Pagi yang tenang menyelimuti villa tempat mereka mengasingkan diri dari dunia. Udara sejuk dari pegunungan menyusup perlahan melalui celah jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari pelan mengikuti hembusan angin, sementara sinar matahari pagi mengendap pelan ke dalam kamar, membentuk pola-pola hangat di atas seprai kusut yang menjadi saksi malam penuh emosi dan amarah yang akhirnya mencair menjadi keintiman yang dalam.Elera terbangun lebih dulu.Pelan-pelan, dia menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang masih tertidur di sampingnya. Leon terlihat damai, sangat berbeda dari singa pemilik dunia bawah yang dikenal semua orang. Di sini, di sisi Elera, dia hanyalah Leon—pria yang mencintainya dengan rakus, dengan cara yang kadang membingungkan, kadang menyakitkan, tapi juga selalu membuatnya merasa... milik.Lengan Leon masih melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat. Dada hangat pria itu menjadi sandaran pipinya semalaman. Bekas-bekas 'pertempuran' yang belum
Pagi di villa terasa cerah dan damai, dengan angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah sarapan bersama dan menghabiskan waktu bersantai, Elera—yang sudah mengganti mood menjadi ceria dan penuh energi—mengajak Leon untuk keluar berjalan-jalan.“Aku mau beli oleh-oleh,” katanya sambil memakai topi anyaman dan kacamata hitam. “Kita nggak bisa pulang tanpa bawa cinderamata buat yang di mansion.”Leon mengangguk, berdiri dari sofa sambil menyambar kunci mobil. “Ayo. Tapi kita pilih dengan niat balas dendam, kan? Gara-gara mereka main perang di rumah.”Elera tersenyum lebar. “Tentu. Ini untuk pembalasan yang manis.”~~~~~Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil kawasan wisata, menyapa pedagang lokal dan mencicipi sedikit jajanan khas. Lalu, masuklah mereka ke sebuah toko suvenir kecil penuh gantungan warna-warni dan barang-barang aneh yang langsung memancing tawa.Leon menunjuk sebuah miniatur kerangka dokter dengan tulisan "DR. PAIN" di dadanya. “Untuk Maya, ini cocok. Apalag
Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.Dor! Dor! Dor!Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.Elera membeku.Pria itu berusa
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.Leon Santiago.Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.Di luar, suara langkah kaki mendekat.Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.Leon.Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi."Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang memb
Maya mondar-mandir di ruang tamu apartemen Elera, wajahnya penuh kekhawatiran dan frustrasi. Ponselnya tergenggam erat di tangan, siap menelepon polisi kapan saja.Seharusnya mereka sudah berada di Pattaya sekarang, menikmati liburan yang telah direncanakan berbulan-bulan. Tapi nyatanya? Sahabatnya malah menghilang tanpa kabar.Klik!Suara kunci berputar.Maya langsung menoleh ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya muncul."ELERA!"Ia langsung berlari dan memeluk sahabatnya erat, hampir membuat Elera kehilangan keseimbangan."Ya Tuhan, kau ke mana saja?! Aku sudah hampir gila!"Elera tersenyum tipis, membalas pelukan itu dengan tepukan pelan di punggung Maya. "Aku baik-baik saja, Ma."Namun, Maya langsung menarik diri dan menatapnya penuh selidik."Tidak! Kau tidak baik-baik saja! Kau menghilang semalaman, tidak menjawab telepon, lalu tiba-tiba kembali seperti ini?"Elera membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu
Hening.Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju."Ayah…?"Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya."Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.Diego kembali menatap Leon
Hening.Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.Elera merasakan firasat buruk.Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan."Kau akan ikut denganku."Hening.Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."Elera
