Beberapa jam setelah Maya akhirnya “dievakuasi” oleh Dante keluar dari kamar agar Elera bisa benar-benar beristirahat, suara ketukan pelan terdengar di pintu.Leon membuka dan mendapati Kai berdiri di ambang, membawa sebuah tas kecil.“Aku dapat kabar dari Maya, dan kupikir lebih baik kita pastikan daripada terus menerka-nerka,” ucap Kai sambil mengangkat alis dan membuka tasnya, menampilkan test pack yang masih tersegel rapi.Leon menoleh ke arah Elera yang masih bersandar di ranjang dengan wajah lelah dan bingung. “Kau mau mencobanya sekarang?”Elera menatap alat mungil itu, hatinya berdesir aneh. Campuran antara gugup, takut, dan entah—ada sedikit rasa hangat yang tidak bisa ia jelaskan.“Baiklah,” katanya akhirnya, mengambil test pack itu dari tangan Kai. “Tapi kalian tunggu di luar.”Kai tertawa kecil. “Tenang saja, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi pasien galak. Tapi ini mungkin pertama kalinya pasien galaknya adalah istri bosku.”Leon hanya mendengus sambil menahan senyu
“Leon... ini berlebihan.”Elera berdiri di depan pintu rumah sakit, memandang suaminya dengan ekspresi campur aduk antara geli, pasrah, dan sedikit frustasi. Di belakang Leon, dua pengawal bersenjata dengan setelan jas rapi berdiri siaga. Di sebelah kanan, mobil hitam dengan plat nomor khusus menunggu, dan di sebelah kiri… ada Kai yang tampak lelah memegangi kotak makan bergizi buatan chef pribadi Leon.“Kau hamil,” kata Leon dengan nada datar tapi tak terbantahkan. “Kau tidak boleh naik kendaraan umum, kau tidak boleh bawa mobil sendiri, dan kau tidak boleh melewatkan waktu makan. Aku serius.”Elera memutar bola matanya. “Leon. Aku masih bisa berjalan. Aku tidak sedang lumpuh.”“Tapi kau sedang mengandung anakku. Dan aku tidak ingin kau terpeleset hanya karena lantai rumah sakit terlalu mengilap,” jawabnya cepat.Kai, yang berdiri di samping mereka, menghela napas dan menyerahkan kotak makan itu. “Kau belum makan siang. Ini ikan kukus, sayur rebus, dan nasi merah. Kalau kau tidak mak
Pagi di mansion Santiago tak pernah benar-benar sunyi, tetapi pagi ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang menggantung di udara, seolah dunia memberi waktu pada satu pasangan muda untuk menikmati sedikit kedamaian sebelum badai berikutnya datang.Leon berdiri di depan jendela kamarnya, mengenakan kemeja putih yang belum sepenuhnya dikancingkan. Matanya memandangi halaman depan, di mana para pengawal tampak lebih banyak dari biasanya.“Dobelkan penjagaan. Siapkan satu tim untuk investigasi sumber ancaman terakhir. Dan pastikan rumah sakit tempat Elera bekerja sudah disterilkan dari mata-mata mana pun,” katanya dingin melalui ponsel, suaranya seperti perintah militer yang tak bisa dibantah."Siap, Tuan Santiago," jawab suara dari ujung telepon sebelum sambungan diputus.Saat Leon berbalik, pandangannya langsung tertuju pada sosok di ranjang.Elera masih tertidur, wajahnya tenang dan tubuhnya membentuk gumpalan di bawah selimut. Ada rona lembut di pipinya, dan meski Leon sudah berkali-ka
