Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.
Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.
Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.
Leon Santiago.
Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal.
"Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.
Di luar, suara langkah kaki mendekat.
Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.
Leon.
Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi.
"Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang membahas cuaca.
Elera menatapnya tajam. "Oh? Aku tidak tahu kalau aku punya pilihan lain."
Leon melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. "Aku ingin bicara denganmu."
Elera langsung bangkit dari ranjang, sikapnya waspada. "Kalau ini soal kau melarangku pergi, jangan repot-repot. Aku tidak setuju!"
Leon menatapnya tanpa terganggu. "Itu bukan negosiasi."
Elera nyaris ingin melempar bantal ke wajahnya. "Kau tidak bisa menahanku di sini selamanya!"
Leon berjalan lebih dekat, gerakannya lambat tetapi berbahaya. "Aku tidak ingin ada darahmu di tanganku, Dokter. Keluar dari tempat ini sekarang hanya akan membuatmu menjadi target."
Elera menelan ludah. "Jadi maksudmu, aku dalam bahaya?"
Leon hanya menaikkan satu alis. "Tadi malam sudah cukup membuktikan itu, bukan?"
Elera mengalihkan pandangan, ingin menyangkal tetapi tahu Leon benar. Ia memang melihat sendiri baku tembak itu, bagaimana pria ini nyaris terbunuh.
"Tetap saja," gumamnya. "Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku punya pekerjaan, pasien yang harus kutangani."
Leon menghela napas pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, kita perlu kesepakatan."
Elera mengerutkan kening. "Kesepakatan?"
Leon bersandar di meja di sudut kamar, tatapannya tidak pernah lepas dari Elera. "Kau ingin bebas, dan aku ingin memastikan kau tetap hidup. Jadi, kita cari solusi."
Elera tidak menyukai nada suaranya. "Solusi seperti apa?"
Leon tersenyum tipis, senyum khas seorang pria yang sudah menyusun strategi di kepalanya.
"Tunggu dan lihat saja," katanya tenang. "Tapi aku yakin, kau tidak akan menolak tawaranku nanti."
Dan tanpa memberi Elera kesempatan untuk bertanya lebih lanjut, Leon berbalik dan keluar dari kamar.
Meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya.
~~~~~
Suara langkah kaki Elera terdengar pelan saat ia menuruni tangga menuju ruang makan. Setiap langkah terasa berat, bukan karena tubuhnya lelah, tetapi karena pikirannya masih dipenuhi kemarahan.
Ia tidak suka dikurung.
Ia tidak suka diperlakukan seperti tahanan.
Dan yang paling ia benci, ia tidak suka merasa tidak punya kendali atas hidupnya sendiri.
Begitu melewati ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Leon yang duduk dengan tenang di ujung meja makan panjang.
Pria itu masih dalam balutan kemeja hitam yang bagian atasnya sedikit terbuka, menciptakan kesan santai tetapi tetap dominan. Luka-luka di tubuhnya masih ada, tetapi tidak sedikit pun membuatnya tampak lebih lemah.
Di sampingnya, seorang pria lain sedang sibuk memotong makanannya dengan tenang. Kai Armand.
Dokter pribadi Leon yang tampaknya lebih tertarik menjadi pengamat ketimbang bekerja.
Elera menghela napas panjang dan menarik kursi, duduk di seberang mereka tanpa sepatah kata.
Tatapan Kai langsung tertuju padanya, senyumnya terangkat seolah ini adalah hiburan pagi yang sudah ia tunggu.
"Ah, akhirnya kau keluar juga," katanya dengan nada ceria. "Aku hampir mengira Leon benar-benar menyekapmu di dalam."
Elera mengambil sendok tanpa melihatnya. "Kau bisa menganggapnya begitu."
Kai terkekeh pelan. "Jangan terlalu keras. Leon jarang membawa wanita ke safe house-nya, kau tahu?"
Elera mendongak, menatapnya tajam. "Oh? Haruskah aku merasa tersanjung?"
