"Papaaa!"
Kedatangan Edgar di lounge tempat biasanya sesi afternoon tea dilaksanakan disambut oleh pekikan girang anak perempuannya. Lavanya melompat turun dari sofa yang didudukinya dan berlari-lari kecil sambil merentangkan kedua tangannya.
Edgar tersenyum melihat tingkah lucu putri kecilnya itu. Ia segera mengangkat Lavanya untuk digendong dan menghadiahkan ciuman di pipi tembam Lavanya.
"Papa, mam kue," Lavanya menunjuk pada meja tempat segala hidangan afternoon tea tersaji di depan Kaluna dan Damian yang melihat ke arah mereka dari tempat duduk masing-masing.
Edgar melangkah mendekat dan saat hendak duduk di salah satu single sofa yang berseberangan dengan milik Damian, Lavanya meronta dalam gendongannya.
"Miii, Mamiii," anak itu menunjuk sisi sofa yang kosong di samping maminya, tempat ia duduk awalnya.
Edgar mengalah dan pindah duduk ke samping Kaluna. Sofa yang m
Acaraworkshopdi Universitas Aditama berjalan lancar. Saat ini Kaluna sedang menyalami dosen-dosen, Dekan, dan Wakil Dekan yang ikut hadir di acara penutupan. "Bu Kaluna, ini Pak Auriga, beliau adik ipar saya, salah satu dosen dari Fakultas Hukum yang katanya suka sekali dengan karya-karya Bu Kaluna. Makanya saya ajak sekalian di sesi penutupan ini." Pak Galih, Dekan Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) mengenalkan seorang pria sepantaran Edgar saat Kaluna datang menyapa seusai acara. "Halo Bu Kaluna, saya Auriga," pria itu mengulurkan tangan yang yang disambut ramah oleh Kaluna. "Kaluna," kata wanita itu singkat. Ia memang cukup canggung saat berkenalan dengan orang baru. "Pak Auriga ini punya semua buku cerita karya Ibu lho, terakhir saya lihat buku terbarunya Bu Kaluna udah ada di rak buku di rumahnya," Pak Galih mulai bercerita sambil menepuk-nepuk pundak adik iparnya. "Terima kasih Pak Auriga, sudah menyuka
Kaluna masuk ke ruang kerja Edgar dengan sebuah mug ukuran sedang yang menguarkan aroma manis dan pahit. Di kursi kerjanya, Edgar menyambut kedatangan Kaluna dengan senyuman kecil.Saat wanita itu meletakkan gelas yang dibawanya ke hadapan Edgar, pria itu mengangkat sebelah alisnya dan mengulum senyum."Jadi menurutmu cokelat panas lebih enak dari kopi?" Edgar menatap Kaluna untuk melihat reaksinya."Mhm," wanita itu mengangguk dengan senyuman bangga."Well, saya tidak yakin minuman manis ini lebih enak dari kopi hitam kesukaan saya," kali ini Edgar menyandarkan punggungnya ke kursi dan bersedekap, terlihat ingin menantang Kaluna."Coba dulu, pasti lebih enak, soalnya ini minuman cokelat buatanku," Kaluna menekan kata 'ku' di akhir untuk meyakinkan Edgar.Tidak lagi membalas, Edgar memilih meraih gelas di ujung meja kerjanya itu dan meneguk sedikit isinya. Dahinya seketika mengerut saat lidahnya merasakan rasa cokelat yang kuat tapi juga terasa lembut secara bersamaan.Sebelum memberi
Hari ini, Kaluna berniat menyelesaikan satu lukisan terakhir yang tersisa untuk acara pamerannya. Pekan ini, tepatnya hari Rabu, semua lukisan Kaluna harus sudah diangkut ke Galeri Seni Pratibha milik Cintya.Sepulangnya ia dari mengantar Damian berangkat sekolah, Kaluna berpesan pada Mbak Lala untuk menemani Lavanya bermain sampai Damian pulang nanti karena dirinya benar-benar harus fokus melukis.Menjelang siang, Sarah mengantarkan seteko limun dingin dan beberapa jenis cemilan sebagai pengganjal perut. Kalau Kaluna sedang serius nafsu makannya seolah hilang, kalau tidak diingatkan ia bisa tidak makan apapun seharian.Sepertinya kebiasaan Kaluna yang satu itu sering membuat Elvina khawatir dan akhirnya selalu menyuruh pelayan di rumah untuk mengantarkan minuman segar dan cemilan saat adiknya terlalu larut dalam pekerjaannya.Tugas itu sekarang menjadi tanggung jawab Sarah selaku orang yang diamanahi oleh Edgar untuk memastikan seluruh kebutuhan Kaluna t
Pintu kamar utama yang ditempati oleh Edgar terbuka perlahan. Pemandangan ruang kamar yang luas dan temaram menyambut Kaluna.Ragu-ragu Kaluna melangkah masuk. Ini pertama kalinya ia masuk ke area paling pribadi milik Edgar. Kaluna rasa dirinya yang dulu bahkan belum pernah memasuki kamar ini.Di luar bayangan, kamar utama ini terlihat seperti kamar pria dewasa pada umumnya, bukan kamar suami-istri kebanyakan. Interior kamar didominasi oleh warna putih dan abu-abu, memberikan kesan suram dan dingin.Kaluna menutup pintu dan berjalan mendekat ke arah ranjang besar di tengah ruangan. Ia yakin ranjang itu dua kali lipat besarnya dari ukuran ranjang di kamarnya.Dilihatnya Edgar sudah terbaring di sisi ranjang sebelah kiri. Kemeja kerjanya tak lagi melekat di badan, digantikan sebuah kaus abu-abu tipis. Edgar tidur dengan posisi badan tertelungkup, wajahnya nayris tenggelam di antara bantal dan lipatan lengannya.Dengan gerakan hati-hati Kaluna meletak
