Share

Menikahlah Denganku

Author: THANISA
last update Last Updated: 2025-03-06 20:54:24

Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.

Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.

Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya.

"Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.

Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."

Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"

Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."

Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.

Dante menyeringai dari kursi pengemudi, sesekali melirik ke kaca spion. "Sial, aku tidak menyangka akan melihat Leon berdebat seperti pasangan menikah di kursi belakang mobil."

Leon mendengus. "Diam, Dante."

Dante tertawa kecil, tetapi tetap mengemudi dengan santai. "Kau tahu, El, biasanya tidak ada yang berani membantah bos kita sebanyak ini. Kau mungkin wanita pertama yang selamat setelah mendebatnya lebih dari lima menit."

Elera mendelik ke arahnya. "Itu karena aku bukan bawahannya."

Leon menyilangkan tangan di dada, tidak terganggu sama sekali. "Tapi kau juga bukan orang bebas sekarang."

Elera hampir melempar sesuatu ke arahnya kalau saja dia punya sesuatu di tangannya.

Dante kembali terkekeh, jelas sangat menikmati situasi ini. "Aku bersumpah, perjalanan ini lebih menghibur daripada menonton film aksi."

"Kalau begitu, aku harap perjalanan ini segera berakhir," kata Elera datar, lalu menoleh keluar jendela.

Tetapi kemudian, ekspresinya berubah.

"Tunggu… Ini bukan jalan menuju mansionmu," gumamnya, keningnya berkerut.

Leon hanya mengangkat bahu. "Aku tidak pernah bilang kita akan tinggal di sana."

Elera menoleh tajam. "Lalu, kita akan ke mana?"

Leon tidak menjawab.

Beberapa menit kemudian, mobil mereka memasuki area perumahan mewah di pusat kota. Rumah-rumah besar berjajar rapi di kedua sisi jalan, dengan desain modern yang elegan, halaman luas, dan sistem keamanan tingkat tinggi.

Elera semakin bingung.

Dan kebingungannya berubah menjadi keterkejutan total saat Dante menghentikan mobil di depan sebuah rumah modern berdesain minimalis tetapi tetap mewah.

Rumah itu memiliki eksterior kaca besar dengan kombinasi kayu hitam yang mengilap. Terlihat mahal, eksklusif, dan sama sekali bukan mansion mafia di pinggiran kota.

Elera menatap rumah itu dengan mata membesar. "Ini… rumah siapa?"

Leon dengan santai membuka pintu mobilnya dan keluar. "Rumah kita."

Elera membelalak.

"Apa?!"

Dante tertawa kecil, menepuk setir. "Kurasa ini bagian terbaik dari perjalanan ini."

Elera segera keluar dari mobil, berdiri di samping Leon dengan ekspresi penuh protes. "Tunggu, aku pikir kita akan ke mansionmu!"

Leon menutup pintu mobil dan berjalan ke arah pintu depan rumah. "Kenapa harus ke mansion? Aku tidak perlu semua orang tahu di mana kau tinggal sekarang."

Elera berusaha mengejar langkahnya. "Tapi—"

Leon berhenti di depan pintu dan berbalik menghadapnya, menatapnya tanpa ekspresi. "Kau bilang rumah sakitmu terlalu jauh dari tempat persembunyianku. Jadi, aku membelikan rumah di pusat kota agar lebih nyaman untukmu. Masalah selesai."

Elera hampir tersedak udara. "Kau… membelikan rumah ini hanya karena aku?"

Leon mengangkat satu alis. "Aku membeli rumah ini karena aku menginginkannya. Fakta bahwa rumah ini juga cocok untukmu hanyalah kebetulan."

Elera mendengus. "Tentu saja."

Dante masih terkekeh di belakang mereka, jelas menikmati interaksi ini. "Kurasa kau harus menerima kenyataan, El. Bos kita sudah mempersiapkan semuanya."

Elera menghela napas panjang, lalu akhirnya masuk ke dalam rumah bersama Leon.

Begitu pintu terbuka, interior rumah yang luas dan modern menyambutnya. Dinding putih bersih berpadu dengan lantai kayu gelap yang mengilap. Ruang tamu luas dengan sofa kulit hitam dan perapian modern yang menyala redup. Dapur terbuka di sudut ruangan, lengkap dengan peralatan dapur mutakhir.

