Hening.
Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.
Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.
Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju.
"Ayah…?"
Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya.
"Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."
Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.
Diego kembali menatap Leon, lalu menggerakkan dagunya ke arah pintu.
"Di luar. Sekarang."
Leon tidak langsung bergerak, tetapi setelah beberapa detik, ia akhirnya berjalan melewati Diego lebih dulu, dengan langkah tenang namun pasti. Diego mengikutinya dengan langkah serupa, penuh otoritas.
Pintu tertutup.
Elera menghela napas panjang. Matanya langsung tertuju pada Maya, yang masih memandangi pintu dengan ekspresi tajam.
"Maya, ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku, bukan?"
Maya berpaling, ekspresinya berubah lebih serius. "Bukan hanya aku, El. Ayah juga."
Elera semakin merasa tidak nyaman. Dia tidak suka rahasia, terutama jika itu menyangkut dirinya. Tetapi sebelum ia bisa menggali lebih dalam, pikirannya berpaling ke Leon dan Diego yang sekarang ada di luar apartemen.
~~~~~
Angin malam bertiup pelan, membawa hawa dingin yang kontras dengan ketegangan di antara dua pria yang saling berhadapan.
Leon menyandarkan punggungnya ke dinding, ekspresinya tetap datar, tetapi waspada. Sementara itu, Diego berdiri tegak dengan kedua tangan disilangkan di dada, matanya tidak lepas dari Leon.
"Kau benar-benar berani, Santiago."
Leon tidak bereaksi, hanya menunggu kelanjutan dari kata-kata itu.
"Kau membawa Elera ke dalam duniamu. Kau tahu betapa berbahayanya itu?"
Leon akhirnya berbicara, suaranya tetap rendah tetapi tegas. "Aku tidak berniat melibatkannya dalam masalahku."
Diego tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Oh, tapi dia sudah terlibat. Dan itu sepenuhnya salahmu."
Leon menggeleng pelan. "Dia terlibat karena dia menyelamatkanku."
Diego mengerutkan kening. "Dan kau membiarkan itu terjadi?"
Leon menatapnya tajam. "Aku tidak memiliki pilihan lain."
Keheningan kembali menggantung, hanya suara angin yang berbisik di antara mereka.
Diego akhirnya menghela napas panjang. "Apa kau tahu siapa sebenarnya Elera?"
Leon terdiam sesaat, tetapi akhirnya menjawab, "Aku tahu dia anak Rodrigo Vasquez."
Diego mengangguk. "Dan kau tahu apa artinya itu?"
Leon mengepalkan tangannya, menyadari arah pembicaraan ini.
"Sergio tidak akan membiarkannya hidup."
Diego mengangguk lagi. "Dan aku juga tidak bisa membiarkan dia hidup di bawah ancaman konstan seperti ini."
Leon menegang. "Maksudmu apa?"
Diego menatapnya tajam, penuh perhitungan. "Aku ingin dia pergi bersamaku."
Leon mengepal rahangnya. "Tidak."
"Leon. Ini bukan tawaran. Ini keputusan."
Leon melangkah lebih dekat, mata abu-abunya berkilat tajam. "Dan aku juga sudah membuat keputusanku, Tuan Alvarez."
Diego tidak bergeming. "Apa yang bisa kau tawarkan untuk menjamin keselamatannya?"
Hening.
Leon akhirnya mengembuskan napas panjang, matanya menajam. Dia tahu hanya ada satu solusi yang cukup kuat untuk menjamin keselamatan Elera di mata Diego.
Sesuatu yang sejak tadi malam sudah berputar dalam pikirannya.
Sesuatu yang akan mengikatnya dengan Elera lebih kuat daripada sekadar perlindungan biasa.
Dengan suara mantap, Leon akhirnya menjawab.
"Aku akan menikahinya."
~~~~~
Di dalam apartemen, Elera masih mondar-mandir, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang jelas. Sementara itu, Maya duduk di sofa, menyilangkan tangan di dada, dan menatapnya dengan tajam.
"El, duduk dulu. Kau membuatku pusing."
Elera berhenti sejenak, mengembuskan napas panjang, tetapi tetap tidak duduk. "Bagaimana aku bisa tenang kalau mereka sudah berbicara selama ini di luar? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Maya mengangkat bahu. "Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Bagaimana kau bisa terlibat dengan pria seperti Leon Santiago? Dan lebih penting lagi…" Maya menyipitkan mata, suara penuh kecurigaan, "…bagaimana ayahku bisa tahu tentang dia?"