Pagi itu, rumah Leon Santiago sudah lebih mirip aula pesta daripada tempat tinggal pasangan muda yang baru pulang dari bulan madu. Dekorasi pastel melayang-layang, dan aroma manis dari cupcake serta bunga segar memenuhi udara. Para staf sibuk mondar-mandir, menghindari teriakan Maya yang kini mengenakan headset seperti event organizer profesional.“Cepat, cepat! Aku tidak mau bunga itu jatuh ke kanan! Harus seimbang, seimbang!” serunya sambil menunjuk ke arah dinding backdrop bertuliskan ‘A Little Santiago is Coming!’Elera berdiri dengan bantal hamil palsu di bawah dressnya—ide Maya tentunya—dengan wajah antara malu dan tidak percaya dirinya ikut permainan seperti ini. Leon, sementara itu, bersandar santai di sisi ruangan, mengenakan kemeja kasual, memperhatikan istrinya dengan senyum tipis… hingga Kai datang.Kai, lengkap dengan wajah trauma yang belum sembuh dari semalam, menyeret kakinya masuk. “Kalian serius? Ini baru baby shower? Bukan acara pernikahan ulang?”Dante datang di be
Udara pagi di kota itu masih segar, langit biru cerah membentang tanpa awan. Jalanan belum terlalu padat, hanya ada lalu lintas yang bersahabat dan mata orang-orang yang terpesona oleh pemandangan luar biasa: Ducati Panigale V4 SP2 berwarna merah menyala, melaju tenang di tengah jalan, dan bukan hanya karena motornya yang mencolok……tetapi karena siapa yang mengendarainya.Leon Santiago—pengusaha, legenda urban, dan pria paling berwibawa di layar berita—mengenakan jaket kulit hitam, helm full-face yang dipoles sempurna, dan di belakangnya, duduk dengan nyaman (dan sedikit meringkuk manja) adalah seorang wanita yang dikenal di kalangan rumah sakit sebagai dokter galak dan penuh nyali—Elera Vasquez, istri sang raja jalanan pagi ini.Elera memeluk pinggang Leon erat, helmnya menempel pada punggung pria itu, suara mesin Ducati yang mendengung lembut membuatnya nyaris mengantuk… hingga…“Leon!” serunya dari balik helm.Leon mengurangi kecepatan sedikit, lalu menolehkan kepala. “Kenapa?”El
Hari itu tampak cerah, namun suasana di dalam mobil milik Leon terasa sedikit lebih tegang daripada biasanya. Setelah beberapa hari menjalani rutinitas yang lebih tenang, Elera yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba menjadi sangat penuh ide konyol—dan Leon serta dua sahabatnya, Kai dan Dante, yang lebih sering jadi korban kejahilannya, kini berada di posisi yang sangat tidak nyaman.Sambil duduk di kursi belakang, Elera memandangi mereka satu per satu dengan senyum nakal yang tak bisa dia sembunyikan. Leon menatapnya dari kaca spion, sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. “Apa lagi yang ingin kamu minta sekarang, Ratu?”Elera menyandarkan punggungnya dengan santai, lalu berkata dengan nada yang penuh rencana. “Dante,” ujarnya sambil melirik ke arah pria berwajah dingin itu, “Aku ingin kamu berpakaian seperti model dan melakukan pemotretan dengan aku.”Dante hampir tersedak, sementara Kai yang duduk di sampingnya langsung menatapnya dengan heran. “Maaf, apa? Pakaian model? Pemotretan
Malam telah menggulung langit saat konvoi kendaraan mereka akhirnya memasuki gerbang tinggi dan tebal dari Mansion Santiago Timur—sebuah properti pribadi milik Leon yang sangat jarang disentuh publik, bahkan oleh anggota keluarga sendiri. Lokasi ini berada di tengah-tengah pegunungan tenang, tersembunyi di balik rimbunnya hutan dan kamera pengintai yang tersebar luas. Di sinilah Leon menyimpan sebagian besar hal-hal yang ingin ia lindungi dengan harga berapa pun.Elera masih mengenakan gaun berkilauan dari rencana pemotretan konyol sebelumnya, tapi wajahnya kini jauh dari ekspresi main-main. Napasnya teratur, tapi matanya gelisah, tetap memandangi Leon yang tak pernah melepaskan genggamannya sejak kekacauan tadi. Maya, meski terlihat lelah, masih sempat menyumpah pelan melihat sepatunya penuh debu akibat pelarian cepat tadi. Kai dan Dante, keduanya basah oleh keringat dan debu pertempuran, namun tetap dalam mode siaga.Begitu mereka tiba, puluhan pria berpakaian hitam yang sudah menun
