Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit malam yang pekat. Elera duduk di kursi belakang dengan tangan terlipat di dada, matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Seharusnya ini hanya malam biasa. Seharusnya ia masih bisa bercanda dengan Maya tentang kasus-kasus aneh di rumah sakit. Seharusnya ia masih bisa pulang ke apartemennya yang nyaman, bukannya ikut seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari lalu ke tempat yang entah di mana.Leon duduk di sebelahnya, tetap dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli dengan badai yang sedang berkecamuk di dalam kepala Elera. Sementara itu, Dante yang mengemudi malah terlihat menikmati situasi ini."Aku suka keheningan ini," gumam Dante sambil menyeringai. "Tapi aku lebih suka kalau ada sedikit hiburan. Bagaimana kalau kalian bertengkar seperti tadi?"Elera meliriknya tajam. "Tutup mulutmu, Dante."Dante tertawa kecil. "Oh, Dokter. Kau benar
Dada Elera naik-turun, napasnya tertahan dalam ketegangan yang mendominasi udara di antara mereka. Kata-kata Leon masih menggema di benaknya, seolah mengukir dirinya sendiri di dalam pikirannya. Menikah?Elera ingin tertawa, ingin meneriakkan protesnya, ingin mengatakan bahwa ini konyol. Namun, saat ia menatap mata Leon—mata yang tajam, penuh keyakinan, sekaligus bahaya—suara itu tertahan di tenggorokannya."Tidak." Elera akhirnya menemukan suaranya, meskipun terdengar lebih lemah dari yang ia inginkan. "Aku tidak akan menikah hanya karena kau berpikir ini adalah cara terbaik untuk melindungiku."Leon tetap diam, hanya menatapnya seolah membaca setiap inci keraguannya. "Ini bukan hanya tentang melindungimu, Elera," suaranya datar, tapi ada sesuatu yang berbahaya terselip di dalamnya. "Ini juga tentang memastikan kau tidak bisa disentuh oleh siapa pun yang berniat menyakitimu."Elera mengatupkan rahangnya. "Jadi aku harus menerima begitu saja? Menikah denganmu hanya karena itu membuat s
Malam sudah larut, tetapi mansion Leon Santiago masih dipenuhi aktivitas. Para pengawal tetap berjaga di sudut-sudut strategis, sementara beberapa orang kepercayaannya masih sibuk mengurus bisnisnya. Namun, di ruangan pribadi Leon, suasana lebih tenang—meskipun tegang dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.Dante bersandar pada kursi di seberang meja, memutar segelas whiskey di tangannya. Sorot matanya tajam saat mengamati pria di depannya.Leon berdiri di dekat jendela besar, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap ke luar, ke pemandangan kota yang diterangi cahaya lampu. Tetapi pikirannya tidak ada di sana.“Jadi,” Dante akhirnya membuka suara, nadanya penuh penilaian, “kau ingin pendapatku tentang bagaimana meyakinkan Elera untuk menikah denganmu?”Leon menghela napas, lalu berbalik. “Ya.”Dante menaikkan satu alis. “Itu bukan sesuatu yang biasanya kau minta, Leon.”Leon mendekat, menuangkan whiskey ke gelasnya sendiri, lalu duduk di seberang Dante. Ia mengadu