Elera terdiam, genggaman tangannya mengeras. "Aku tidak tahu bagaimana Om Diego mengenal Leon…"
Maya menaikkan satu alis. "Om Diego? Sejak kapan kau memanggilnya begitu? Kau selalu menyebutnya ‘Paman’."
Elera tersentak, menyadari kesalahannya, tetapi buru-buru mengabaikannya. "Bukan itu poinnya, Maya."
Maya menatapnya lekat, seakan mencoba membaca pikirannya. "Baiklah, lalu aku ulangi pertanyaanku. Bagaimana kau bisa mengenal Leon?"
Elera menggigit bibirnya, ragu-ragu, tetapi akhirnya menjawab, "Aku tidak mengenalnya sebelumnya. Aku hanya menolong seseorang yang terluka."
Maya menyilangkan kaki, matanya penuh skeptisisme. "Menolong seseorang yang terluka? Itu saja?"
Elera mengangguk, berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. "Ya, aku hanya seorang dokter, Maya."
Maya menghela napas panjang. "Kau memang seorang dokter, tapi aku mengenalmu lebih dari itu, El. Kau bukan tipe yang tiba-tiba menyeret dirimu ke dalam situasi yang berbahaya—kecuali jika ada sesuatu yang lebih besar dari itu."
Elera mengalihkan pandangannya, tidak ingin bertemu dengan mata tajam Maya.
Maya mendesah, bersandar ke sofa sambil memainkan ujung rambutnya, sebelum akhirnya berkata dengan suara lebih rendah, "Baiklah, kalau kau tidak mau cerita sekarang, aku tidak akan memaksamu."
Elera akhirnya menoleh, sedikit terkejut dengan respon Maya yang lebih lunak dari yang ia kira. "Maya…"
Maya mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Tapi aku akan mencari tahu sendiri. Dan aku yakin ayahku juga menyimpan sesuatu dariku."
Elera kembali terdiam. Ia tahu Maya tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
Dan itu… bisa jadi masalah besar.
Sementara itu, di luar apartemen…
Leon dan Diego masih berdiri berhadapan, udara di antara mereka terasa semakin berat.
Leon menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya, sementara Diego tetap memandangnya dengan ekspresi tenang tetapi penuh otoritas.
"Apa kau yakin kau bisa menjaganya?" Diego akhirnya bertanya, suaranya terdengar seperti ujian terakhir.
Leon tidak ragu saat menjawab. "Aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak bisa kutepati."
Diego masih belum puas. "Kau tahu siapa dia. Dan kau tahu siapa ayahnya."
Leon mengangguk. "Ya, dan aku juga tahu Sergio akan mengincarnya."
Diego menajamkan tatapannya. "Itu sebabnya aku ingin dia pergi bersamaku."
Leon tersenyum tipis, tetapi penuh tantangan. "Dan itu sebabnya aku tidak akan membiarkannya pergi."
Diego tidak menjawab segera. Ia hanya menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Leon tahu bahwa pria ini bukan seseorang yang bisa dipermainkan. Tetapi ia juga bukan seseorang yang bisa ditundukkan dengan mudah.
Hening kembali menyelimuti mereka.
Lalu, akhirnya…
Diego menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara lebih rendah.
"Aku akan memberimu kesempatan, Santiago."
Leon menyipitkan mata. "Maksudmu?"
Diego menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku akan melihat bagaimana kau menangani ini. Tetapi jika kau gagal menjaga Elera, aku sendiri yang akan membawanya pergi."
Leon tidak bereaksi berlebihan, hanya mengangguk pelan. "Baik."
Diego masih menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke apartemen.
Leon tetap berdiri di tempatnya, mata abu-abunya sedikit berkilat di bawah cahaya lampu jalan.
Kesempatan, huh?
Dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Dan sebelum semua ini berakhir…
Dia akan memastikan Elera tetap berada di sisinya.
