Ya. Luka yang satu ini agak berbeda dari biasanya."
Leon menutup dokumen di depannya, menatap mereka dengan ekspresi datar. "Kalau kalian datang hanya untuk bercanda, aku akan keluar dari ruangan ini sekarang juga."
"Oh, kau tidak bisa pergi semudah itu, Tuan Mafia."
Kai masuk dengan santai, membawa segelas anggur dan langsung duduk di samping Gabriel. Ia menyeruput minumannya dengan ekspresi puas. "Ini malam yang luar biasa, bukan? Leon Santiago, pria yang tidak pernah goyah, kini ditahan oleh seorang wanita."
Dante menyeringai. "Seorang dokter, tepatnya."
Gabriel mengangkat alis. "Dokter? Aku butuh detail lebih banyak tentang ini."
Kai menatap Gabriel dengan ekspresi dramatis. "Bisa kau bayangkan? Seorang wanita yang tidak takut padanya. Bahkan membentaknya seperti pasien biasa."
Gabriel memutar kepalanya ke Leon, mencoba mencari tanda bahwa ini hanya lelucon. Tetapi begitu melihat ekspresi datar sahabatnya, ia terkekeh. "Astaga, ini benar-benar nyata, ya? Aku harus bertemu wanita ini."
Dante menyandarkan diri ke sofa dengan senyum lebar. "Oh, kau pasti akan menyukainya. Wanita itu bisa membungkam bos kita dalam satu kalimat."
Kai menepuk bahu Leon dengan nada menggoda. "Ini seperti mukjizat, tahu? Biasanya, kau lebih suka menghindari dokter, tapi sekarang kau justru membawa satu ke dalam hidupmu."
Leon mengusap wajahnya dengan satu tangan, berusaha mengabaikan mereka. "Kalian sudah selesai?"
Gabriel berpura-pura berpikir. "Belum. Aku masih ingin tahu—apa kau sudah menyerah dan menerima takdirmu?"
Kai menambahkan, "Atau masih dalam fase penyangkalan?"
Dante menahan tawa. "Kurasa dia masih dalam fase bingung. Biasanya, orang-orang yang dekat dengannya takut mati, tapi wanita ini? Seolah Leon tidak lebih menakutkan dari pasien biasa di rumah sakitnya."
Gabriel bersiul pelan. "Luar biasa. Jadi sekarang bos kita harus berurusan dengan seseorang yang tidak tunduk padanya?"
Kai tertawa kecil. "Yang lebih menarik, wanita itu punya nyali lebih besar dari separuh anak buah kita."
Leon akhirnya menatap mereka satu per satu dengan tatapan tajam. "Selesai?"
Gabriel menyeringai. "Belum. Satu pertanyaan lagi. Berapa lama kau akan bertahan sebelum akhirnya menyerah?"
Kai meletakkan gelasnya dengan bunyi klik di meja. "Karena dari yang kulihat, singa ini akhirnya menemukan seseorang yang bisa menarik cakarnya."
Dante terkekeh. "Atau malah akan mencabik-cabiknya lebih dalam?"
Gabriel tertawa keras. "Atau justru jatuh cinta?"
Leon menghela napas panjang dan mengabaikan mereka, tetapi jauh di dalam benaknya, ia tahu mereka tidak sepenuhnya salah.
Karena setiap kali ia melihat Elera, ada sesuatu dalam dirinya yang terusik. Sesuatu yang mengingatkannya pada masa lalu—dan sesuatu yang belum siap ia akui.
Dante masih bersandar santai di sofa, lengannya terlipat di dada, sementara senyum liciknya tak kunjung pudar. Matanya menatap Leon dengan penuh arti sebelum akhirnya berucap, "Sebenarnya… wanita itu sangat mirip dengan seseorang."
Leon, yang sedang menuangkan segelas bourbon, hanya meliriknya sekilas. "Siapa?"
Gabriel, yang sejak tadi menikmati hiburan ini, langsung ikut tertarik. "Tunggu, siapa yang kau maksud?"
Dante mengangkat bahunya, berpura-pura berpikir. "Aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti, tapi sorot matanya… cara dia berbicara tanpa rasa takut… Seolah aku pernah melihatnya sebelumnya."