Kai mengangkat bahu dengan ekspresi penuh arti. "Yah, aku hanya berpikir kau mungkin… spesial."
Elera mendecak. "Lucu sekali, aku merasa seperti tawanan, bukan tamu."
Leon akhirnya mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata abu-abu yang tajam.
"Kau masih ingin pergi?"
Nada suaranya rendah, nyaris terdengar seperti bisikan.
Elera menghentikan gerakannya, lalu meletakkan sendok di piring dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
"Apakah itu pertanyaan retoris?" tanyanya, suara sarkastiknya begitu jelas.
Leon meletakkan garpunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Aku hanya ingin tahu apakah kau masih keras kepala."
Elera mengerucutkan bibirnya dan menyandarkan diri ke kursi. "Dan aku hanya ingin tahu kapan kau akan sadar bahwa aku bukan seseorang yang bisa dikurung begitu saja."
Kai bersiul pelan, matanya berbinar dengan minat yang jelas. "Astaga, ini lebih menarik dari yang kuduga."
Elera menoleh ke arahnya dengan tatapan malas. "Apa maksudmu?"
Kai meletakkan pisau dan garpunya, lalu menyandarkan diri ke kursi dengan ekspresi puas.
"Biasanya, wanita yang berhadapan dengan Leon akan membeku ketakutan. Bukan berdebat dengannya saat sarapan."
Elera mendengus. "Jadi, aku seharusnya tunduk seperti semua orang?"
Leon tersenyum tipis, senyum khasnya yang lebih mirip ancaman daripada kelembutan.
"Aku tidak ingin kau tunduk," katanya, tatapannya tidak bergeming sedikit pun. "Aku hanya ingin kau mendengar tawaranku."
Elera menajamkan tatapannya. "Tawaran?"
Kai mengangkat cangkir kopinya dengan santai. "Nah, ini bagian yang menarik."
Leon mengambil napas panjang sebelum akhirnya menatapnya dalam-dalam.
"Kau bukan hanya seorang dokter biasa lagi, Elera." Suaranya tenang tetapi tegas. "Kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat. Dan sekarang, kau adalah tanggung jawabku."
Elera mengetukkan jarinya ke meja, berusaha meredam emosinya.
"Lucu sekali, karena dari sudut pandangku, aku adalah korban yang terjebak dalam kekacauanmu."
Leon tetap diam, matanya tetap tajam menelisik ekspresinya.
Elera merasa darahnya mendidih. Pria ini benar-benar menganggap semuanya seolah hanya permainan catur yang bisa ia kendalikan.
"Kau ingin aku tetap di sini selamanya?" tanyanya dingin.
Leon tidak langsung menjawab.
Tetapi senyum tipisnya yang nyaris tidak terlihat membuat Elera semakin kesal.
"Kita lihat saja nanti," jawabnya santai.
Elera menggertakkan giginya. "Kau tidak bisa mengatur hidupku, Leon."
Kai tertawa kecil dan menepuk meja. "Astaga, ini lebih seru dari yang kuduga. Biasanya, semua orang tunduk pada Leon, tapi kau? Kau malah berani membentaknya."
Elera melipat tangan di dada. "Aku bukan anak buahnya."
"Tidak," Leon akhirnya berbicara lagi, suaranya dalam dan mengancam. "Tapi sekarang, kau adalah urusanku."
Elera terdiam, rahangnya mengeras.
Ia tahu pria ini tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Tetapi, ia juga tidak akan menyerah dengan mudah.
Kai masih terkekeh, mengusap dagunya dengan ekspresi penuh hiburan.
"Kau tahu, Leon," katanya. "Wanita ini sangat berbeda dari yang lain."
Leon menyipitkan mata, tetapi tidak berkata apa pun.
Elera tidak menyadari bagaimana ekspresi Leon berubah sejenak.
Untuk pertama kalinya, pria itu tidak bisa membaca lawannya.
Dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Maya mondar-mandir di ruang tamu apartemen Elera, wajahnya penuh kekhawatiran dan frustrasi. Ponselnya tergenggam erat di tangan, siap menelepon polisi kapan saja.Seharusnya mereka sudah berada di Pattaya sekarang, menikmati liburan yang telah direncanakan berbulan-bulan. Tapi nyatanya? Sahabatnya malah menghilang tanpa kabar.Klik!Suara kunci berputar.Maya langsung menoleh ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya muncul."ELERA!"Ia langsung berlari dan memeluk sahabatnya erat, hampir membuat Elera kehilangan keseimbangan."Ya Tuhan, kau ke mana saja?! Aku sudah hampir gila!"Elera tersenyum tipis, membalas pelukan itu dengan tepukan pelan di punggung Maya. "Aku baik-baik saja, Ma."Namun, Maya langsung menarik diri dan menatapnya penuh selidik."Tidak! Kau tidak baik-baik saja! Kau menghilang semalaman, tidak menjawab telepon, lalu tiba-tiba kembali seperti ini?"Elera membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu
Hening.Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju."Ayah…?"Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya."Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.Diego kembali menatap Leon
Hening.Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.Elera merasakan firasat buruk.Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan."Kau akan ikut denganku."Hening.Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."Elera
Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya."Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.Dante menyeringai d
Elera menatap kosong ke arah layar ponselnya, jari-jarinya masih ragu untuk mengetik. Setelah percakapan gila dengan Leon tadi, otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria itu benar-benar baru saja melamarnya.Melamar.Untuk menikah.Dengan dia.Elera memijat pelipisnya, menghela napas panjang. Dia butuh seseorang untuk menertawakan semua ini bersamanya, atau setidaknya, seseorang yang bisa membantunya berpikir lebih jernih.Jadi, tanpa pikir panjang lagi, dia menekan nomor Maya.Dreet. Dreet. Dreet.Panggilan tersambung hanya dalam dua detik."AKHIRNYA KAU MENELPON!" Suara Maya langsung melengking di telinganya.Elera menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sebelum kembali mendekatkannya. "Maya, tolong, jangan berteriak—""JANGAN BERTERIAK?! ELERA VASQUEZ, KAU MENGHILANG SELAMA SEMINGGU DAN SEKARANG BARU MENELPONKU?! APA KAU TAHU SEBERAPA BANYAK PERTANYAAN YANG KUPUNYA?!"Elera menghela napas panjang, berusaha meredam emosi sahabatnya. "Maya, aku tidak punya banyak waktu un
Ruangan itu dipenuhi ketegangan saat Diego Alvarez menatap Leon dan Elera tanpa ekspresi. Mata tajamnya menembus mereka, seolah mencoba menilai apa yang sebenarnya terjadi.Maya duduk di sofa dengan tangan disilangkan, jelas menikmati momen ini."Jelaskan," ulang Diego dengan nada lebih dalam.Leon tetap berdiri dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. "Kami datang untuk membicarakan sesuatu denganmu."Diego menaikkan satu alis, lalu menatap ke arah Elera yang sejak tadi berdiri canggung di samping Leon."Elera," suaranya lebih lembut saat berbicara padanya. "Apa kau baik-baik saja?"Elera mengangguk cepat, tetapi kemudian menelan ludah sebelum berbicara. "Paman… aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu."Diego mengisyaratkan agar mereka duduk. Elera langsung menurut, tetapi Leon tetap berdiri, memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu di sisi ruangan."Apa yang ingin kau tanyakan?"Elera menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian. "Paman… bagaim
Suasana yang semula tegang langsung berubah menjadi alarm penuh kewaspadaan.Diego bergerak lebih dulu, menekan tombol di arlojinya, dan dalam hitungan detik, pengawal pribadinya sudah bersiaga di sekitar rumah.Leon, tanpa membuang waktu, menarik Elera ke belakang tubuhnya, sementara Maya juga merapat ke sisi ayahnya, ekspresi serius menggantikan kehebohan biasanya."Jangan keluar dulu," kata Diego dingin.Leon mengangkat pistolnya, matanya tajam menyisir ruangan seolah musuh bisa muncul kapan saja. "Dante ada di luar?" tanyanya tanpa menoleh.Diego mengangguk. "Ya. Dan aku yakin dia juga sudah menyadari sesuatu."Elera mengepalkan tangannya, jantungnya masih berdebar cepat. "Apa ini mereka?" bisiknya.Leon menoleh sedikit ke arahnya, sorot matanya penuh peringatan. "Kita tidak akan mengambil risiko untuk menganggap ini bukan mereka."Maya menelan ludah. "Astaga, ini benar-benar seperti film thriller yang kutonton tadi malam," gumamnya.Diego menoleh tajam ke putrinya. "Fokus, Maya."