Pagi di Mansion Santiago Timur datang dengan lambat, matahari menyelinap lewat tirai tebal, menyinari lantai marmer dan jejak-jejak malam yang penuh ketegangan. Suasana mulai tenang, tapi tak seorang pun di dalam rumah benar-benar bisa tidur nyenyak.Di dapur luas bergaya modern klasik, Maya sedang membuka kulkas sambil menguap. Rambutnya masih acak-acakan, sweater kebesaran Leon dipinjam pakai semalam karena bajunya terkena darah saat membantu menangani luka. Ia membuka botol jus jeruk, lalu menyender ke meja, menyeruput sambil merasakan dinginnya pagi yang ganjil.Tiba-tiba suara langkah berat terdengar. “Kau bangun pagi juga.”Maya menoleh pelan. Dante berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kaus hitam dan celana olahraga. Rambutnya masih basah—mungkin baru mandi. Ia tampak... terlalu segar untuk orang yang semalam ikut dalam baku tembak.“Aku gak tidur,” gumam Maya. “Dan kau? Kelihatan seperti habis photoshoot.”Dante hanya mengangkat bahu. “Mungkin efek setelah disuruh jadi mod
Rumah besar itu terasa sunyi untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Tidak ada tangisan bayi, tidak ada tawa Bibi Mara, dan tidak ada suara Maya yang mengomel sambil menggoda. Dante bahkan secara khusus memberi instruksi pada semua bodyguard:“Hari ini jangan ada yang masuk ke dalam rumah kecuali darurat. Bos dan Nyonya perlu waktu berdua. Jaga perimeter luar. Titik.”Mereka hanya mengangguk, tak berani bertanya lebih jauh.Di dalam rumah, cahaya pagi mengalir lembut dari sela-sela tirai. Elera yang baru selesai mengganti piyamanya, masih mengeringkan rambut ketika tangan hangat melingkar di pinggangnya.“Leon?” tanyanya, terkekeh pelan saat tubuh suaminya mendekap dari belakang.“Bilang saja kau merindukanku juga.” Suara Leon terdengar serak dan rendah, langsung menembus relung hatinya.“Aku baru mandi…” protes Elera pelan, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan.“Bagus. Harum.” Leon membalik tubuh Elera, dan tanpa banyak bicara, mengangkatnya dengan mudah ke dala
Pagi datang dengan aroma sabun dari kamar mandi yang masih mengalir. Elera sedang mandi setelah semalaman menangani operasi rumit yang menghabiskan energi dan waktu. Rumah masih terasa tenang, suara gemercik air berpadu dengan nyanyian lirih burung dari taman belakang.Di ruang tengah, Leon sedang duduk di sofa dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, menggenggam Alvario dengan dua tangan seolah-olah sedang memegang benda paling rapuh sekaligus paling berharga di dunia.“Jangan gerak mendadak ya… pelan-pelan aja….” bisiknya, padahal Alva hanya sedang mendongak menatap lampu gantung di atas mereka, dengan ekspresi penasaran khas bayi.Alva sudah bisa duduk, tapi Leon masih belum pulih dari keterkejutan semalam—saat anaknya tiba-tiba duduk sendiri dan menatapnya dengan senyum tanpa dosa.“Apa kau juga akan mulai merangkak hari ini?” gumamnya serius, seperti sedang menyusun rencana darurat.Langkah kaki terdengar mendekat. Bibi Mara muncul dari arah dapur, tangannya masih memegang lap d