Rumah ini… terasa mahal, tetapi anehnya nyaman.

Elera mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Rumah ini terasa… berbeda dari mansionmu."

Leon melepas jasnya dan menggantungkannya di dekat pintu. "Tentu saja berbeda. Ini bukan rumah keluarga. Ini rumah kita."

Elera menghentikan langkahnya.

"Kau bisa berhenti menyebutnya seperti itu?" katanya kesal.

Leon menyeringai tipis, tetapi tidak menjawab.

Elera mengerang frustrasi, lalu mulai berjalan ke tangga. "Di mana kamarku?"

Leon menyandarkan dirinya ke dapur, melipat tangan di dada. "Lantai atas."

Elera menaiki anak tangga pertama. Tetapi baru saja ia hendak naik lebih jauh, suara Leon kembali terdengar.

"Kamar kita ada di lantai atas."

Langkah Elera langsung terhenti.

Ia berbalik perlahan, menatap Leon dengan ekspresi syok. "Kamar kita?"

Leon tetap santai. "Aku tidak ingat pernah mengatakan bahwa aku menyiapkan dua kamar."

Elera hampir tersedak udara. "Leon! Aku tidak bisa tidur sekamar denganmu!"

Leon berjalan mendekatinya dengan langkah santai, membuat Elera tanpa sadar mundur satu langkah. "Kenapa tidak?"

"Tentu saja tidak! Aku… aku butuh privasi!"

Leon menyandarkan satu tangannya ke pegangan tangga, menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Kau mau aku menyiapkan kamar lain untukmu?"

"Ya!" Elera menjawab cepat.

Leon berpura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Sayangnya, aku tidak tertarik untuk tidur terpisah."

Elera ingin membenturkan kepalanya ke pegangan tangga.

"Aku tidak akan menyentuhmu, kalau itu yang kau takutkan," lanjut Leon, suara rendahnya terdengar lebih serius.

Elera menatapnya dengan curiga. "Kau yakin?"

Leon menyeringai tipis. "**Aku tidak akan melakukan apa pun… kecuali kau yang menginginkannya."

Elera langsung menaiki tangga tanpa menoleh lagi, wajahnya merah padam.

Leon tertawa kecil di belakangnya. "Kamar pertama di kanan," katanya santai.

Elera masuk ke dalam kamar tanpa melihat ke belakang, lalu menutup pintunya dengan keras.

Ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, menenangkan jantungnya yang berdetak terlalu cepat.

Sialan.