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit malam yang pekat. Elera duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat di dada, matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Seharusnya ini hanya malam biasa. Seharusnya ia masih bisa bercanda dengan Maya tentang kasus-kasus aneh di rumah sakit. Seharusnya ia masih bisa pulang ke apartemennya yang nyaman, bukannya ikut seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu ke tempat yang entah di mana.Leon duduk di sebelahnya, tetap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli dengan badai yang sedang berkecamuk di dalam kepala Elera. Sementara itu, Dante yang mengemudi malah terlihat menikmati situasi ini."Aku suka keheningan ini," gumam Dante sambil menyeringai. "Tapi aku lebih suka kalau ada sedikit hiburan. Bagaimana kalau kalian bertengkar seperti tadi?"Elera meliriknya tajam. "Tutup mulutmu, Dante."Dante tertawa kecil. "Oh, Dokter. Kau benar
Pagi itu villa terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di atas lantai kayu hangat, sementara suara burung-burung kecil dari luar menjadi latar alami yang merdu.Leon dan Elera sibuk di kamar, mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper.Elera duduk bersila di atas tempat tidur, melipat pakaian mereka dengan rapi, sementara Leon lebih banyak mondar-mandir, memasukkan berbagai benda ke dalam tas... bahkan beberapa barang yang sebenarnya bukan milik mereka.“Leon...” Elera memanggil sambil melipat blus. “Itu sandal villa. Bukan punya kita.”Leon melirik sandal di tangannya, lalu mengangkat bahu dengan cuek.“Mereka pasti mau memberikannya sebagai kenang-kenangan. Ini sandal saksi bisu pertempuran kita.”Elera memukul bantal di sebelahnya dengan geli. “Sandal villa, Leon.”Leon tertawa kecil, akhirnya meletakkan sandal itu kembali ke raknya. Dia lalu mendekat dan berjongkok di depan Elera, merebut blus dari tangannya dan mulai membantunya melipat
Bulan madu mereka terasa seperti dunia milik berdua, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mereka yang penuh dengan intrik dan tantangan. Di tengah keheningan pantai yang indah, hanya suara deburan ombak yang terdengar, Elara dan Leon menikmati momen penuh kedamaian, jauh dari segala ancaman.Leon terbaring di samping Elara, menatap wajah istrinya yang kini tengah berbaring santai di atas matras besar. Tangannya melingkar di pinggang Elara, membelai lembut perutnya. Mata Leon yang penuh perhatian tak lepas dari Elara, seakan mengekspresikan sejuta kata yang tak terucapkan.Dengan senyum nakal, dia mendekatkan wajahnya ke perut Elara, mencium lembut kulitnya yang halus. "Aku sangat senang," katanya dengan suara lembut yang hampir berbisik, "jika di dalam perutmu ini akan ada adik untuk Alvario."Elara menatapnya dengan sedikit rasa terkejut, namun senyum perlahan muncul di bibirnya. "Leon..." suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh kehangatan. "Apa yang kamu katakan itu... seriu
