Pagi itu, rumah Leon Santiago sudah lebih mirip aula pesta daripada tempat tinggal pasangan muda yang baru pulang dari bulan madu. Dekorasi pastel melayang-layang, dan aroma manis dari cupcake serta bunga segar memenuhi udara. Para staf sibuk mondar-mandir, menghindari teriakan Maya yang kini mengenakan headset seperti event organizer profesional.“Cepat, cepat! Aku tidak mau bunga itu jatuh ke kanan! Harus seimbang, seimbang!” serunya sambil menunjuk ke arah dinding backdrop bertuliskan ‘A Little Santiago is Coming!’Elera berdiri dengan bantal hamil palsu di bawah dressnya—ide Maya tentunya—dengan wajah antara malu dan tidak percaya dirinya ikut permainan seperti ini. Leon, sementara itu, bersandar santai di sisi ruangan, mengenakan kemeja kasual, memperhatikan istrinya dengan senyum tipis… hingga Kai datang.Kai, lengkap dengan wajah trauma yang belum sembuh dari semalam, menyeret kakinya masuk. “Kalian serius? Ini baru baby shower? Bukan acara pernikahan ulang?”Dante datang di be
Udara pagi di kota itu masih segar, langit biru cerah membentang tanpa awan. Jalanan belum terlalu padat, hanya ada lalu lintas yang bersahabat dan mata orang-orang yang terpesona oleh pemandangan luar biasa: Ducati Panigale V4 SP2 berwarna merah menyala, melaju tenang di tengah jalan, dan bukan hanya karena motornya yang mencolok……tetapi karena siapa yang mengendarainya.Leon Santiago—pengusaha, legenda urban, dan pria paling berwibawa di layar berita—mengenakan jaket kulit hitam, helm full-face yang dipoles sempurna, dan di belakangnya, duduk dengan nyaman (dan sedikit meringkuk manja) adalah seorang wanita yang dikenal di kalangan rumah sakit sebagai dokter galak dan penuh nyali—Elera Vasquez, istri sang raja jalanan pagi ini.Elera memeluk pinggang Leon erat, helmnya menempel pada punggung pria itu, suara mesin Ducati yang mendengung lembut membuatnya nyaris mengantuk… hingga…“Leon!” serunya dari balik helm.Leon mengurangi kecepatan sedikit, lalu menolehkan kepala. “Kenapa?”El
Hari itu tampak cerah, namun suasana di dalam mobil milik Leon terasa sedikit lebih tegang daripada biasanya. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas yang lebih tenang, Elera yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba menjadi sangat penuh ide konyol—dan Leon serta dua sahabatnya, Kai dan Dante, yang lebih sering jadi korban kejahilannya, kini berada di posisi yang sangat tidak nyaman.Sambil duduk di kursi belakang, Elera memandangi mereka satu per satu dengan senyum nakal yang tak bisa dia sembunyikan. Leon menatapnya dari kaca spion, sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. “Apa lagi yang ingin kamu minta sekarang, Ratu?”Elera menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu berkata dengan nada yang penuh rencana. “Dante,” ujarnya sambil melirik ke arah pria berwajah dingin itu, “Aku ingin kamu berpakaian seperti model dan melakukan pemotretan dengan aku.”Dante hampir tersedak, sementara Kai yang duduk di sampingnya langsung menatapnya dengan heran. “Maaf, apa? Pakaian model? Pemotretan
Malam telah menggulung langit saat konvoi kendaraan mereka akhirnya memasuki gerbang tinggi dan tebal dari Mansion Santiago Timur—sebuah properti pribadi milik Leon yang sangat jarang disentuh publik, bahkan oleh anggota keluarga sendiri. Lokasi ini berada di tengah-tengah pegunungan tenang, tersembunyi di balik rimbunnya hutan dan kamera pengintai yang tersebar luas. Di sinilah Leon menyimpan sebagian besar hal-hal yang ingin ia lindungi dengan harga berapa pun.Elera masih mengenakan gaun berkilauan dari rencana pemotretan konyol sebelumnya, tapi wajahnya kini jauh dari ekspresi main-main. Napasnya teratur, tapi matanya gelisah, tetap memandangi Leon yang tak pernah melepaskan genggamannya sejak kekacauan tadi. Maya, meski terlihat lelah, masih sempat menyumpah pelan melihat sepatunya penuh debu akibat pelarian cepat tadi. Kai dan Dante, keduanya basah oleh keringat dan debu pertempuran, namun tetap dalam mode siaga.Begitu mereka tiba, puluhan pria berpakaian hitam yang sudah menun