Kenapa rasanya bahaya yang harus ia waspadai bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam rumah ini?

~~~~~

Sejak hari pertama mereka tinggal bersama, hidup Elera terasa seperti berada di dalam film komedi absurd.

Leon bukan pasangan yang mudah untuk ditoleransi. Dia mendominasi segalanya—mulai dari bagaimana rumah harus diatur, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sampai dengan kebiasaannya yang selalu muncul di saat Elera tidak menginginkannya.

Dan tentu saja, mereka bertengkar setiap hari.

Hari pertama…

“Kenapa kau ada di dapur?!” Elera memandang Leon yang berdiri di depan kompor dengan ekspresi tak percaya.

Leon, tanpa melihatnya, hanya menyesap kopinya dengan santai. "Aku sedang membuat sarapan."

Elera melipat tangan di dada. "Kau tidak bisa memasak."

Leon mengangkat bahu. "Aku bisa belajar."

Beberapa menit kemudian, bau gosong menguar dari wajan.

Elera menatap pemandangan itu dengan rasa kemenangan. "Bagus sekali, Chef Santiago. Kau baru saja membakar sarapan pertama kita."

Leon tetap tidak terganggu. "Tidak semua orang sempurna sejak awal, Dokter."

Elera menghela napas panjang. "Lain kali, biar aku saja yang memasak."

Leon menoleh dengan alis terangkat. "Jadi, kau ingin memasak untukku setiap hari?"

Elera mengerang. "Bukan itu maksudku!"

Leon hanya tersenyum tipis, lalu berjalan melewatinya. "Kedengarannya seperti itu."

Hari ketiga…

Elera baru pulang dari rumah sakit dan mendapati Leon bekerja di ruang tamu dengan kemeja yang digulung hingga siku, dasinya sudah dilepas, dan rambutnya sedikit berantakan.

Astaga.

Dia berbahaya dalam bentuk apa pun, bahkan hanya dalam balutan pakaian kerja.

Tetapi masalahnya bukan itu.

Masalahnya adalah…

"Apa yang terjadi dengan sofa baruku?"

Leon menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Aku menggantinya."

Elera menatapnya tak percaya. "Aku hanya pergi selama sepuluh jam, dan kau sudah merombak ruang tamu kita?!"

Leon mengetik beberapa kata di laptopnya sebelum menjawab, tanpa sedikit pun merasa bersalah. "Sofa sebelumnya tidak nyaman."

Elera mengepalkan tangan. "Tapi aku suka sofa itu!"

Leon akhirnya menutup laptopnya dan menatapnya dengan tenang. "Aku membelikan yang lebih baik. Kau bisa mencobanya."

Elera mengerang frustrasi. "Leon, aku tidak bisa terus seperti ini! Aku punya hak untuk memilih perabotanku sendiri!"

Leon bersandar di sofa baru, dengan senyum kecil di wajahnya. "Aku tidak pernah bilang kau tidak boleh memilih. Aku hanya menawarkan sesuatu yang lebih baik."

Elera ingin membanting sesuatu ke arahnya, tetapi dia terlalu lelah setelah bekerja seharian.

Hari kelima…

Elera masuk ke dalam kamar setelah mandi dan mendapati Leon duduk di ranjangnya, membaca dokumen dengan santai.

Elera berhenti di ambang pintu, lalu menyipitkan mata. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Leon melirik ke arahnya sebentar sebelum kembali fokus pada dokumen. "Membaca."

Elera berjalan mendekat. "Di tempat tidurku?"

Leon akhirnya menutup dokumennya, lalu meletakkannya di meja samping ranjang. "Tempat tidur kita."

Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Kita harus bicara soal batasan, Leon."

Leon menatapnya dengan santai. "Batasan?"

Elera menyilangkan tangan di dada. "Ya. Kau tidak bisa sembarangan masuk ke kamarku, kau tidak bisa mengatur semua yang ada di rumah ini, dan kau tidak bisa bertingkah seolah kita—"

Leon berdiri dengan santai, menghentikan kata-katanya dengan hanya satu langkah ke arahnya.

"Kita apa, Elera?"

Elera membeku, tubuhnya tegang. "Kita… bukan pasangan sungguhan."

Leon menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Belum."

Hari ketujuh…

Elera duduk di sofa ruang tamu, membaca jurnal medis di tangannya, mencoba mengabaikan Leon yang duduk di sebelahnya.

Tetapi kemudian, Leon menutup laptopnya, lalu menoleh padanya dengan ekspresi serius.

"Kita harus menikah."

Elera hampir menjatuhkan bukunya.

Dia menoleh dengan mata membesar. "APA?!"

Leon tetap tenang. "Menikah. Kau dan aku."

Elera tertawa tanpa humor. "Kau gila."