Pagi di villa terasa cerah dan damai, dengan angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah sarapan bersama dan menghabiskan waktu bersantai, Elera—yang sudah mengganti mood menjadi ceria dan penuh energi—mengajak Leon untuk keluar berjalan-jalan.“Aku mau beli oleh-oleh,” katanya sambil memakai topi anyaman dan kacamata hitam. “Kita nggak bisa pulang tanpa bawa cinderamata buat yang di mansion.”Leon mengangguk, berdiri dari sofa sambil menyambar kunci mobil. “Ayo. Tapi kita pilih dengan niat balas dendam, kan? Gara-gara mereka main perang di rumah.”Elera tersenyum lebar. “Tentu. Ini untuk pembalasan yang manis.”~~~~~Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil kawasan wisata, menyapa pedagang lokal dan mencicipi sedikit jajanan khas. Lalu, masuklah mereka ke sebuah toko suvenir kecil penuh gantungan warna-warni dan barang-barang aneh yang langsung memancing tawa.Leon menunjuk sebuah miniatur kerangka dokter dengan tulisan "DR. PAIN" di dadanya. “Untuk Maya, ini cocok. Apalag
Pagi yang tenang menyelimuti villa tempat mereka mengasingkan diri dari dunia. Udara sejuk dari pegunungan menyusup perlahan melalui celah jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari pelan mengikuti hembusan angin, sementara sinar matahari pagi mengendap pelan ke dalam kamar, membentuk pola-pola hangat di atas seprai kusut yang menjadi saksi malam penuh emosi dan amarah yang akhirnya mencair menjadi keintiman yang dalam.Elera terbangun lebih dulu.Pelan-pelan, dia menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang masih tertidur di sampingnya. Leon terlihat damai, sangat berbeda dari singa pemilik dunia bawah yang dikenal semua orang. Di sini, di sisi Elera, dia hanyalah Leon—pria yang mencintainya dengan rakus, dengan cara yang kadang membingungkan, kadang menyakitkan, tapi juga selalu membuatnya merasa... milik.Lengan Leon masih melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat. Dada hangat pria itu menjadi sandaran pipinya semalaman. Bekas-bekas 'pertempuran' yang belum
Di pagi yang sedikit mendung, Leon berdiri di depan pintu kamar sambil menyender malas, satu tangan menyembunyikan kotak kecil dari belakang tubuhnya. Elera yang baru saja keluar dari kamar Alva menatapnya datar."Ada apa lagi, Leon?" tanyanya curiga, rambutnya masih agak berantakan tapi tetap terlihat memukau dengan piyama satin abu-abu yang longgar.Leon mendekat, memberikan senyumannya yang bisa membuat siapa pun curiga, tapi juga sulit ditolak. “Aku ingin menebus kesalahanku,” ucapnya pelan.Elera menyilangkan tangan. “Dengan?”“Berlibur. Hanya kita berdua.”Elera mendengus kecil, lalu menatapnya seperti baru saja mendengar lelucon gagal. “Dan bagaimana dengan Alva?”Leon mengangkat alis. “Dia aman di rumah. Lagipula… mungkin dia butuh teman main. Si kecil itu bosan bermain strategi melawan orang dewasa.”Elera langsung menegang. Pipi yang sempat memerah karena implikasi halus itu langsung digantikan oleh ekspresi setengah kesal.“Jadi kamu ngajak aku honeymoon ya?” Elera mengerut
Suasana ruang rawat kembali tenang. Maya masih duduk di kursi sebelah tempat tidur, sibuk membereskan bantal sambil pura-pura tidak mendengarkan percakapan yang hendak dimulai. Kai berdiri di dekat jendela, memeluk map medis Dante dengan ekspresi datar yang selalu ia pertahankan—meski ekor matanya mencuri-curi arah ke arah Elera.Elera, dengan langkah mantap, menghampiri sisi tempat tidur Dante. Tatapannya tenang, tapi jelas membawa beban yang berat. Dante yang semula mencoba tertawa, menjadi sedikit kikuk."Dokter Elera..." gumam Dante pelan, suaranya masih serak. "Maaf… aku nggak bisa jaga Leon. Harusnya aku bisa lebih cepat lihat tanda sniper-nya, mungkin—"Elera mengangkat tangannya pelan, menyela. “Berhenti, Dante.”Tatapan dingin khas Elera itu menusuk, tapi bukan karena marah—melainkan karena terluka. Dalamnya bukan dari Dante.“Bukan salahmu. Seharusnya dia…” Elera menoleh sejenak ke arah Leon yang berdiri di belakang. “...ingat kalau dia punya aku dan Alva. Jadi, lain kali, m