Elera akhirnya diizinkan kembali bekerja, tetapi ada satu masalah besar: ia tidak benar-benar bebas. Sejak pagi, dua pria berpakaian hitam sudah berdiri di dekatnya seperti bayangan yang tidak diinginkan. Mereka tidak berbicara, tidak mengganggu, tetapi kehadiran mereka saja sudah cukup membuatnya muak.Di rumah sakit, keberadaan dua pria berpakaian seperti bodyguard mafia jelas menarik perhatian. Beberapa perawat mulai berbisik-bisik, sementara beberapa dokter senior mengangkat alis penuh tanya."Elera, siapa mereka?" tanya salah satu koleganya, Dr. Angela, dengan nada geli. "Jangan bilang ini bentuk baru dari honeymoon protection?"Elera mendengus, menahan kekesalan. "Sama sekali bukan. Aku akan membereskannya sekarang juga."Dengan gerakan cepat, dia meraih ponselnya dan menekan nomor Leon. Tidak butuh waktu lama sebelum suara berat pria itu terdengar di seberang."Apa?" suara Leon terdengar santai, seakan tidak ada masalah di dunia ini.Elera tidak membuang waktu. "Katakan pada ora
Elera masih menatap pria di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Udara di sekeliling mereka semakin menegang, seolah waktu melambat dan semua orang menunggu kelanjutan percakapan mereka.Dengan tarikan napas yang hampir tidak terdengar, Elera akhirnya berkata, "Belum. Dia masih calon suamiku."Tatapan pria itu sedikit melunak, seolah mendapatkan sedikit harapan dari jawaban Elera. Namun, sebelum dia bisa merespons, Elera melanjutkan dengan nada yang lebih ringan, "Dan kau juga bisa datang ke pernikahanku nanti. Aku akan mengirim undangan jika kau mau."Leon, yang sejak tadi hanya diam dengan ekspresi datarnya, tiba-tiba terkekeh pelan. Suaranya dalam dan berbahaya."Oh tidak, sayang. Dia harus datang di acara pertunangan kita dulu."Elera langsung menoleh dengan cepat, matanya membelalak menatap Leon. "Apa?!"Tapi Leon tidak menghiraukannya. Tatapannya masih terkunci pada pria di hadapan mereka, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang jelas mengandung tantangan.Pria itu
Elera belum sempat menghirup napas lega ketika suara alarm memenuhi seluruh mansion. Suara nyaring itu menusuk telinga, membuat atmosfer di ruangan semakin menegangkan.Dante langsung berdiri, rahangnya mengeras. "Sial. Mereka masih ada di sekitar sini."Kai yang sedang menyiapkan peralatan jahit untuk Leon langsung membanting meja kecil di dekatnya. "Brengsek. Kita bahkan belum selesai menjahit si singa ini!"Elera menegang, menggenggam erat tangan Leon yang masih tak sadarkan diri. Mata pria itu bergerak di balik kelopak matanya, tetapi belum juga terbuka sepenuhnya."Siapa yang menyerang kalian?" suara Elera bergetar, tetapi matanya menyala dengan emosi yang sulit dijelaskan.Dante mengumpat di bawah napasnya. "Kami belum tahu pasti. Tapi jelas ini bukan serangan sembarangan."Kai berdiri, menatap Dante dengan tajam. "Aku harus tetap menjahitnya. Kalau tidak, dia bisa kehilangan lebih banyak darah."Dante mengangguk cepat. "Aku akan mengurus keamanan. Kai, kau tetap di sini. Jangan
Mobil-mobil melaju dengan kecepatan tinggi di bawah langit malam yang gelap. Elera duduk di dalam SUV lapis baja, diapit oleh Kai dan Diego di kedua sisinya. Meskipun tubuhnya aman, pikirannya masih berputar pada sosok Leon, yang kini dalam kondisi belum sepenuhnya pulih."Dia keras kepala." Elera bergumam sambil menggigit bibirnya, tatapannya terpaku ke luar jendela.Diego, yang duduk di seberangnya, menyilangkan tangan. "Bukan hanya keras kepala. Santiago itu seperti anjing liar yang tidak mau tunduk, bahkan ketika nyawanya di ujung tanduk."Kai terkekeh lelah. "Kau berbicara seolah kau tidak mengenal tipe seperti dia, Diego."Diego hanya menghela napas, lalu matanya mengarah pada Elera. "Bagaimana denganmu? Apa kau akan terus berada di sampingnya?"Elera terdiam sesaat. Semua kejadian ini terasa begitu cepat—pernikahan yang dipaksakan, pertarungan yang tak ada habisnya, dan kini serangan yang hampir merenggut nyawa mereka.Akhirnya, dia menjawab, "Aku berjanji akan tinggal sampai se