Leon tidak bergeming. "Aku serius."

Elera meletakkan bukunya, menatapnya dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan. "Kau ingin menikah denganku? Setelah seminggu kita tinggal bersama dan hanya bertengkar setiap hari?"

Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa, tidak sedikit pun terlihat ragu. "Justru karena kita selalu bertengkar, aku tahu kau tidak akan membuatku bosan."

Elera nyaris melempar sesuatu ke arahnya. "Leon, menikah bukan permainan! Ini bukan tentang kebosanan!"

Leon mengangguk pelan. "Aku tahu."

Elera menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan. "Kenapa kau ingin menikah denganku?"

Leon menatapnya dengan mata tajam. "Karena ini cara terbaik untuk melindungimu."

Elera tertawa kering. "Jadi, ini hanya soal perlindungan?"

Leon diam sejenak, lalu berkata dengan tenang, "Lebih dari itu."

Elera menelan ludah, merasa sesuatu di dalam dirinya bergejolak. "Kita bahkan tidak saling mencintai, Leon."

Leon menatapnya dalam, ekspresinya tidak terbaca. "Siapa bilang?"

Jantung Elera berdegup kencang. "Apa maksudmu?"

Leon mendekat sedikit, mengurangi jarak di antara mereka. "Apa kau benar-benar tidak merasakan apa pun setiap kali kita bersama?"

Elera terdiam.

Tentu saja dia merasakannya.

Ketegangan itu. Tarikan itu. Perasaan bahwa mereka selalu terhubung dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.

Tetapi dia masih takut.

Leon menyentuh dagunya pelan, membuatnya mendongak. "Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Tetapi pikirkan ini, Elera."

Elera hanya bisa menatapnya, masih sulit percaya dengan semua ini.

Leon melepaskan tangannya, lalu berdiri. "Kau punya waktu untuk berpikir. Tapi aku tidak akan menunggu selamanya."

Dengan itu, dia berjalan pergi, meninggalkan Elera yang masih duduk di sofa, hatinya berdebar tak karuan.

Sial.

Apa yang baru saja terjadi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Kebingungan Elera

    Elera menatap kosong ke arah layar ponselnya, jari-jarinya masih ragu untuk mengetik. Setelah percakapan gila dengan Leon tadi, otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria itu benar-benar baru saja melamarnya.Melamar.Untuk menikah.Dengan dia.Elera memijat pelipisnya, menghela napas panjang. Dia butuh seseorang untuk menertawakan semua ini bersamanya, atau setidaknya, seseorang yang bisa membantunya berpikir lebih jernih.Jadi, tanpa pikir panjang lagi, dia menekan nomor Maya.Dreet. Dreet. Dreet.Panggilan tersambung hanya dalam dua detik."AKHIRNYA KAU MENELPON!" Suara Maya langsung melengking di telinganya.Elera menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sebelum kembali mendekatkannya. "Maya, tolong, jangan berteriak—""JANGAN BERTERIAK?! ELERA VASQUEZ, KAU MENGHILANG SELAMA SEMINGGU DAN SEKARANG BARU MENELPONKU?! APA KAU TAHU SEBERAPA BANYAK PERTANYAAN YANG KUPUNYA?!"Elera menghela napas panjang, berusaha meredam emosi sahabatnya. "Maya, aku tidak punya banyak waktu un

    Last Updated : 2025-03-07
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Musuh yang Menemukan Mereka

    Ruangan itu dipenuhi ketegangan saat Diego Alvarez menatap Leon dan Elera tanpa ekspresi. Mata tajamnya menembus mereka, seolah mencoba menilai apa yang sebenarnya terjadi.Maya duduk di sofa dengan tangan disilangkan, jelas menikmati momen ini."Jelaskan," ulang Diego dengan nada lebih dalam.Leon tetap berdiri dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. "Kami datang untuk membicarakan sesuatu denganmu."Diego menaikkan satu alis, lalu menatap ke arah Elera yang sejak tadi berdiri canggung di samping Leon."Elera," suaranya lebih lembut saat berbicara padanya. "Apa kau baik-baik saja?"Elera mengangguk cepat, tetapi kemudian menelan ludah sebelum berbicara. "Paman… aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu."Diego mengisyaratkan agar mereka duduk. Elera langsung menurut, tetapi Leon tetap berdiri, memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu di sisi ruangan."Apa yang ingin kau tanyakan?"Elera menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian. "Paman… bagaim