Langit masih malu-malu menampakkan warna jingganya ketika Leon bangun dari sofa ruang keluarga. Bekas semalaman berpikir masih tertinggal di wajahnya—lelah, sedikit kusut, dan penuh penyesalan. Ia langsung berdiri dan melangkah cepat ke kamar Alvario.Namun, kamar itu kosong.Selimut Alva sudah rapi, boneka favoritnya duduk manis di ujung tempat tidur, dan bantal kecilnya sudah disusun dengan sempurna. Leon mengernyit, berjalan ke kamar mandi, kemudian ke kamar mereka. Sunyi. Elera tidak ada.“Elera?” panggilnya sambil membuka lemari pakaian yang sebagian sudah kosong. Tidak, bukan kosong karena pergi—tapi karena memang Elera sudah bersiap sejak dini hari.Di meja rias, ada secarik catatan kecil yang ditulis cepat dengan tulisan tangan Elera yang khas.“Ada operasi penting. Aku harus pergi lebih awal. Jangan tanya kenapa aku nggak bangunin kamu. Alva udah aku titip ke Bibi Mara.”Leon menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, menatap tulisan itu dengan pandangan kosong. Ia t
Langit sore mulai meredup, dan aroma khas rumah bercampur dengan ketenangan yang hanya bisa dirasakan setelah hari yang panjang di rumah sakit. Elera baru saja tiba di mansion, rambutnya sedikit berantakan dan langkahnya tampak berat. Tapi begitu pintu masuk terbuka, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah Leon—duduk santai di ruang tengah, satu tangan terangkat, dibalut perban tebal yang tak bisa disembunyikan meski dengan kemeja lengan panjangnya.Elera menghentikan langkah.“Leon?” suaranya penuh nada curiga.Leon menoleh pelan, seperti seseorang yang tahu dia akan dimarahi tapi memilih tetap tenang. “Kau sudah pulang, Sayang,” katanya lembut, mencoba tersenyum.Tapi Elera menatapnya tajam. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?”Sebelum Leon sempat menjawab, Maya muncul dari arah dapur sambil mengunyah sepotong biskuit. “YA AMPUN—akhirnya kau pulang juga! Eh, ngomong-ngomong, Dante di mana sih? Biasanya dia udah ngerecokin ruang tengah dari tadi.”Leon langsung memotong sebelum E
Di ruang keluarga yang terasa seperti ruang strategi militer versi mini, Alvario masih asik dengan permainan strategi dan pasukan boneka-bonekanya. Tangannya kecil, tapi gerakannya terarah, seperti sudah memahami konsep “flank attack” dan “defensive barrier” dari lahir. Pion-pion mungil dari set permainan Dante berserakan, sebagian besar sudah "kalah", dan Alva kini mengarahkan tank mainannya ke sisi kiri peta dengan suara:“Dooor! Ppaang! Majuu!”Leon dan Dante tertawa kecil, tapi tawa mereka terputus saat satu pesan masuk ke ponsel keduanya bersamaan. Wajah mereka langsung berubah. Tegas. Dingin.Leon mengangkat alis ke arah Dante. “Gudang di Pelabuhan Selatan.”Dante menyeringai sinis. “Mereka mulai cari celah lagi. Sudah cukup lama mereka diam.”Leon menatap Alva sebentar—anak kecilnya masih tenggelam dalam dunia perang-perangannya sendiri. Lalu ia berbalik dan memanggil, “Mara.”Bibi Mara yang sedang membawa botol susu langsung berubah sikap. Dalam beberapa detik, apron-nya sudah