Hening.Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.Elera merasakan firasat buruk.Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan."Kau akan ikut denganku."Hening.Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."Elera
Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya."Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.Dante menyeringai d
Elera menatap kosong ke arah layar ponselnya, jari-jarinya masih ragu untuk mengetik. Setelah percakapan gila dengan Leon tadi, otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria itu benar-benar baru saja melamarnya.Melamar.Untuk menikah.Dengan dia.Elera memijat pelipisnya, menghela napas panjang. Dia butuh seseorang untuk menertawakan semua ini bersamanya, atau setidaknya, seseorang yang bisa membantunya berpikir lebih jernih.Jadi, tanpa pikir panjang lagi, dia menekan nomor Maya.Dreet. Dreet. Dreet.Panggilan tersambung hanya dalam dua detik."AKHIRNYA KAU MENELPON!" Suara Maya langsung melengking di telinganya.Elera menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sebelum kembali mendekatkannya. "Maya, tolong, jangan berteriak—""JANGAN BERTERIAK?! ELERA VASQUEZ, KAU MENGHILANG SELAMA SEMINGGU DAN SEKARANG BARU MENELPONKU?! APA KAU TAHU SEBERAPA BANYAK PERTANYAAN YANG KUPUNYA?!"Elera menghela napas panjang, berusaha meredam emosi sahabatnya. "Maya, aku tidak punya banyak waktu un
Ruangan itu dipenuhi ketegangan saat Diego Alvarez menatap Leon dan Elera tanpa ekspresi. Mata tajamnya menembus mereka, seolah mencoba menilai apa yang sebenarnya terjadi.Maya duduk di sofa dengan tangan disilangkan, jelas menikmati momen ini."Jelaskan," ulang Diego dengan nada lebih dalam.Leon tetap berdiri dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. "Kami datang untuk membicarakan sesuatu denganmu."Diego menaikkan satu alis, lalu menatap ke arah Elera yang sejak tadi berdiri canggung di samping Leon."Elera," suaranya lebih lembut saat berbicara padanya. "Apa kau baik-baik saja?"Elera mengangguk cepat, tetapi kemudian menelan ludah sebelum berbicara. "Paman… aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu."Diego mengisyaratkan agar mereka duduk. Elera langsung menurut, tetapi Leon tetap berdiri, memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu di sisi ruangan."Apa yang ingin kau tanyakan?"Elera menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian. "Paman… bagaim
Suasana yang semula tegang langsung berubah menjadi alarm penuh kewaspadaan.Diego bergerak lebih dulu, menekan tombol di arlojinya, dan dalam hitungan detik, pengawal pribadinya sudah bersiaga di sekitar rumah.Leon, tanpa membuang waktu, menarik Elera ke belakang tubuhnya, sementara Maya juga merapat ke sisi ayahnya, ekspresi serius menggantikan kehebohan biasanya."Jangan keluar dulu," kata Diego dingin.Leon mengangkat pistolnya, matanya tajam menyisir ruangan seolah musuh bisa muncul kapan saja. "Dante ada di luar?" tanyanya tanpa menoleh.Diego mengangguk. "Ya. Dan aku yakin dia juga sudah menyadari sesuatu."Elera mengepalkan tangannya, jantungnya masih berdebar cepat. "Apa ini mereka?" bisiknya.Leon menoleh sedikit ke arahnya, sorot matanya penuh peringatan. "Kita tidak akan mengambil risiko untuk menganggap ini bukan mereka."Maya menelan ludah. "Astaga, ini benar-benar seperti film thriller yang kutonton tadi malam," gumamnya.Diego menoleh tajam ke putrinya. "Fokus, Maya."