    Last Updated : 2025-03-07
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Tidak Aman untuk Elera

    Suasana yang semula tegang langsung berubah menjadi alarm penuh kewaspadaan.Diego bergerak lebih dulu, menekan tombol di arlojinya, dan dalam hitungan detik, pengawal pribadinya sudah bersiaga di sekitar rumah.Leon, tanpa membuang waktu, menarik Elera ke belakang tubuhnya, sementara Maya juga merapat ke sisi ayahnya, ekspresi serius menggantikan kehebohan biasanya."Jangan keluar dulu," kata Diego dingin.Leon mengangkat pistolnya, matanya tajam menyisir ruangan seolah musuh bisa muncul kapan saja. "Dante ada di luar?" tanyanya tanpa menoleh.Diego mengangguk. "Ya. Dan aku yakin dia juga sudah menyadari sesuatu."Elera mengepalkan tangannya, jantungnya masih berdebar cepat. "Apa ini mereka?" bisiknya.Leon menoleh sedikit ke arahnya, sorot matanya penuh peringatan. "Kita tidak akan mengambil risiko untuk menganggap ini bukan mereka."Maya menelan ludah. "Astaga, ini benar-benar seperti film thriller yang kutonton tadi malam," gumamnya.Diego menoleh tajam ke putrinya. "Fokus, Maya."

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Pertengkaran Manis

    Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit malam yang pekat. Elera duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat di dada, matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Seharusnya ini hanya malam biasa. Seharusnya ia masih bisa bercanda dengan Maya tentang kasus-kasus aneh di rumah sakit. Seharusnya ia masih bisa pulang ke apartemennya yang nyaman, bukannya ikut seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu ke tempat yang entah di mana.Leon duduk di sebelahnya, tetap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli dengan badai yang sedang berkecamuk di dalam kepala Elera. Sementara itu, Dante yang mengemudi malah terlihat menikmati situasi ini."Aku suka keheningan ini," gumam Dante sambil menyeringai. "Tapi aku lebih suka kalau ada sedikit hiburan. Bagaimana kalau kalian bertengkar seperti tadi?"Elera meliriknya tajam. "Tutup mulutmu, Dante."Dante tertawa kecil. "Oh, Dokter. Kau benar

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Babak Baru

    Dada Elera naik-turun, napasnya tertahan dalam ketegangan yang mendominasi udara di antara mereka. Kata-kata Leon masih menggema di benaknya, seolah mengukir dirinya sendiri di dalam pikirannya. Menikah?Elera ingin tertawa, ingin meneriakkan protesnya, ingin mengatakan bahwa ini konyol. Namun, saat ia menatap mata Leon—mata yang tajam, penuh keyakinan, sekaligus bahaya—suara itu tertahan di tenggorokannya."Tidak." Elera akhirnya menemukan suaranya, meskipun terdengar lebih lemah dari yang ia inginkan. "Aku tidak akan menikah hanya karena kau berpikir ini adalah cara terbaik untuk melindungiku."Leon tetap diam, hanya menatapnya seolah membaca setiap inci keraguannya. "Ini bukan hanya tentang melindungimu, Elera," suaranya datar, tapi ada sesuatu yang berbahaya terselip di dalamnya. "Ini juga tentang memastikan kau tidak bisa disentuh oleh siapa pun yang berniat menyakitimu."Elera mengatupkan rahangnya. "Jadi aku harus menerima begitu saja? Menikah denganmu hanya karena itu membuat s

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Meyakinkan Elera

    Malam sudah larut, tetapi mansion Leon Santiago masih dipenuhi aktivitas. Para pengawal tetap berjaga di sudut-sudut strategis, sementara beberapa orang kepercayaannya masih sibuk mengurus bisnisnya. Namun, di ruangan pribadi Leon, suasana lebih tenang—meskipun tegang dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.Dante bersandar pada kursi di seberang meja, memutar segelas whiskey di tangannya. Sorot matanya tajam saat mengamati pria di depannya.Leon berdiri di dekat jendela besar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap ke luar, ke pemandangan kota yang diterangi cahaya lampu. Tetapi pikirannya tidak ada di sana.“Jadi,” Dante akhirnya membuka suara, nadanya penuh penilaian, “kau ingin pendapatku tentang bagaimana meyakinkan Elera untuk menikah denganmu?”Leon menghela napas, lalu berbalik. “Ya.”Dante menaikkan satu alis. “Itu bukan sesuatu yang biasanya kau minta, Leon.”Leon mendekat, menuangkan whiskey ke gelasnya sendiri, lalu duduk di seberang Dante. Ia mengadu