Leon tetap diam, tetapi jari-jarinya sedikit mengencang di sekitar gelasnya. Ia juga merasakan hal yang sama sejak pertama kali bertemu Elera. Ada sesuatu yang familiar tentang wanita itu, tetapi ia belum bisa mengingatnya dengan jelas.
Kai, yang tadinya hanya menonton sambil bermain dengan gelas anggurnya, tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Alisnya berkerut, lalu ekspresinya berubah drastis.
"Tunggu…" Kai menoleh ke Dante, lalu ke Leon. "Elera… Vasquez?"
Semua orang di ruangan langsung menoleh ke arahnya.
Leon mengernyit. "Ya, kenapa?"
Kai menghembuskan napas panjang, seolah baru menyadari sesuatu yang seharusnya jelas sejak awal. "Sialan. Aku tidak percaya kita baru menyadarinya sekarang."
Gabriel mengangkat satu alis. "Kau tahu sesuatu yang kami tidak tahu?"
Kai menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya mengarahkan pandangannya ke Leon. "Elera Vasquez… Dia anak Rodrigo Vasquez."
Ruangan langsung sunyi.
Leon menegang. Pikirannya seketika berputar kembali ke lima tahun yang lalu—ke seorang pria dengan seragam polisi yang berlumuran darah, tetapi masih berdiri tegak, menolak tunduk pada ketidakadilan.
Rodrigo Vasquez.
Pria itu pernah menyelamatkan nyawanya.
Dante menepuk dahinya, seolah kesal karena tidak menyadarinya lebih cepat. "Astaga. Tidak heran dia mengingatkanku pada seseorang. Dia punya mata yang sama dengan Rodrigo."
Gabriel bersiul pelan. "Jadi wanita yang sedang kau tahan di safe house ini adalah anak dari pria yang pernah menolongmu? Kau benar-benar ahli dalam menarik masalah, Leon."
Leon tidak menjawab. Pikirannya masih terus memproses kenyataan ini.
Kai menyandarkan tubuhnya ke kursi dan terkekeh kecil. "Jujur saja, ini sangat ironis. Lima tahun lalu, ayahnya menyelamatkanmu. Dan sekarang, tanpa sadar, kau justru ‘menahan’ anaknya di rumahmu sendiri."
Dante tertawa kecil. "Bukan hanya menahan. Dokter cantik itu bahkan sukses membentak bos kita tanpa takut mati."
Gabriel mengusap dagunya. "Pertanyaannya sekarang… apa yang akan kau lakukan, Leon?"
Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke dalam gelas bourbonnya, pikirannya berputar ke kejadian lima tahun lalu—ke Rodrigo Vasquez yang berdiri di hadapannya dengan keberanian yang jarang ia temui pada seorang polisi.
Kini, di hadapannya ada Elera, wanita yang mewarisi keberanian dan sikap keras kepala ayahnya.
Dan ia sadar… ini bisa menjadi masalah besar.
Keheningan memenuhi ruangan. Hanya suara dentingan es dalam gelas bourbon Leon yang terdengar ketika ia mengaduk minumannya dengan pelan. Matanya tetap fokus ke cairan amber itu, pikirannya masih mencerna fakta yang baru saja terungkap.
Elera Vasquez adalah anak Rodrigo Vasquez.
Pria yang pernah menolongnya.
Pria yang juga menjadi bagian dari baku tembak lima tahun lalu yang menewaskan Alejandro Serrano.
Gabriel akhirnya memecah keheningan. "Kalau kita tahu siapa dia, itu artinya…"
Dante menyelesaikan kalimatnya dengan nada serius. "Sergio juga akan tahu."
Kai mendengus sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Dan kita semua tahu bagaimana Sergio. Dia tidak akan membiarkan anak dari pria yang membunuh adiknya tetap hidup."
Leon mengepalkan tangannya di atas meja. Pikirannya mulai bergerak lebih cepat. Sergio sudah cukup gila untuk memburu siapa pun yang berhubungan dengan kematian Alejandro. Kalau dia tahu bahwa Elera adalah anak Rodrigo Vasquez, dia pasti tidak akan membuang waktu untuk memburunya juga.