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit malam yang pekat. Elera duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat di dada, matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Seharusnya ini hanya malam biasa. Seharusnya ia masih bisa bercanda dengan Maya tentang kasus-kasus aneh di rumah sakit. Seharusnya ia masih bisa pulang ke apartemennya yang nyaman, bukannya ikut seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu ke tempat yang entah di mana.Leon duduk di sebelahnya, tetap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli dengan badai yang sedang berkecamuk di dalam kepala Elera. Sementara itu, Dante yang mengemudi malah terlihat menikmati situasi ini."Aku suka keheningan ini," gumam Dante sambil menyeringai. "Tapi aku lebih suka kalau ada sedikit hiburan. Bagaimana kalau kalian bertengkar seperti tadi?"Elera meliriknya tajam. "Tutup mulutmu, Dante."Dante tertawa kecil. "Oh, Dokter. Kau benar
Dada Elera naik-turun, napasnya tertahan dalam ketegangan yang mendominasi udara di antara mereka. Kata-kata Leon masih menggema di benaknya, seolah mengukir dirinya sendiri di dalam pikirannya. Menikah?Elera ingin tertawa, ingin meneriakkan protesnya, ingin mengatakan bahwa ini konyol. Namun, saat ia menatap mata Leon—mata yang tajam, penuh keyakinan, sekaligus bahaya—suara itu tertahan di tenggorokannya."Tidak." Elera akhirnya menemukan suaranya, meskipun terdengar lebih lemah dari yang ia inginkan. "Aku tidak akan menikah hanya karena kau berpikir ini adalah cara terbaik untuk melindungiku."Leon tetap diam, hanya menatapnya seolah membaca setiap inci keraguannya. "Ini bukan hanya tentang melindungimu, Elera," suaranya datar, tapi ada sesuatu yang berbahaya terselip di dalamnya. "Ini juga tentang memastikan kau tidak bisa disentuh oleh siapa pun yang berniat menyakitimu."Elera mengatupkan rahangnya. "Jadi aku harus menerima begitu saja? Menikah denganmu hanya karena itu membuat s
Malam sudah larut, tetapi mansion Leon Santiago masih dipenuhi aktivitas. Para pengawal tetap berjaga di sudut-sudut strategis, sementara beberapa orang kepercayaannya masih sibuk mengurus bisnisnya. Namun, di ruangan pribadi Leon, suasana lebih tenang—meskipun tegang dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.Dante bersandar pada kursi di seberang meja, memutar segelas whiskey di tangannya. Sorot matanya tajam saat mengamati pria di depannya.Leon berdiri di dekat jendela besar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap ke luar, ke pemandangan kota yang diterangi cahaya lampu. Tetapi pikirannya tidak ada di sana.“Jadi,” Dante akhirnya membuka suara, nadanya penuh penilaian, “kau ingin pendapatku tentang bagaimana meyakinkan Elera untuk menikah denganmu?”Leon menghela napas, lalu berbalik. “Ya.”Dante menaikkan satu alis. “Itu bukan sesuatu yang biasanya kau minta, Leon.”Leon mendekat, menuangkan whiskey ke gelasnya sendiri, lalu duduk di seberang Dante. Ia mengadu
Hari itu tampak cerah, namun suasana di dalam mobil milik Leon terasa sedikit lebih tegang daripada biasanya. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas yang lebih tenang, Elera yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba menjadi sangat penuh ide konyol—dan Leon serta dua sahabatnya, Kai dan Dante, yang lebih sering jadi korban kejahilannya, kini berada di posisi yang sangat tidak nyaman.Sambil duduk di kursi belakang, Elera memandangi mereka satu per satu dengan senyum nakal yang tak bisa dia sembunyikan. Leon menatapnya dari kaca spion, sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. “Apa lagi yang ingin kamu minta sekarang, Ratu?”Elera menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu berkata dengan nada yang penuh rencana. “Dante,” ujarnya sambil melirik ke arah pria berwajah dingin itu, “Aku ingin kamu berpakaian seperti model dan melakukan pemotretan dengan aku.”Dante hampir tersedak, sementara Kai yang duduk di sampingnya langsung menatapnya dengan heran. “Maaf, apa? Pakaian model? Pemotretan