Teriakan Leon menggema di seluruh mansion Santiago.Bibi Mara yang sedang memotong buah di dapur sontak menjatuhkan pisaunya ke atas talenan. “Astaga…!” serunya, langsung bergegas menaiki tangga menuju kamar bayi.Di waktu yang hampir bersamaan, Dante yang sedang membaca laporan keuangan di ruang kerja bawah langsung bangkit dari kursinya. "Apa lagi yang terjadi?!" gumamnya, lalu menyambar pistol kecil di balik laci—refleks mafia, tentu saja—dan melangkah cepat menaiki tangga dua anak sekaligus.Pintu kamar bayi terbuka cepat.“Leon?! Apa yang terjadi?!” tanya Bibi Mara dengan napas ngos-ngosan, sementara Dante berdiri dengan ekspresi setengah siap tempur.Yang mereka lihat adalah pemandangan paling aneh sekaligus paling mengharukan yang bisa dibayangkan pagi itu.Leon duduk di lantai, wajahnya tertekuk antara tertawa dan menangis, memeluk ponselnya seperti harta karun. Di hadapannya, di atas kasur kecil, Alvario duduk tegak, senyum lebarnya seperti bulan mini yang bersinar.Dante mem
Setelah percakapan mengancam itu, Leon semakin waspada. Meskipun dia berusaha menjaga ketenangan keluarganya, instingnya sebagai seorang pemimpin dan seorang ayah membuatnya lebih waspada dari sebelumnya. Namun, dia tahu, meski ancaman bisa datang kapan saja, dia tak bisa hidup dalam ketakutan yang berlarut-larut.Pagi itu, setelah sarapan bersama keluarganya, Leon berjalan ke ruang kerja, di mana beberapa anggota timnya sudah menunggu untuk melakukan rapat rutin. Dia berbicara dengan mereka tentang pengamanan yang semakin diperketat, tetapi dengan cara yang lebih tersembunyi agar tidak menimbulkan ketegangan. Tak ada yang boleh tahu jika musuhnya masih mengawasi, bahkan meski Leon sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menjaga keluarganya tetap aman."Pengamanan tetap harus diutamakan, tetapi kita lakukan dengan hati-hati. Tidak boleh terlihat mencurigakan. Aku ingin mereka merasa nyaman, bukan dalam ketakutan," ujar Leon tegas pada tim pengawalnya.Sementara itu, di sisi la
Pagi itu, udara masih terasa sejuk di Santiago Mansion, namun rasa cemas yang tersembunyi semakin merasuk ke dalam setiap sudut rumah. Leon dan Diego berdiri di ruang kerja Leon yang megah, peta dan dokumen tersebar di atas meja kayu yang luas. Wajah keduanya serius, jauh dari kedamaian yang ingin mereka rasakan."Musuh kita lebih pintar dari yang kita kira," kata Diego dengan nada rendah. Matanya tertuju pada peta wilayah yang penuh dengan tanda dan markah yang menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. "Mereka tahu cara menyembunyikan diri, tidak seperti biasanya. Sekarang mereka seakan menghilang."Leon mengangguk pelan. “Tapi itu hanya membuatku semakin curiga. Tidak mungkin mereka hanya menghilang begitu saja. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.”Diego berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman luas. “Atau mungkin mereka tengah menunggu waktu yang tepat, dengan hati-hati mengatur langkah mereka, menunggu kesempatan untuk menyerang. Terlebih denga
Cahaya lampu gantung kristal memantul indah di lantai marmer ballroom. Musik klasik yang lembut mengalun, membungkus suasana pesta dalam elegansi yang tak bisa dibantah. Para tamu mengenakan busana terbaik mereka—gaun panjang berkilau, jas dengan potongan sempurna. Di tengah kemewahan ini, Elera berdiri di sisi Leon, menggenggam tangan suaminya dengan erat sambil menatap ke arah panggung yang telah dihiasi warna-warna keemasan dan biru malam.Bayi mereka, dibalut kain satin lembut berwarna putih gading, tertidur damai di gendongan Bibi Mara. Tatapan para tamu tertuju padanya, pewaris keluarga Santiago yang akhirnya diperkenalkan ke dunia.Leon berdiri gagah, mengenakan setelan gelap yang elegan, dasi hitam, dan pin keluarga Santiago yang berkilau di dadanya. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik sorot mata tajamnya, ada sedikit ketegangan. Ia tahu betul, malam ini bukan hanya tentang pesta—ini adalah pernyataan kekuasaan, sebuah tantangan terbuka bagi mereka yang masih berani menyentu