Pagi di villa terasa cerah dan damai, dengan angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan. Setelah sarapan bersama dan menghabiskan waktu bersantai, Elera—yang sudah mengganti mood menjadi ceria dan penuh energi—mengajak Leon untuk keluar berjalan-jalan.“Aku mau beli oleh-oleh,” katanya sambil memakai topi anyaman dan kacamata hitam. “Kita nggak bisa pulang tanpa bawa cinderamata buat yang di mansion.”Leon mengangguk, berdiri dari sofa sambil menyambar kunci mobil. “Ayo. Tapi kita pilih dengan niat balas dendam, kan? Gara-gara mereka main perang di rumah.”Elera tersenyum lebar. “Tentu. Ini untuk pembalasan yang manis.”~~~~~Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil kawasan wisata, menyapa pedagang lokal dan mencicipi sedikit jajanan khas. Lalu, masuklah mereka ke sebuah toko suvenir kecil penuh gantungan warna-warni dan barang-barang aneh yang langsung memancing tawa.Leon menunjuk sebuah miniatur kerangka dokter dengan tulisan "DR. PAIN" di dadanya. “Untuk Maya, ini cocok. Apalag
Pagi yang tenang menyelimuti villa tempat mereka mengasingkan diri dari dunia. Udara sejuk dari pegunungan menyusup perlahan melalui celah jendela yang dibiarkan sedikit terbuka. Tirai tipis menari pelan mengikuti hembusan angin, sementara sinar matahari pagi mengendap pelan ke dalam kamar, membentuk pola-pola hangat di atas seprai kusut yang menjadi saksi malam penuh emosi dan amarah yang akhirnya mencair menjadi keintiman yang dalam.Elera terbangun lebih dulu.Pelan-pelan, dia menoleh, matanya menatap wajah suaminya yang masih tertidur di sampingnya. Leon terlihat damai, sangat berbeda dari singa pemilik dunia bawah yang dikenal semua orang. Di sini, di sisi Elera, dia hanyalah Leon—pria yang mencintainya dengan rakus, dengan cara yang kadang membingungkan, kadang menyakitkan, tapi juga selalu membuatnya merasa... milik.Lengan Leon masih melingkari pinggangnya, menarik tubuhnya mendekat. Dada hangat pria itu menjadi sandaran pipinya semalaman. Bekas-bekas 'pertempuran' yang belum
Di pagi yang sedikit mendung, Leon berdiri di depan pintu kamar sambil menyender malas, satu tangan menyembunyikan kotak kecil dari belakang tubuhnya. Elera yang baru saja keluar dari kamar Alva menatapnya datar."Ada apa lagi, Leon?" tanyanya curiga, rambutnya masih agak berantakan tapi tetap terlihat memukau dengan piyama satin abu-abu yang longgar.Leon mendekat, memberikan senyumannya yang bisa membuat siapa pun curiga, tapi juga sulit ditolak. “Aku ingin menebus kesalahanku,” ucapnya pelan.Elera menyilangkan tangan. “Dengan?”“Berlibur. Hanya kita berdua.”Elera mendengus kecil, lalu menatapnya seperti baru saja mendengar lelucon gagal. “Dan bagaimana dengan Alva?”Leon mengangkat alis. “Dia aman di rumah. Lagipula… mungkin dia butuh teman main. Si kecil itu bosan bermain strategi melawan orang dewasa.”Elera langsung menegang. Pipi yang sempat memerah karena implikasi halus itu langsung digantikan oleh ekspresi setengah kesal.“Jadi kamu ngajak aku honeymoon ya?” Elera mengerut
Suasana ruang rawat kembali tenang. Maya masih duduk di kursi sebelah tempat tidur, sibuk membereskan bantal sambil pura-pura tidak mendengarkan percakapan yang hendak dimulai. Kai berdiri di dekat jendela, memeluk map medis Dante dengan ekspresi datar yang selalu ia pertahankan—meski ekor matanya mencuri-curi arah ke arah Elera.Elera, dengan langkah mantap, menghampiri sisi tempat tidur Dante. Tatapannya tenang, tapi jelas membawa beban yang berat. Dante yang semula mencoba tertawa, menjadi sedikit kikuk."Dokter Elera..." gumam Dante pelan, suaranya masih serak. "Maaf… aku nggak bisa jaga Leon. Harusnya aku bisa lebih cepat lihat tanda sniper-nya, mungkin—"Elera mengangkat tangannya pelan, menyela. “Berhenti, Dante.”Tatapan dingin khas Elera itu menusuk, tapi bukan karena marah—melainkan karena terluka. Dalamnya bukan dari Dante.“Bukan salahmu. Seharusnya dia…” Elera menoleh sejenak ke arah Leon yang berdiri di belakang. “...ingat kalau dia punya aku dan Alva. Jadi, lain kali, m
Langit masih malu-malu menampakkan warna jingganya ketika Leon bangun dari sofa ruang keluarga. Bekas semalaman berpikir masih tertinggal di wajahnya—lelah, sedikit kusut, dan penuh penyesalan. Ia langsung berdiri dan melangkah cepat ke kamar Alvario.Namun, kamar itu kosong.Selimut Alva sudah rapi, boneka favoritnya duduk manis di ujung tempat tidur, dan bantal kecilnya sudah disusun dengan sempurna. Leon mengernyit, berjalan ke kamar mandi, kemudian ke kamar mereka. Sunyi. Elera tidak ada.“Elera?” panggilnya sambil membuka lemari pakaian yang sebagian sudah kosong. Tidak, bukan kosong karena pergi—tapi karena memang Elera sudah bersiap sejak dini hari.Di meja rias, ada secarik catatan kecil yang ditulis cepat dengan tulisan tangan Elera yang khas.“Ada operasi penting. Aku harus pergi lebih awal. Jangan tanya kenapa aku nggak bangunin kamu. Alva udah aku titip ke Bibi Mara.”Leon menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang, menatap tulisan itu dengan pandangan kosong. Ia t