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Kebebasan yang Penuh Batasan

    Elera akhirnya diizinkan kembali bekerja, tetapi ada satu masalah besar: ia tidak benar-benar bebas. Sejak pagi, dua pria berpakaian hitam sudah berdiri di dekatnya seperti bayangan yang tidak diinginkan. Mereka tidak berbicara, tidak mengganggu, tetapi kehadiran mereka saja sudah cukup membuatnya muak.Di rumah sakit, keberadaan dua pria berpakaian seperti bodyguard mafia jelas menarik perhatian. Beberapa perawat mulai berbisik-bisik, sementara beberapa dokter senior mengangkat alis penuh tanya."Elera, siapa mereka?" tanya salah satu koleganya, Dr. Angela, dengan nada geli. "Jangan bilang ini bentuk baru dari honeymoon protection?"Elera mendengus, menahan kekesalan. "Sama sekali bukan. Aku akan membereskannya sekarang juga."Dengan gerakan cepat, dia meraih ponselnya dan menekan nomor Leon. Tidak butuh waktu lama sebelum suara berat pria itu terdengar di seberang."Apa?" suara Leon terdengar santai, seakan tidak ada masalah di dunia ini.Elera tidak membuang waktu. "Katakan pada ora

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Pengumuman

    Elera masih menatap pria di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Udara di sekeliling mereka semakin menegang, seolah waktu melambat dan semua orang menunggu kelanjutan percakapan mereka.Dengan tarikan napas yang hampir tidak terdengar, Elera akhirnya berkata, "Belum. Dia masih calon suamiku."Tatapan pria itu sedikit melunak, seolah mendapatkan sedikit harapan dari jawaban Elera. Namun, sebelum dia bisa merespons, Elera melanjutkan dengan nada yang lebih ringan, "Dan kau juga bisa datang ke pernikahanku nanti. Aku akan mengirim undangan jika kau mau."Leon, yang sejak tadi hanya diam dengan ekspresi datarnya, tiba-tiba terkekeh pelan. Suaranya dalam dan berbahaya."Oh tidak, sayang. Dia harus datang di acara pertunangan kita dulu."Elera langsung menoleh dengan cepat, matanya membelalak menatap Leon. "Apa?!"Tapi Leon tidak menghiraukannya. Tatapannya masih terkunci pada pria di hadapan mereka, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang jelas mengandung tantangan.Pria itu

    Last Updated : 2025-03-08

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Persiapan Pulang

    Pagi itu villa terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di atas lantai kayu hangat, sementara suara burung-burung kecil dari luar menjadi latar alami yang merdu.Leon dan Elera sibuk di kamar, mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper.Elera duduk bersila di atas tempat tidur, melipat pakaian mereka dengan rapi, sementara Leon lebih banyak mondar-mandir, memasukkan berbagai benda ke dalam tas... bahkan beberapa barang yang sebenarnya bukan milik mereka.“Leon...” Elera memanggil sambil melipat blus. “Itu sandal villa. Bukan punya kita.”Leon melirik sandal di tangannya, lalu mengangkat bahu dengan cuek.“Mereka pasti mau memberikannya sebagai kenang-kenangan. Ini sandal saksi bisu pertempuran kita.”Elera memukul bantal di sebelahnya dengan geli. “Sandal villa, Leon.”Leon tertawa kecil, akhirnya meletakkan sandal itu kembali ke raknya. Dia lalu mendekat dan berjongkok di depan Elera, merebut blus dari tangannya dan mulai membantunya melipat

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Rencana Baru di Balik Canda

    Bulan madu mereka terasa seperti dunia milik berdua, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mereka yang penuh dengan intrik dan tantangan. Di tengah keheningan pantai yang indah, hanya suara deburan ombak yang terdengar, Elara dan Leon menikmati momen penuh kedamaian, jauh dari segala ancaman.Leon terbaring di samping Elara, menatap wajah istrinya yang kini tengah berbaring santai di atas matras besar. Tangannya melingkar di pinggang Elara, membelai lembut perutnya. Mata Leon yang penuh perhatian tak lepas dari Elara, seakan mengekspresikan sejuta kata yang tak terucapkan.Dengan senyum nakal, dia mendekatkan wajahnya ke perut Elara, mencium lembut kulitnya yang halus. "Aku sangat senang," katanya dengan suara lembut yang hampir berbisik, "jika di dalam perutmu ini akan ada adik untuk Alvario."Elara menatapnya dengan sedikit rasa terkejut, namun senyum perlahan muncul di bibirnya. "Leon..." suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh kehangatan. "Apa yang kamu katakan itu... seriu