Keadaan akhirnya berangsur tenang setelah serangan yang membuat mereka harus melarikan diri. Leon memutuskan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih aman—sebuah rumah baru di tengah kota, lebih modern, lebih canggih, dan yang paling penting, dijaga oleh orang-orang yang jauh lebih bisa dipercaya.Rumah ini bukan sekadar mansion biasa. Dengan teknologi keamanan tingkat tinggi, sensor gerak, pengawasan ketat, dan akses terbatas bagi orang luar, tempat ini lebih seperti benteng pribadi. Bahkan Kai, yang sudah terbiasa dengan tempat-tempat mewah, menghela napas kagum begitu melihat interiornya.Elera tidak terlalu peduli dengan semua itu. Baginya, yang terpenting adalah bisa kembali bekerja tanpa harus merasa seperti tahanan. Tapi, tentu saja, Leon punya rencana lain.“Kita akan menggelar pesta pertunangan,” kata Leon tiba-tiba saat mereka sedang sarapan.Elera berhenti mengaduk kopinya dan menatapnya dengan mata menyipit. “Maaf, apa?”Leon meletakkan garpunya dan menatap Elera denga
Pagi itu villa terasa lebih hidup dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di atas lantai kayu hangat, sementara suara burung-burung kecil dari luar menjadi latar alami yang merdu.Leon dan Elera sibuk di kamar, mengemasi barang-barang mereka ke dalam koper.Elera duduk bersila di atas tempat tidur, melipat pakaian mereka dengan rapi, sementara Leon lebih banyak mondar-mandir, memasukkan berbagai benda ke dalam tas... bahkan beberapa barang yang sebenarnya bukan milik mereka.“Leon...” Elera memanggil sambil melipat blus. “Itu sandal villa. Bukan punya kita.”Leon melirik sandal di tangannya, lalu mengangkat bahu dengan cuek.“Mereka pasti mau memberikannya sebagai kenang-kenangan. Ini sandal saksi bisu pertempuran kita.”Elera memukul bantal di sebelahnya dengan geli. “Sandal villa, Leon.”Leon tertawa kecil, akhirnya meletakkan sandal itu kembali ke raknya. Dia lalu mendekat dan berjongkok di depan Elera, merebut blus dari tangannya dan mulai membantunya melipat
Bulan madu mereka terasa seperti dunia milik berdua, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mereka yang penuh dengan intrik dan tantangan. Di tengah keheningan pantai yang indah, hanya suara deburan ombak yang terdengar, Elara dan Leon menikmati momen penuh kedamaian, jauh dari segala ancaman.Leon terbaring di samping Elara, menatap wajah istrinya yang kini tengah berbaring santai di atas matras besar. Tangannya melingkar di pinggang Elara, membelai lembut perutnya. Mata Leon yang penuh perhatian tak lepas dari Elara, seakan mengekspresikan sejuta kata yang tak terucapkan.Dengan senyum nakal, dia mendekatkan wajahnya ke perut Elara, mencium lembut kulitnya yang halus. "Aku sangat senang," katanya dengan suara lembut yang hampir berbisik, "jika di dalam perutmu ini akan ada adik untuk Alvario."Elara menatapnya dengan sedikit rasa terkejut, namun senyum perlahan muncul di bibirnya. "Leon..." suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, penuh kehangatan. "Apa yang kamu katakan itu... seriu