Langit sore mulai meredup, dan aroma khas rumah bercampur dengan ketenangan yang hanya bisa dirasakan setelah hari yang panjang di rumah sakit. Elera baru saja tiba di mansion, rambutnya sedikit berantakan dan langkahnya tampak berat. Tapi begitu pintu masuk terbuka, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah Leon—duduk santai di ruang tengah, satu tangan terangkat, dibalut perban tebal yang tak bisa disembunyikan meski dengan kemeja lengan panjangnya.Elera menghentikan langkah.“Leon?” suaranya penuh nada curiga.Leon menoleh pelan, seperti seseorang yang tahu dia akan dimarahi tapi memilih tetap tenang. “Kau sudah pulang, Sayang,” katanya lembut, mencoba tersenyum.Tapi Elera menatapnya tajam. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?”Sebelum Leon sempat menjawab, Maya muncul dari arah dapur sambil mengunyah sepotong biskuit. “YA AMPUN—akhirnya kau pulang juga! Eh, ngomong-ngomong, Dante di mana sih? Biasanya dia udah ngerecokin ruang tengah dari tadi.”Leon langsung memotong sebelum E
Di ruang keluarga yang terasa seperti ruang strategi militer versi mini, Alvario masih asik dengan permainan strategi dan pasukan boneka-bonekanya. Tangannya kecil, tapi gerakannya terarah, seperti sudah memahami konsep “flank attack” dan “defensive barrier” dari lahir. Pion-pion mungil dari set permainan Dante berserakan, sebagian besar sudah "kalah", dan Alva kini mengarahkan tank mainannya ke sisi kiri peta dengan suara:“Dooor! Ppaang! Majuu!”Leon dan Dante tertawa kecil, tapi tawa mereka terputus saat satu pesan masuk ke ponsel keduanya bersamaan. Wajah mereka langsung berubah. Tegas. Dingin.Leon mengangkat alis ke arah Dante. “Gudang di Pelabuhan Selatan.”Dante menyeringai sinis. “Mereka mulai cari celah lagi. Sudah cukup lama mereka diam.”Leon menatap Alva sebentar—anak kecilnya masih tenggelam dalam dunia perang-perangannya sendiri. Lalu ia berbalik dan memanggil, “Mara.”Bibi Mara yang sedang membawa botol susu langsung berubah sikap. Dalam beberapa detik, apron-nya sudah
Menjelang pagi, langit di luar jendela kamar masih berselimut gelap kebiruan. Lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya temaram ke arah ranjang besar tempat Leon dan Elera terbaring, masih tenggelam dalam kehangatan malam yang belum lama berlalu. Selimut kusut melingkari tubuh mereka, dan Elera tertidur pulas dalam balutan gaun malam tipis, bersandar nyaman di dada Leon.Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun tegas memecah kesunyian—monitor bayi di sisi meja Leon berbunyi, menandakan gerakan atau tangisan dari kamar kecil Alvario.Leon membuka matanya perlahan. Sentuhan dunia nyata menyusup di sela-sela mimpi tenangnya. Dia tidak ingin membangunkan Elera, jadi dengan satu tangan yang masih memeluk pinggang ramping istrinya, dia meraih layar monitor dan menatapnya dengan seksama.Di layar kecil itu, tampak Alvario yang setengah terbangun, tubuh kecilnya menggeliat gelisah di ranjang bayi. Namun sesaat kemudian, sosok lembut Bibi Mara muncul di frame, mengangkat Alva dalam pelukanny
Pesawat mendarat dengan mulus di landasan tersembunyi bandara, hanya diterangi cahaya minim dari mobil-mobil hitam lapis baja yang sudah menunggu. Begitu pintu kabin terbuka, Leon Santiago melangkah keluar dengan langkah tegas, wajahnya keras dan dingin, seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh badai barusan.Tanpa perlu banyak bicara, Rafael dan dua bodyguard lainnya segera menggiringnya ke mobil utama. Di dalam mobil, Rafael hanya melirik lewat kaca spion dan berkata pelan, “Tim sudah berjaga di perimeter. Rumah dalam kondisi aman. Dante mengaktifkan protokol bayangan.”Leon mengangguk, matanya tetap lurus ke depan, tapi satu tangannya menggenggam liontin kecil di saku jasnya—foto kecil Elera dan Alvario terselip di dalamnya.Itu satu-satunya kompas yang ia butuhkan.Saat konvoi itu meluncur dalam keheningan menuju mansion Santiago, langit malam tampak pekat, seakan ikut menyimpan rahasia yang baru saja terjadi di udara. Namun, tak satu pun dari bayangan itu bisa menembus rumah