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Jalan - jalan

    Pagi di villa terasa cerah dan damai, dengan angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah sarapan bersama dan menghabiskan waktu bersantai, Elera—yang sudah mengganti mood menjadi ceria dan penuh energi—mengajak Leon untuk keluar berjalan-jalan.“Aku mau beli oleh-oleh,” katanya sambil memakai topi anyaman dan kacamata hitam. “Kita nggak bisa pulang tanpa bawa cinderamata buat yang di mansion.”Leon mengangguk, berdiri dari sofa sambil menyambar kunci mobil. “Ayo. Tapi kita pilih dengan niat balas dendam, kan? Gara-gara mereka main perang di rumah.”Elera tersenyum lebar. “Tentu. Ini untuk pembalasan yang manis.”~~~~~Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil kawasan wisata, menyapa pedagang lokal dan mencicipi sedikit jajanan khas. Lalu, masuklah mereka ke sebuah toko suvenir kecil penuh gantungan warna-warni dan barang-barang aneh yang langsung memancing tawa.Leon menunjuk sebuah miniatur kerangka dokter dengan tulisan "DR. PAIN" di dadanya. “Untuk Maya, ini cocok. Apalag

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Waktu yang Terlupa

    Pagi yang tenang menyelimuti villa tempat mereka mengasingkan diri dari dunia. Udara sejuk dari pegunungan menyusup perlahan melalui celah jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari pelan mengikuti hembusan angin, sementara sinar matahari pagi mengendap pelan ke dalam kamar, membentuk pola-pola hangat di atas seprai kusut yang menjadi saksi malam penuh emosi dan amarah yang akhirnya mencair menjadi keintiman yang dalam.Elera terbangun lebih dulu.Pelan-pelan, dia menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang masih tertidur di sampingnya. Leon terlihat damai, sangat berbeda dari singa pemilik dunia bawah yang dikenal semua orang. Di sini, di sisi Elera, dia hanyalah Leon—pria yang mencintainya dengan rakus, dengan cara yang kadang membingungkan, kadang menyakitkan, tapi juga selalu membuatnya merasa... milik.Lengan Leon masih melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat. Dada hangat pria itu menjadi sandaran pipinya semalaman. Bekas-bekas 'pertempuran' yang belum

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Sweet Escape… or Sweet Trouble?

    Di pagi yang sedikit mendung, Leon berdiri di depan pintu kamar sambil menyender malas, satu tangan menyembunyikan kotak kecil dari belakang tubuhnya. Elera yang baru saja keluar dari kamar Alva menatapnya datar."Ada apa lagi, Leon?" tanyanya curiga, rambutnya masih agak berantakan tapi tetap terlihat memukau dengan piyama satin abu-abu yang longgar.Leon mendekat, memberikan senyumannya yang bisa membuat siapa pun curiga, tapi juga sulit ditolak. “Aku ingin menebus kesalahanku,” ucapnya pelan.Elera menyilangkan tangan. “Dengan?”“Berlibur. Hanya kita berdua.”Elera mendengus kecil, lalu menatapnya seperti baru saja mendengar lelucon gagal. “Dan bagaimana dengan Alva?”Leon mengangkat alis. “Dia aman di rumah. Lagipula… mungkin dia butuh teman main. Si kecil itu bosan bermain strategi melawan orang dewasa.”Elera langsung menegang. Pipi yang sempat memerah karena implikasi halus itu langsung digantikan oleh ekspresi setengah kesal.“Jadi kamu ngajak aku honeymoon ya?” Elera mengerut

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Peluru dan Penyesalan