Udara pagi di kota itu masih segar, langit biru cerah membentang tanpa awan. Jalanan belum terlalu padat, hanya ada lalu lintas yang bersahabat dan mata orang-orang yang terpesona oleh pemandangan luar biasa: Ducati Panigale V4 SP2 berwarna merah menyala, melaju tenang di tengah jalan, dan bukan hanya karena motornya yang mencolok……tetapi karena siapa yang mengendarainya.Leon Santiago—pengusaha, legenda urban, dan pria paling berwibawa di layar berita—mengenakan jaket kulit hitam, helm full-face yang dipoles sempurna, dan di belakangnya, duduk dengan nyaman (dan sedikit meringkuk manja) adalah seorang wanita yang dikenal di kalangan rumah sakit sebagai dokter galak dan penuh nyali—Elera Vasquez, istri sang raja jalanan pagi ini.Elera memeluk pinggang Leon erat, helmnya menempel pada punggung pria itu, suara mesin Ducati yang mendengung lembut membuatnya nyaris mengantuk… hingga…“Leon!” serunya dari balik helm.Leon mengurangi kecepatan sedikit, lalu menolehkan kepala. “Kenapa?”El
Pagi itu, rumah Leon Santiago sudah lebih mirip aula pesta daripada tempat tinggal pasangan muda yang baru pulang dari bulan madu. Dekorasi pastel melayang-layang, dan aroma manis dari cupcake serta bunga segar memenuhi udara. Para staf sibuk mondar-mandir, menghindari teriakan Maya yang kini mengenakan headset seperti event organizer profesional.“Cepat, cepat! Aku tidak mau bunga itu jatuh ke kanan! Harus seimbang, seimbang!” serunya sambil menunjuk ke arah dinding backdrop bertuliskan ‘A Little Santiago is Coming!’Elera berdiri dengan bantal hamil palsu di bawah dressnya—ide Maya tentunya—dengan wajah antara malu dan tidak percaya dirinya ikut permainan seperti ini. Leon, sementara itu, bersandar santai di sisi ruangan, mengenakan kemeja kasual, memperhatikan istrinya dengan senyum tipis… hingga Kai datang.Kai, lengkap dengan wajah trauma yang belum sembuh dari semalam, menyeret kakinya masuk. “Kalian serius? Ini baru baby shower? Bukan acara pernikahan ulang?”Dante datang di be
Pagi di mansion Santiago tak pernah benar-benar sunyi, tetapi pagi ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang menggantung di udara, seolah dunia memberi waktu pada satu pasangan muda untuk menikmati sedikit kedamaian sebelum badai berikutnya datang.Leon berdiri di depan jendela kamarnya, mengenakan kemeja putih yang belum sepenuhnya dikancingkan. Matanya memandangi halaman depan, di mana para pengawal tampak lebih banyak dari biasanya.“Dobelkan penjagaan. Siapkan satu tim untuk investigasi sumber ancaman terakhir. Dan pastikan rumah sakit tempat Elera bekerja sudah disterilkan dari mata-mata mana pun,” katanya dingin melalui ponsel, suaranya seperti perintah militer yang tak bisa dibantah."Siap, Tuan Santiago," jawab suara dari ujung telepon sebelum sambungan diputus.Saat Leon berbalik, pandangannya langsung tertuju pada sosok di ranjang.Elera masih tertidur, wajahnya tenang dan tubuhnya membentuk gumpalan di bawah selimut. Ada rona lembut di pipinya, dan meski Leon sudah berkali-ka
“Leon... ini berlebihan.”Elera berdiri di depan pintu rumah sakit, memandang suaminya dengan ekspresi campur aduk antara geli, pasrah, dan sedikit frustasi. Di belakang Leon, dua pengawal bersenjata dengan setelan jas rapi berdiri siaga. Di sebelah kanan, mobil hitam dengan plat nomor khusus menunggu, dan di sebelah kiri… ada Kai yang tampak lelah memegangi kotak makan bergizi buatan chef pribadi Leon.“Kau hamil,” kata Leon dengan nada datar tapi tak terbantahkan. “Kau tidak boleh naik kendaraan umum, kau tidak boleh bawa mobil sendiri, dan kau tidak boleh melewatkan waktu makan. Aku serius.”Elera memutar bola matanya. “Leon. Aku masih bisa berjalan. Aku tidak sedang lumpuh.”“Tapi kau sedang mengandung anakku. Dan aku tidak ingin kau terpeleset hanya karena lantai rumah sakit terlalu mengilap,” jawabnya cepat.Kai, yang berdiri di samping mereka, menghela napas dan menyerahkan kotak makan itu. “Kau belum makan siang. Ini ikan kukus, sayur rebus, dan nasi merah. Kalau kau tidak mak