Pagi di Mansion Santiago Timur datang dengan lambat, matahari menyelinap lewat tirai tebal, menyinari lantai marmer dan jejak-jejak malam yang penuh ketegangan. Suasana mulai tenang, tapi tak seorang pun di dalam rumah benar-benar bisa tidur nyenyak.Di dapur luas bergaya modern klasik, Maya sedang membuka kulkas sambil menguap. Rambutnya masih acak-acakan, sweater kebesaran Leon dipinjam pakai semalam karena bajunya terkena darah saat membantu menangani luka. Ia membuka botol jus jeruk, lalu menyender ke meja, menyeruput sambil merasakan dinginnya pagi yang ganjil.Tiba-tiba suara langkah berat terdengar. “Kau bangun pagi juga.”Maya menoleh pelan. Dante berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus hitam dan celana olahraga. Rambutnya masih basah—mungkin baru mandi. Ia tampak... terlalu segar untuk orang yang semalam ikut dalam baku tembak.“Aku gak tidur,” gumam Maya. “Dan kau? Kelihatan seperti habis photoshoot.”Dante hanya mengangkat bahu. “Mungkin efek setelah disuruh jadi mod
Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.Dor! Dor! Dor!Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.Elera membeku.Pria itu berusa
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.Leon Santiago.Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.Di luar, suara langkah kaki mendekat.Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.Leon.Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi."Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang memb
Pagi di Mansion Santiago Timur datang dengan lambat, matahari menyelinap lewat tirai tebal, menyinari lantai marmer dan jejak-jejak malam yang penuh ketegangan. Suasana mulai tenang, tapi tak seorang pun di dalam rumah benar-benar bisa tidur nyenyak.Di dapur luas bergaya modern klasik, Maya sedang membuka kulkas sambil menguap. Rambutnya masih acak-acakan, sweater kebesaran Leon dipinjam pakai semalam karena bajunya terkena darah saat membantu menangani luka. Ia membuka botol jus jeruk, lalu menyender ke meja, menyeruput sambil merasakan dinginnya pagi yang ganjil.Tiba-tiba suara langkah berat terdengar. “Kau bangun pagi juga.”Maya menoleh pelan. Dante berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus hitam dan celana olahraga. Rambutnya masih basah—mungkin baru mandi. Ia tampak... terlalu segar untuk orang yang semalam ikut dalam baku tembak.“Aku gak tidur,” gumam Maya. “Dan kau? Kelihatan seperti habis photoshoot.”Dante hanya mengangkat bahu. “Mungkin efek setelah disuruh jadi mod
Malam telah menggulung langit saat konvoi kendaraan mereka akhirnya memasuki gerbang tinggi dan tebal dari Mansion Santiago Timur—sebuah properti pribadi milik Leon yang sangat jarang disentuh publik, bahkan oleh anggota keluarga sendiri. Lokasi ini berada di tengah-tengah pegunungan tenang, tersembunyi di balik rimbunnya hutan dan kamera pengintai yang tersebar luas. Di sinilah Leon menyimpan sebagian besar hal-hal yang ingin ia lindungi dengan harga berapa pun.Elera masih mengenakan gaun berkilauan dari rencana pemotretan konyol sebelumnya, tapi wajahnya kini jauh dari ekspresi main-main. Napasnya teratur, tapi matanya gelisah, tetap memandangi Leon yang tak pernah melepaskan genggamannya sejak kekacauan tadi. Maya, meski terlihat lelah, masih sempat menyumpah pelan melihat sepatunya penuh debu akibat pelarian cepat tadi. Kai dan Dante, keduanya basah oleh keringat dan debu pertempuran, namun tetap dalam mode siaga.Begitu mereka tiba, puluhan pria berpakaian hitam yang sudah menun