Gabriel menghela napas panjang. "Sial. Ini lebih buruk dari yang kukira."
Dante mengangguk setuju. "Lima tahun lalu, Alejandro mati dalam baku tembak antara pihak kita dan kepolisian yang dipimpin Rodrigo. Sergio selalu menyalahkan Leon atas kematian adiknya, tapi kalau dia tahu bahwa Rodrigo juga terlibat… dan sekarang dia punya kesempatan untuk membalas dendam?"
Kai menyeringai tipis, meskipun matanya penuh kewaspadaan. "Itu artinya dia akan memburu Elera, dan bukan hanya karena dia menolongmu tadi malam."
Leon akhirnya mendongak, matanya tajam seperti belati. "Kalau begitu, aku tidak bisa membiarkan dia pergi."
Gabriel menyilangkan tangannya. "Ya, dan kau tahu bagaimana reaksinya nanti. Dia sudah cukup kesal karena kau ‘menahannya’ dengan alasan keamanan, tapi sekarang kau benar-benar tidak punya pilihan lain."
Dante tertawa kecil. "Sial, Leon. Biasanya, kita yang memilih siapa yang akan kita bawa ke dalam dunia ini. Tapi kali ini, dunia kita justru menariknya masuk tanpa bisa dicegah."
Leon menghela napas panjang, lalu meneguk bourbonnya dalam sekali teguk. "Aku harus memastikan dia tetap aman. Mau dia suka atau tidak."
Kai menatapnya dengan ekspresi geli. "Ah, lihatlah. Sang Mafia Besar akhirnya harus melindungi seseorang bukan karena bisnis, bukan karena kepentingan strategis, tapi karena hutang lama yang tak pernah selesai."
Gabriel menambahkan dengan nada menggoda. "Atau… mungkin ada alasan lain?"
Leon mendelik tajam. "Jangan mulai."
Dante dan Kai tertawa kecil. "Kami hanya mengingatkan, bos. Wanita itu bukan hanya tangguh, tapi dia juga lawan yang sepadan untukmu."
Gabriel mengangguk setuju. "Dan sekarang, dia resmi menjadi bagian dari masalah besarmu."
Leon mengembuskan napas berat, matanya kembali mengeras. Satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan Sergio menyentuhnya.
Apapun yang terjadi.
Sergio Serrano berdiri di depan jendela kaca besar di kantornya, menatap kelam ke pemandangan kota di bawahnya. Cerutu di tangannya mengepulkan asap tebal, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang kuat.Di belakangnya, Rafael Serrano bersandar santai di sofa, memainkan pisau lipat dengan ekspresi bosan. "Ayah, kau terlalu tegang."Sergio tidak menoleh, tetapi suaranya terdengar dingin dan berbahaya. "Katakan sekali lagi siapa dokter yang membantu Leon Santiago."Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, menundukkan kepala dalam ketakutan. "Kami sudah menyelidikinya, Tuan. Namanya Elera Vasquez."Sergio mengerutkan alis. "Vasquez?"Rafael menegakkan tubuhnya, ekspresi bosannya berubah menjadi tertarik. "Hmm… seperti nama yang familiar."Pria berjas itu menelan ludah sebelum melanjutkan. "Elera Vasquez adalah seorang dokter, bekerja di rumah sakit pusat kota. Dan dia… anak dari Rodrigo Vasquez."Brak!Sergio melempar gelas whisky di tangannya hingga pecah berkeping-keping di l
Maya masih berdiri dengan ekspresi syok total, matanya meneliti Leon dan Dante dari atas ke bawah, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Elera… siapa mereka? Dan kenapa pria itu berbicara seolah kau harus pergi bersamanya?"Elera menelan ludah, otaknya bekerja cepat mencari jawaban yang masuk akal. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.Dia tidak bisa mengatakan “Oh, dia seorang mafia yang sedang dalam perang dengan musuhnya, dan aku tidak sengaja terjebak di dalamnya setelah menyelamatkan nyawanya dari baku tembak.”Jadi, tanpa berpikir panjang, kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah—"Dia… orang yang dijodohkan denganku oleh Om dan Tante."Hening.Maya berkedip, wajahnya berubah dari penuh kecurigaan menjadi kebingungan total. "APA?!"Dante, yang tadinya bersandar santai di pintu, langsung membeku, menatap Elera seolah baru saja mendengar lelucon terbaik dalam hidupnya.Leon, sementara itu, tetap memasang ekspresi datarnya. Namun, tatapannya ke