Pagi di villa terasa cerah dan damai, dengan angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah sarapan bersama dan menghabiskan waktu bersantai, Elera—yang sudah mengganti mood menjadi ceria dan penuh energi—mengajak Leon untuk keluar berjalan-jalan.“Aku mau beli oleh-oleh,” katanya sambil memakai topi anyaman dan kacamata hitam. “Kita nggak bisa pulang tanpa bawa cinderamata buat yang di mansion.”Leon mengangguk, berdiri dari sofa sambil menyambar kunci mobil. “Ayo. Tapi kita pilih dengan niat balas dendam, kan? Gara-gara mereka main perang di rumah.”Elera tersenyum lebar. “Tentu. Ini untuk pembalasan yang manis.”~~~~~Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil kawasan wisata, menyapa pedagang lokal dan mencicipi sedikit jajanan khas. Lalu, masuklah mereka ke sebuah toko suvenir kecil penuh gantungan warna-warni dan barang-barang aneh yang langsung memancing tawa.Leon menunjuk sebuah miniatur kerangka dokter dengan tulisan "DR. PAIN" di dadanya. “Untuk Maya, ini cocok. Apalag
Pagi yang tenang menyelimuti villa tempat mereka mengasingkan diri dari dunia. Udara sejuk dari pegunungan menyusup perlahan melalui celah jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari pelan mengikuti hembusan angin, sementara sinar matahari pagi mengendap pelan ke dalam kamar, membentuk pola-pola hangat di atas seprai kusut yang menjadi saksi malam penuh emosi dan amarah yang akhirnya mencair menjadi keintiman yang dalam.Elera terbangun lebih dulu.Pelan-pelan, dia menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang masih tertidur di sampingnya. Leon terlihat damai, sangat berbeda dari singa pemilik dunia bawah yang dikenal semua orang. Di sini, di sisi Elera, dia hanyalah Leon—pria yang mencintainya dengan rakus, dengan cara yang kadang membingungkan, kadang menyakitkan, tapi juga selalu membuatnya merasa... milik.Lengan Leon masih melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat. Dada hangat pria itu menjadi sandaran pipinya semalaman. Bekas-bekas 'pertempuran' yang belum
Di pagi yang sedikit mendung, Leon berdiri di depan pintu kamar sambil menyender malas, satu tangan menyembunyikan kotak kecil dari belakang tubuhnya. Elera yang baru saja keluar dari kamar Alva menatapnya datar."Ada apa lagi, Leon?" tanyanya curiga, rambutnya masih agak berantakan tapi tetap terlihat memukau dengan piyama satin abu-abu yang longgar.Leon mendekat, memberikan senyumannya yang bisa membuat siapa pun curiga, tapi juga sulit ditolak. “Aku ingin menebus kesalahanku,” ucapnya pelan.Elera menyilangkan tangan. “Dengan?”“Berlibur. Hanya kita berdua.”Elera mendengus kecil, lalu menatapnya seperti baru saja mendengar lelucon gagal. “Dan bagaimana dengan Alva?”Leon mengangkat alis. “Dia aman di rumah. Lagipula… mungkin dia butuh teman main. Si kecil itu bosan bermain strategi melawan orang dewasa.”Elera langsung menegang. Pipi yang sempat memerah karena implikasi halus itu langsung digantikan oleh ekspresi setengah kesal.“Jadi kamu ngajak aku honeymoon ya?” Elera mengerut
Suasana ruang rawat kembali tenang. Maya masih duduk di kursi sebelah tempat tidur, sibuk membereskan bantal sambil pura-pura tidak mendengarkan percakapan yang hendak dimulai. Kai berdiri di dekat jendela, memeluk map medis Dante dengan ekspresi datar yang selalu ia pertahankan—meski ekor matanya mencuri-curi arah ke arah Elera.Elera, dengan langkah mantap, menghampiri sisi tempat tidur Dante. Tatapannya tenang, tapi jelas membawa beban yang berat. Dante yang semula mencoba tertawa, menjadi sedikit kikuk."Dokter Elera..." gumam Dante pelan, suaranya masih serak. "Maaf… aku nggak bisa jaga Leon. Harusnya aku bisa lebih cepat lihat tanda sniper-nya, mungkin—"Elera mengangkat tangannya pelan, menyela. “Berhenti, Dante.”Tatapan dingin khas Elera itu menusuk, tapi bukan karena marah—melainkan karena terluka. Dalamnya bukan dari Dante.“Bukan salahmu. Seharusnya dia…” Elera menoleh sejenak ke arah Leon yang berdiri di belakang. “...ingat kalau dia punya aku dan Alva. Jadi, lain kali, m