Hari itu tampak cerah, namun suasana di dalam mobil milik Leon terasa sedikit lebih tegang daripada biasanya. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas yang lebih tenang, Elera yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba menjadi sangat penuh ide konyol—dan Leon serta dua sahabatnya, Kai dan Dante, yang lebih sering jadi korban kejahilannya, kini berada di posisi yang sangat tidak nyaman.Sambil duduk di kursi belakang, Elera memandangi mereka satu per satu dengan senyum nakal yang tak bisa dia sembunyikan. Leon menatapnya dari kaca spion, sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. “Apa lagi yang ingin kamu minta sekarang, Ratu?”Elera menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu berkata dengan nada yang penuh rencana. “Dante,” ujarnya sambil melirik ke arah pria berwajah dingin itu, “Aku ingin kamu berpakaian seperti model dan melakukan pemotretan dengan aku.”Dante hampir tersedak, sementara Kai yang duduk di sampingnya langsung menatapnya dengan heran. “Maaf, apa? Pakaian model? Pemotretan
Udara pagi di kota itu masih segar, langit biru cerah membentang tanpa awan. Jalanan belum terlalu padat, hanya ada lalu lintas yang bersahabat dan mata orang-orang yang terpesona oleh pemandangan luar biasa: Ducati Panigale V4 SP2 berwarna merah menyala, melaju tenang di tengah jalan, dan bukan hanya karena motornya yang mencolok……tetapi karena siapa yang mengendarainya.Leon Santiago—pengusaha, legenda urban, dan pria paling berwibawa di layar berita—mengenakan jaket kulit hitam, helm full-face yang dipoles sempurna, dan di belakangnya, duduk dengan nyaman (dan sedikit meringkuk manja) adalah seorang wanita yang dikenal di kalangan rumah sakit sebagai dokter galak dan penuh nyali—Elera Vasquez, istri sang raja jalanan pagi ini.Elera memeluk pinggang Leon erat, helmnya menempel pada punggung pria itu, suara mesin Ducati yang mendengung lembut membuatnya nyaris mengantuk… hingga…“Leon!” serunya dari balik helm.Leon mengurangi kecepatan sedikit, lalu menolehkan kepala. “Kenapa?”El
Pagi itu, rumah Leon Santiago sudah lebih mirip aula pesta daripada tempat tinggal pasangan muda yang baru pulang dari bulan madu. Dekorasi pastel melayang-layang, dan aroma manis dari cupcake serta bunga segar memenuhi udara. Para staf sibuk mondar-mandir, menghindari teriakan Maya yang kini mengenakan headset seperti event organizer profesional.“Cepat, cepat! Aku tidak mau bunga itu jatuh ke kanan! Harus seimbang, seimbang!” serunya sambil menunjuk ke arah dinding backdrop bertuliskan ‘A Little Santiago is Coming!’Elera berdiri dengan bantal hamil palsu di bawah dressnya—ide Maya tentunya—dengan wajah antara malu dan tidak percaya dirinya ikut permainan seperti ini. Leon, sementara itu, bersandar santai di sisi ruangan, mengenakan kemeja kasual, memperhatikan istrinya dengan senyum tipis… hingga Kai datang.Kai, lengkap dengan wajah trauma yang belum sembuh dari semalam, menyeret kakinya masuk. “Kalian serius? Ini baru baby shower? Bukan acara pernikahan ulang?”Dante datang di be