"Kalau gitu pertemuan kita selanjutnya langsung di lokasi pameran aja, ya," Cintya menyudahi diskusinya bersama Kaluna sambil menutup laptopnya."Lo bisa sekalian periksa persiapan pamerannya sama gue nanti di sana," lanjutnya sambil meneguk habis cortado coffe di cangkirnya."Okay," Kaluna mengangguk setuju dan mengikuti Cintya yang menghabiskan minumannya.Lain dengan Cintya yang sepertinya penggemar kopi sejati, Kaluna yang lebih suka teh atau minuman cokelat memilih memesan segelas teh masala chai dingin.Hari ini, sesuai dengan kesepakatannya dengan Cintya, Kaluna mengantar langsung lukisan-lukisannya yang sudah seratus persen rampung ke Galeri Seni Pratibha. Semua lukisan itu akan disimpan sementara sebelum pameran diselenggarakan.Selesai menaruh seluruh lukisan di ruang penyimpanan, Cintya mengajak Kaluna untuk melakukan meeting kecil di salah satu cafe berkonsep botanical garden yang hanya berjarak lima belas menit dari galeri.Setelah beberapa waktu berdiskusi, Kaluna dan Ci
Cklek. Edgar membuka pintu kamar anak sulungnya perlahan. Ia masuk dengan langkah pelan dan menutup kembali pintu kamar hati-hati. Di pinggir tempat tidur Damian, tampak Kaluna yang duduk setengah menyamping dan bersandar di kepala ranjang. Wanita itu terlelap dalam posisi duduk, tangan kanannya terkulai dekat kepala Damian, sepertinya ia jatuh tertidur saat sedang mengusap-usap kepala Damian. Edgar duduk di kursi kecil yang sebelumnya diduduki oleh Sarah. Kaki kursi yang pendek membuatnya cukup kesulitan untuk duduk karena badannya yang tinggi besar, kakinya bahkan harus tertekuk tinggi. Tapi Edgar tidak terlalu mempermasalahkannya. Dicondongkannya tubuhnya sedikit ke depan, mendekat pada Kaluna. Diraihnya tangan kiri sang wanita untuk digenggam. Edgar mengusap-usap punggung tangan Kaluna sambil menatap wajah pulas Damian dengan plester pereda demam yang menempel di dahinya. Kepala Kaluna bergerak kecil, matanya perlahan terbuka. Wajah Edgar yang tersenyum tipis menyambutnya. Kal
Kaluna akhirnya menuruti paksaan Edgar untuk tidur di kamarnya dan kembali menemani Damian sebelum anak itu terbangun esok pagi. Edgar berjanji akan membangunkan Kaluna sebelum matahari terbit.Malam itu tidur Kaluna sangat lelap, meski sebelumnya kepalanya penuh dengan banyak hal. Tubuhnya yang kelelahan membuat segala pikiran Kaluna lenyap saat kepalanya menyentuh bantal.Pukul enam pagi, beberapa saat sebelum matahari terbit, Edgar memenuhi janjinya untuk membangunkan Kaluna. Pria itu sebenarnya sudah masuk ke kamar Kaluna sejak tiga puluh menit yang lalu. Ia hanya duduk tenang di pinggir ranjang sambil mengamati wajah lelap Kaluna.Edgar berusaha menahan tangannya untuk tidak mendaratkan jari jemarinya di seluruh fitur wajah cantik itu. Alisnya yang rapi, bulu mata lentik, hidung mungil dan mancung, bibir tipis merah muda, serta permukaan kulit yang terlihat sangat lembut. Semuanya membuat Edgar terpesona.Sebelumnya Edgar tidak pernah benar-benar memperhatikan wajah Kaluna. Melih
Jantung Kaluna masih saja berdegup kencang saat mengingat beberapa waktu lalu dirinya terbangun di pelukan Edgar. Rasanya lebih mendebarkan karena wajah pria itu hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari wajahnya. Berbeda ketika mereka tidur bersama di kamar Edgar saat pria itu sakit, meski sama-sama bangun di pelukan Edgar, tapi wajah mereka tidak sejajar dan nyaris bersentuhan. Kalau Kaluna menggerakkan wajahnya sedikit saja, mungkin bibirnya sudah menempel di kulit pipi Edgar. Duh, mengingatnya wajah Kaluna jadi terasa panas. "Kamu tertular demam Damian?" tiba-tiba orang yang dipikirkan Kaluna sudah berdiri di sampingnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh dahinya. Untung saja Kaluna sudah selesai menyeduh teh dan tidak sedang membawa apapun di tangannya. Benda apapun yang ia genggam pasti akan langsung terjatuh, karena jantungnya saja serasa jatuh ke perut saat sosok Edgar tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Nggak panas, tapi kena