Langit masih malu-malu menampakkan warna jingganya ketika Leon bangun dari sofa ruang keluarga. Bekas semalaman berpikir masih tertinggal di wajahnya—lelah, sedikit kusut, dan penuh penyesalan. Ia langsung berdiri dan melangkah cepat ke kamar Alvario.Namun, kamar itu kosong.Selimut Alva sudah rapi, boneka favoritnya duduk manis di ujung tempat tidur, dan bantal kecilnya sudah disusun dengan sempurna. Leon mengernyit, berjalan ke kamar mandi, kemudian ke kamar mereka. Sunyi. Elera tidak ada.“Elera?” panggilnya sambil membuka lemari pakaian yang sebagian sudah kosong. Tidak, bukan kosong karena pergi—tapi karena memang Elera sudah bersiap sejak dini hari.Di meja rias, ada secarik catatan kecil yang ditulis cepat dengan tulisan tangan Elera yang khas.“Ada operasi penting. Aku harus pergi lebih awal. Jangan tanya kenapa aku nggak bangunin kamu. Alva udah aku titip ke Bibi Mara.”Leon menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, menatap tulisan itu dengan pandangan kosong. Ia t
Langit sore mulai meredup, dan aroma khas rumah bercampur dengan ketenangan yang hanya bisa dirasakan setelah hari yang panjang di rumah sakit. Elera baru saja tiba di mansion, rambutnya sedikit berantakan dan langkahnya tampak berat. Tapi begitu pintu masuk terbuka, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah Leon—duduk santai di ruang tengah, satu tangan terangkat, dibalut perban tebal yang tak bisa disembunyikan meski dengan kemeja lengan panjangnya.Elera menghentikan langkah.“Leon?” suaranya penuh nada curiga.Leon menoleh pelan, seperti seseorang yang tahu dia akan dimarahi tapi memilih tetap tenang. “Kau sudah pulang, Sayang,” katanya lembut, mencoba tersenyum.Tapi Elera menatapnya tajam. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?”Sebelum Leon sempat menjawab, Maya muncul dari arah dapur sambil mengunyah sepotong biskuit. “YA AMPUN—akhirnya kau pulang juga! Eh, ngomong-ngomong, Dante di mana sih? Biasanya dia udah ngerecokin ruang tengah dari tadi.”Leon langsung memotong sebelum E
Di ruang keluarga yang terasa seperti ruang strategi militer versi mini, Alvario masih asik dengan permainan strategi dan pasukan boneka-bonekanya. Tangannya kecil, tapi gerakannya terarah, seperti sudah memahami konsep “flank attack” dan “defensive barrier” dari lahir. Pion-pion mungil dari set permainan Dante berserakan, sebagian besar sudah "kalah", dan Alva kini mengarahkan tank mainannya ke sisi kiri peta dengan suara:“Dooor! Ppaang! Majuu!”Leon dan Dante tertawa kecil, tapi tawa mereka terputus saat satu pesan masuk ke ponsel keduanya bersamaan. Wajah mereka langsung berubah. Tegas. Dingin.Leon mengangkat alis ke arah Dante. “Gudang di Pelabuhan Selatan.”Dante menyeringai sinis. “Mereka mulai cari celah lagi. Sudah cukup lama mereka diam.”Leon menatap Alva sebentar—anak kecilnya masih tenggelam dalam dunia perang-perangannya sendiri. Lalu ia berbalik dan memanggil, “Mara.”Bibi Mara yang sedang membawa botol susu langsung berubah sikap. Dalam beberapa detik, apron-nya sudah