Pagi di mansion Santiago tak pernah benar-benar sunyi, tetapi pagi ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang menggantung di udara, seolah dunia memberi waktu pada satu pasangan muda untuk menikmati sedikit kedamaian sebelum badai berikutnya datang.Leon berdiri di depan jendela kamarnya, mengenakan kemeja putih yang belum sepenuhnya dikancingkan. Matanya memandangi halaman depan, di mana para pengawal tampak lebih banyak dari biasanya.“Dobelkan penjagaan. Siapkan satu tim untuk investigasi sumber ancaman terakhir. Dan pastikan rumah sakit tempat Elera bekerja sudah disterilkan dari mata-mata mana pun,” katanya dingin melalui ponsel, suaranya seperti perintah militer yang tak bisa dibantah."Siap, Tuan Santiago," jawab suara dari ujung telepon sebelum sambungan diputus.Saat Leon berbalik, pandangannya langsung tertuju pada sosok di ranjang.Elera masih tertidur, wajahnya tenang dan tubuhnya membentuk gumpalan di bawah selimut. Ada rona lembut di pipinya, dan meski Leon sudah berkali-ka
“Leon... ini berlebihan.”Elera berdiri di depan pintu rumah sakit, memandang suaminya dengan ekspresi campur aduk antara geli, pasrah, dan sedikit frustasi. Di belakang Leon, dua pengawal bersenjata dengan setelan jas rapi berdiri siaga. Di sebelah kanan, mobil hitam dengan plat nomor khusus menunggu, dan di sebelah kiri… ada Kai yang tampak lelah memegangi kotak makan bergizi buatan chef pribadi Leon.“Kau hamil,” kata Leon dengan nada datar tapi tak terbantahkan. “Kau tidak boleh naik kendaraan umum, kau tidak boleh bawa mobil sendiri, dan kau tidak boleh melewatkan waktu makan. Aku serius.”Elera memutar bola matanya. “Leon. Aku masih bisa berjalan. Aku tidak sedang lumpuh.”“Tapi kau sedang mengandung anakku. Dan aku tidak ingin kau terpeleset hanya karena lantai rumah sakit terlalu mengilap,” jawabnya cepat.Kai, yang berdiri di samping mereka, menghela napas dan menyerahkan kotak makan itu. “Kau belum makan siang. Ini ikan kukus, sayur rebus, dan nasi merah. Kalau kau tidak mak
Beberapa jam setelah Maya akhirnya “dievakuasi” oleh Dante keluar dari kamar agar Elera bisa benar-benar beristirahat, suara ketukan pelan terdengar di pintu.Leon membuka dan mendapati Kai berdiri di ambang, membawa sebuah tas kecil.“Aku dapat kabar dari Maya, dan kupikir lebih baik kita pastikan daripada terus menerka-nerka,” ucap Kai sambil mengangkat alis dan membuka tasnya, menampilkan test pack yang masih tersegel rapi.Leon menoleh ke arah Elera yang masih bersandar di ranjang dengan wajah lelah dan bingung. “Kau mau mencobanya sekarang?”Elera menatap alat mungil itu, hatinya berdesir aneh. Campuran antara gugup, takut, dan entah—ada sedikit rasa hangat yang tidak bisa ia jelaskan.“Baiklah,” katanya akhirnya, mengambil test pack itu dari tangan Kai. “Tapi kalian tunggu di luar.”Kai tertawa kecil. “Tenang saja, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi pasien galak. Tapi ini mungkin pertama kalinya pasien galaknya adalah istri bosku.”Leon hanya mendengus sambil menahan senyu
Malam itu mansion terasa lebih hidup dari biasanya. Tawa dari ruang makan menyebar hingga ke ruang tengah, tempat Kai dan Dante kini duduk santai sambil menikmati kopi, sementara Leon dan Elera masih di dapur kecil, bergurau sambil membereskan makanan sisa.Dante menyandarkan tubuhnya di sofa, satu tangan menopang kepala, sedangkan Kai duduk di samping dengan ekspresi penuh observasi.“Pernah membayangkan bos kita yang dingin dan penuh aura mafia itu... sekarang jadi budak cinta di dapur?” gumam Kai, menyesap kopinya.Dante menyeringai. “Dulu dia lebih banyak menatap layar komputer dan laporan bisnis daripada menatap wanita. Sekarang? Satu kerutan di kening Elera saja bisa bikin dia tegang setengah mati.”Kai mengangguk pelan, lalu memutar tubuhnya sedikit saat melihat Elera tertawa kecil saat Leon menyeka saus di sudut bibirnya dengan tisu. Pemandangan yang dulu tampaknya mustahil, sekarang jadi kebiasaan baru.Leon Santiago. Dulu dikenal sebagai pria paling rasional dan kanebo kerin