Mobil melaju melewati jalan-jalan kota dengan tenang, meskipun suasana dalam kendaraan terasa jauh dari kata damai.Elera duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dada, masih berusaha mencerna semua yang terjadi di apartemennya tadi.Leon, yang menyetir dengan santai, meliriknya sekilas sebelum berkata dengan nada datar. "Aku tidak percaya kau benar-benar mengatakan kalau kita dijodohkan."Elera menutup mata dan menghembuskan napas panjang. "Jangan mengingatkanku."Dante, yang duduk di belakang, terkikik. "Jujur saja, itu cukup jenius. Walaupun aku tak yakin bagaimana kau bisa berpikir secepat itu."Elera melotot ke arah kaca spion, menatap Dante yang masih tersenyum lebar. "Itu bukan pilihan! Maya mulai curiga dan aku harus mengatakan sesuatu! Lagipula, itu lebih masuk akal daripada mengatakan kalau aku terjebak dalam perang mafia!"Leon menyeringai tipis. "Dan sekarang kau harus mempertahankan kebohongan itu."Elera tersentak. Oh. Sial.Dante tertawa lebih keras. "Ya, sela
Elera duduk di sofa dengan wajah penuh kelelahan, sementara Leon berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Dante bersandar di dinding, Kai dan Gabriel duduk dengan santai, masih menyisakan sisa-sisa tawa dari kejadian sebelumnya."Jadi," kata Elera akhirnya, menatap mereka semua dengan tajam. "Setelah dipikir-pikir, aku rasa Maya harus tahu yang sebenarnya."Kai langsung bersiul santai. "Wah, wah, wah. Ini akan menyenangkan."Gabriel langsung menepuk pahanya dengan penuh semangat. "Akhirnya! Aku sudah menunggu saat ini!"Leon menghela napas panjang. "Aku masih tidak yakin ini ide yang bagus."Elera melotot ke arahnya. "Kau pikir berapa lama aku bisa mempertahankan kebohongan ini? Maya terlalu pintar untuk tidak menyadari ada yang aneh. Kalau aku tidak segera memberitahunya, dia pasti akan mulai menyelidiki sendiri, dan itu jauh lebih berbahaya!"Leon terdiam, tetapi matanya tetap tajam. "Kalau dia tahu, dia juga bisa jadi target."Elera mendesah. "Maya bisa menjaga diri
Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.Dor! Dor! Dor!Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.Elera membeku.Pria itu berusa
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di sofa dengan wajah penuh kelelahan, sementara Leon berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Dante bersandar di dinding, Kai dan Gabriel duduk dengan santai, masih menyisakan sisa-sisa tawa dari kejadian sebelumnya."Jadi," kata Elera akhirnya, menatap mereka semua dengan tajam. "Setelah dipikir-pikir, aku rasa Maya harus tahu yang sebenarnya."Kai langsung bersiul santai. "Wah, wah, wah. Ini akan menyenangkan."Gabriel langsung menepuk pahanya dengan penuh semangat. "Akhirnya! Aku sudah menunggu saat ini!"Leon menghela napas panjang. "Aku masih tidak yakin ini ide yang bagus."Elera melotot ke arahnya. "Kau pikir berapa lama aku bisa mempertahankan kebohongan ini? Maya terlalu pintar untuk tidak menyadari ada yang aneh. Kalau aku tidak segera memberitahunya, dia pasti akan mulai menyelidiki sendiri, dan itu jauh lebih berbahaya!"Leon terdiam, tetapi matanya tetap tajam. "Kalau dia tahu, dia juga bisa jadi target."Elera mendesah. "Maya bisa menjaga diri