Suasana di dalam mansion Santiago terasa lebih sibuk dari biasanya. Setiap sudut rumah besar itu dihias dengan elegan, menampilkan kemewahan yang mengesankan, namun tetap mencerminkan kehangatan keluarga. Pesta kelahiran anak Leon dan Elera semakin mendekat, dan persiapan pun berjalan dengan penuh ketelitian.Di ruang utama, Maya, Kai, dan beberapa staf dari perusahaan sedang memeriksa daftar tamu dan mengonfirmasi segala persiapan teknis. Namun, perhatian mereka tak terhindarkan dari satu sosok yang baru saja memasuki ruangan: Dante.Dengan jas hitam sempurna dan ekspresi wajah yang selalu terkendali, Dante berjalan di antara mereka, memastikan semuanya berjalan lancar. Tidak ada yang bisa menampik pesona dan karisma yang ia bawa—bahkan Maya dan Kai tak bisa menahan godaan.Maya, yang sedang mengatur beberapa undangan, melirik ke arah Dante dengan senyum nakal. “Dante, aku rasa kau perlu berhati-hati,” ujarnya sambil menatapnya dengan penuh canda. “Bisa-bisa, banyak wanita yang jatuh
Sudah hampir tiga bulan sejak bayi mungil mereka lahir. Di balik dinding kokoh mansion Santiago yang seakan terpisah dari dunia luar, Elera menjalani hari-hari barunya sebagai seorang ibu—dan seorang istri dari pria paling berbahaya sekaligus paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Namun, naluri dokternya mulai gatal.“Aku ingin kembali kerja,” ujar Elera pagi itu, saat mereka sarapan bersama di teras yang menghadap taman pribadi.Leon menoleh, seolah tak percaya apa yang baru ia dengar.“Kau baru tidur empat jam semalam. Ngapain nyari capek lagi?” suaranya tenang, tapi aura protektifnya langsung naik.“Karena aku rindu bekerja. Rindu rumah sakit. Rindu jadi dokter. Bukan cuma… istri, atau ibu. Aku mau jadi diriku lagi.”Nada Elera tegas, tapi penuh kasih.Leon menghela napas, menatap kopi di tangannya, lalu memandang istrinya. “Kalau begitu, aku punya satu syarat.”Elera mengangkat alis.“Kita pakai pengasuh. Tapi bukan pengasuh sembarangan. Harus dari dalam lingkaranku sendiri. Har
Pagi di mansion Santiago yang biasanya dipenuhi percakapan serius atau suara langkah cepat para penjaga, kini berganti dengan suara tangis bayi… dan teriakan panik Leon."Elera! Dia menangis lagi! Apa aku salah gendong?!"Elera, yang sedang duduk santai di sofa dengan rambut sedikit berantakan tapi senyum mengembang, hanya tertawa pelan. "Sayang, dia cuma lapar. Bukan karena kamu. Tapi gaya gendongmu itu... lebih mirip interogasi tahanan daripada pelukan ayah."Leon menatap bayi mungil di gendongannya, lalu menatap Elera. "Aku… aku coba meniru seperti kamu.""Jangan ditiru gaya gendongku, aku punya pelatihan medis, kamu punya pelatihan… menyiksa orang."Suasana di ruang tengah semakin hangat ketika Maya dan Kai datang. Maya membawa setumpuk dokumen dari rumah sakit, sedangkan Kai membawa satu set mainan stimulasi bayi yang katanya wajib untuk perkembangan kognitif.Begitu melihat Leon yang berkeringat sambil mencoba mengganti popok untuk pertama kalinya, mereka berdua tertawa."Kau li