    Suasana ruang rawat kembali tenang. Maya masih duduk di kursi sebelah tempat tidur, sibuk membereskan bantal sambil pura-pura tidak mendengarkan percakapan yang hendak dimulai. Kai berdiri di dekat jendela, memeluk map medis Dante dengan ekspresi datar yang selalu ia pertahankan—meski ekor matanya mencuri-curi arah ke arah Elera.Elera, dengan langkah mantap, menghampiri sisi tempat tidur Dante. Tatapannya tenang, tapi jelas membawa beban yang berat. Dante yang semula mencoba tertawa, menjadi sedikit kikuk."Dokter Elera..." gumam Dante pelan, suaranya masih serak. "Maaf… aku nggak bisa jaga Leon. Harusnya aku bisa lebih cepat lihat tanda sniper-nya, mungkin—"Elera mengangkat tangannya pelan, menyela. “Berhenti, Dante.”Tatapan dingin khas Elera itu menusuk, tapi bukan karena marah—melainkan karena terluka. Dalamnya bukan dari Dante.“Bukan salahmu. Seharusnya dia…” Elera menoleh sejenak ke arah Leon yang berdiri di belakang. “...ingat kalau dia punya aku dan Alva. Jadi, lain kali, m

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Keheningan Pagi

    Langit masih malu-malu menampakkan warna jingganya ketika Leon bangun dari sofa ruang keluarga. Bekas semalaman berpikir masih tertinggal di wajahnya—lelah, sedikit kusut, dan penuh penyesalan. Ia langsung berdiri dan melangkah cepat ke kamar Alvario.Namun, kamar itu kosong.Selimut Alva sudah rapi, boneka favoritnya duduk manis di ujung tempat tidur, dan bantal kecilnya sudah disusun dengan sempurna. Leon mengernyit, berjalan ke kamar mandi, kemudian ke kamar mereka. Sunyi. Elera tidak ada.“Elera?” panggilnya sambil membuka lemari pakaian yang sebagian sudah kosong. Tidak, bukan kosong karena pergi—tapi karena memang Elera sudah bersiap sejak dini hari.Di meja rias, ada secarik catatan kecil yang ditulis cepat dengan tulisan tangan Elera yang khas.“Ada operasi penting. Aku harus pergi lebih awal. Jangan tanya kenapa aku nggak bangunin kamu. Alva udah aku titip ke Bibi Mara.”Leon menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, menatap tulisan itu dengan pandangan kosong. Ia t

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Rahasia yang Terungkap di Malam Hari

    Langit sore mulai meredup, dan aroma khas rumah bercampur dengan ketenangan yang hanya bisa dirasakan setelah hari yang panjang di rumah sakit. Elera baru saja tiba di mansion, rambutnya sedikit berantakan dan langkahnya tampak berat. Tapi begitu pintu masuk terbuka, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah Leon—duduk santai di ruang tengah, satu tangan terangkat, dibalut perban tebal yang tak bisa disembunyikan meski dengan kemeja lengan panjangnya.Elera menghentikan langkah.“Leon?” suaranya penuh nada curiga.Leon menoleh pelan, seperti seseorang yang tahu dia akan dimarahi tapi memilih tetap tenang. “Kau sudah pulang, Sayang,” katanya lembut, mencoba tersenyum.Tapi Elera menatapnya tajam. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?”Sebelum Leon sempat menjawab, Maya muncul dari arah dapur sambil mengunyah sepotong biskuit. “YA AMPUN—akhirnya kau pulang juga! Eh, ngomong-ngomong, Dante di mana sih? Biasanya dia udah ngerecokin ruang tengah dari tadi.”Leon langsung memotong sebelum E

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Warisan Darah

    Di ruang keluarga yang terasa seperti ruang strategi militer versi mini, Alvario masih asik dengan permainan strategi dan pasukan boneka-bonekanya. Tangannya kecil, tapi gerakannya terarah, seperti sudah memahami konsep “flank attack” dan “defensive barrier” dari lahir. Pion-pion mungil dari set permainan Dante berserakan, sebagian besar sudah "kalah", dan Alva kini mengarahkan tank mainannya ke sisi kiri peta dengan suara:“Dooor! Ppaang! Majuu!”Leon dan Dante tertawa kecil, tapi tawa mereka terputus saat satu pesan masuk ke ponsel keduanya bersamaan. Wajah mereka langsung berubah. Tegas. Dingin.Leon mengangkat alis ke arah Dante. “Gudang di Pelabuhan Selatan.”Dante menyeringai sinis. “Mereka mulai cari celah lagi. Sudah cukup lama mereka diam.”Leon menatap Alva sebentar—anak kecilnya masih tenggelam dalam dunia perang-perangannya sendiri. Lalu ia berbalik dan memanggil, “Mara.”Bibi Mara yang sedang membawa botol susu langsung berubah sikap. Dalam beberapa detik, apron-nya sudah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status