Mobil melaju melewati jalan-jalan kota dengan tenang, meskipun suasana dalam kendaraan terasa jauh dari kata damai.Elera duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dada, masih berusaha mencerna semua yang terjadi di apartemennya tadi.Leon, yang menyetir dengan santai, meliriknya sekilas sebelum berkata dengan nada datar. "Aku tidak percaya kau benar-benar mengatakan kalau kita dijodohkan."Elera menutup mata dan menghembuskan napas panjang. "Jangan mengingatkanku."Dante, yang duduk di belakang, terkikik. "Jujur saja, itu cukup jenius. Walaupun aku tak yakin bagaimana kau bisa berpikir secepat itu."Elera melotot ke arah kaca spion, menatap Dante yang masih tersenyum lebar. "Itu bukan pilihan! Maya mulai curiga dan aku harus mengatakan sesuatu! Lagipula, itu lebih masuk akal daripada mengatakan kalau aku terjebak dalam perang mafia!"Leon menyeringai tipis. "Dan sekarang kau harus mempertahankan kebohongan itu."Elera tersentak. Oh. Sial.Dante tertawa lebih keras. "Ya, sela
Maya masih berdiri dengan ekspresi syok total, matanya meneliti Leon dan Dante dari atas ke bawah, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Elera… siapa mereka? Dan kenapa pria itu berbicara seolah kau harus pergi bersamanya?"Elera menelan ludah, otaknya bekerja cepat mencari jawaban yang masuk akal. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.Dia tidak bisa mengatakan “Oh, dia seorang mafia yang sedang dalam perang dengan musuhnya, dan aku tidak sengaja terjebak di dalamnya setelah menyelamatkan nyawanya dari baku tembak.”Jadi, tanpa berpikir panjang, kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah—"Dia… orang yang dijodohkan denganku oleh Om dan Tante."Hening.Maya berkedip, wajahnya berubah dari penuh kecurigaan menjadi kebingungan total. "APA?!"Dante, yang tadinya bersandar santai di pintu, langsung membeku, menatap Elera seolah baru saja mendengar lelucon terbaik dalam hidupnya.Leon, sementara itu, tetap memasang ekspresi datarnya. Namun, tatapannya ke
Sergio Serrano berdiri di depan jendela kaca besar di kantornya, menatap kelam ke pemandangan kota di bawahnya. Cerutu di tangannya mengepulkan asap tebal, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang kuat.Di belakangnya, Rafael Serrano bersandar santai di sofa, memainkan pisau lipat dengan ekspresi bosan. "Ayah, kau terlalu tegang."Sergio tidak menoleh, tetapi suaranya terdengar dingin dan berbahaya. "Katakan sekali lagi siapa dokter yang membantu Leon Santiago."Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, menundukkan kepala dalam ketakutan. "Kami sudah menyelidikinya, Tuan. Namanya Elera Vasquez."Sergio mengerutkan alis. "Vasquez?"Rafael menegakkan tubuhnya, ekspresi bosannya berubah menjadi tertarik. "Hmm… seperti nama yang familiar."Pria berjas itu menelan ludah sebelum melanjutkan. "Elera Vasquez adalah seorang dokter, bekerja di rumah sakit pusat kota. Dan dia… anak dari Rodrigo Vasquez."Brak!Sergio melempar gelas whisky di tangannya hingga pecah berkeping-keping di l
Elera mendengus kesal, duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada. Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima ketimbang tempat persembunyian. Tetapi meskipun ranjangnya nyaman, ia tetap merasa seperti tahanan mewah."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya, memijat pelipis.Di luar kamarnya, terdengar suara langkah kaki mendekat. Elera segera merapatkan selimutnya dan menajamkan pendengaran.~~~~~~~Di ruang kerja Leon…Leon duduk di kursi besar di balik meja kayu gelap, matanya menelusuri dokumen laporan terbaru. Namun, pikirannya terus melayang pada kejadian malam itu—baku tembak, luka yang ia alami, dan… Elera.Pintu terbuka, dan seorang pria masuk tanpa izin, langsung menjatuhkan dirinya ke sofa."Gawat, Leon. Aku baru dengar kabar ini, dan aku harus lihat dengan mataku sendiri."Leon mendesah tanpa melihat. "Gabriel, tutup pintu dan berhenti berisik."Gabriel Moretti, sahabat sekaligus penasihat strateginya, menyeringai. "Aku tid
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.Dor! Dor! Dor!Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.Elera membeku.Pria itu berusa