Beberapa jam setelah Maya akhirnya “dievakuasi” oleh Dante keluar dari kamar agar Elera bisa benar-benar beristirahat, suara ketukan pelan terdengar di pintu.Leon membuka dan mendapati Kai berdiri di ambang, membawa sebuah tas kecil.“Aku dapat kabar dari Maya, dan kupikir lebih baik kita pastikan daripada terus menerka-nerka,” ucap Kai sambil mengangkat alis dan membuka tasnya, menampilkan test pack yang masih tersegel rapi.Leon menoleh ke arah Elera yang masih bersandar di ranjang dengan wajah lelah dan bingung. “Kau mau mencobanya sekarang?”Elera menatap alat mungil itu, hatinya berdesir aneh. Campuran antara gugup, takut, dan entah—ada sedikit rasa hangat yang tidak bisa ia jelaskan.“Baiklah,” katanya akhirnya, mengambil test pack itu dari tangan Kai. “Tapi kalian tunggu di luar.”Kai tertawa kecil. “Tenang saja, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi pasien galak. Tapi ini mungkin pertama kalinya pasien galaknya adalah istri bosku.”Leon hanya mendengus sambil menahan senyu
Malam itu mansion terasa lebih hidup dari biasanya. Tawa dari ruang makan menyebar hingga ke ruang tengah, tempat Kai dan Dante kini duduk santai sambil menikmati kopi, sementara Leon dan Elera masih di dapur kecil, bergurau sambil membereskan makanan sisa.Dante menyandarkan tubuhnya di sofa, satu tangan menopang kepala, sedangkan Kai duduk di samping dengan ekspresi penuh observasi.“Pernah membayangkan bos kita yang dingin dan penuh aura mafia itu... sekarang jadi budak cinta di dapur?” gumam Kai, menyesap kopinya.Dante menyeringai. “Dulu dia lebih banyak menatap layar komputer dan laporan bisnis daripada menatap wanita. Sekarang? Satu kerutan di kening Elera saja bisa bikin dia tegang setengah mati.”Kai mengangguk pelan, lalu memutar tubuhnya sedikit saat melihat Elera tertawa kecil saat Leon menyeka saus di sudut bibirnya dengan tisu. Pemandangan yang dulu tampaknya mustahil, sekarang jadi kebiasaan baru.Leon Santiago. Dulu dikenal sebagai pria paling rasional dan kanebo kerin
Suara gemericik air mengalun lembut dari balik pintu kamar mandi, sementara uap hangat mulai menyelimuti ruangan. Elera berdiri di bawah shower, membiarkan air mengalir menenangkan tubuhnya yang lelah setelah hari panjang. Rambutnya basah, dan sabun perlahan turun mengikuti lekuk punggungnya.Ia mengembuskan napas perlahan. Akhirnya, sedikit waktu untuk dirinya sendiri.Atau… setidaknya itu yang ia pikirkan.Klik.Elera menoleh cepat ke arah pintu yang tidak terkunci—kesalahan fatal yang terlalu sering dia lakukan akhir-akhir ini, terutama saat berbagi rumah dengan seseorang seperti Leon Santiago.Dan benar saja, sosok tinggi itu masuk tanpa beban, hanya mengenakan celana pendek tidur dan ekspresi paling tidak berdosa yang pernah Elera lihat.“Leon!” serunya, menutupi dada dengan satu tangan sementara tangan satunya mencari handuk. “Keluar! Ini kamar mandi, bukan ruang rapat!”Leon hanya mengangkat alis, lalu dengan tenang menarik kausnya dan melemparkannya ke gantungan. “Dan itu memb
Rumah sakit pagi itu mendadak menjadi tempat yang penuh bisik-bisik heboh. Para perawat yang biasanya berlari sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain, kini malah berkumpul di dekat nurse station, memandang ke ujung lorong dengan ekspresi penuh penasaran dan antusiasme.“Dia datang lagi…” bisik salah satu perawat sambil menyikut temannya.“Dan lihat itu! Bawain bunga segede itu? Astaga, siapa yang bucin sekarang?” balas yang lain, nyaris menjerit tertahan.Langkah kaki tegap Leon Santiago terdengar mantap di lantai koridor rumah sakit. Namun bukan hanya itu yang mencuri perhatian. Pria itu mengenakan jas hitam rapi dengan dasi longgar—gaya yang sangat khas seorang eksekutif—tapi di tangannya… ada sekotak besar bunga mawar segar dan kantong kertas berisi makanan dari restoran bintang lima.Maya yang baru datang dari ruang istirahat dokter langsung mengerutkan kening saat melihat kerumunan. “Apa ini… ada kecelakaan massal?” tanyanya polos, sebelum matanya mengikuti arah pandang semua oran