Pintu kamar utama yang ditempati oleh Edgar terbuka perlahan. Pemandangan ruang kamar yang luas dan temaram menyambut Kaluna.
Ragu-ragu Kaluna melangkah masuk. Ini pertama kalinya ia masuk ke area paling pribadi milik Edgar. Kaluna rasa dirinya yang dulu bahkan belum pernah memasuki kamar ini.
Di luar bayangan, kamar utama ini terlihat seperti kamar pria dewasa pada umumnya, bukan kamar suami-istri kebanyakan. Interior kamar didominasi oleh warna putih dan abu-abu, memberikan kesan suram dan dingin.
Kaluna menutup pintu dan berjalan mendekat ke arah ranjang besar di tengah ruangan. Ia yakin ranjang itu dua kali lipat besarnya dari ukuran ranjang di kamarnya.
Dilihatnya Edgar sudah terbaring di sisi ranjang sebelah kiri. Kemeja kerjanya tak lagi melekat di badan, digantikan sebuah kaus abu-abu tipis. Edgar tidur dengan posisi badan tertelungkup, wajahnya nayris tenggelam di antara bantal dan lipatan lengannya.
Dengan gerakan hati-hati Kaluna meletak
"Kalau gitu pertemuan kita selanjutnya langsung di lokasi pameran aja, ya," Cintya menyudahi diskusinya bersama Kaluna sambil menutup laptopnya."Lo bisa sekalian periksa persiapan pamerannya sama gue nanti di sana," lanjutnya sambil meneguk habis cortado coffe di cangkirnya."Okay," Kaluna mengangguk setuju dan mengikuti Cintya yang menghabiskan minumannya.Lain dengan Cintya yang sepertinya penggemar kopi sejati, Kaluna yang lebih suka teh atau minuman cokelat memilih memesan segelas teh masala chai dingin.Hari ini, sesuai dengan kesepakatannya dengan Cintya, Kaluna mengantar langsung lukisan-lukisannya yang sudah seratus persen rampung ke Galeri Seni Pratibha. Semua lukisan itu akan disimpan sementara sebelum pameran diselenggarakan.Selesai menaruh seluruh lukisan di ruang penyimpanan, Cintya mengajak Kaluna untuk melakukan meeting kecil di salah satu cafe berkonsep botanical garden yang hanya berjarak lima belas menit dari galeri.Setelah beberapa waktu berdiskusi, Kaluna dan Ci
Cklek. Edgar membuka pintu kamar anak sulungnya perlahan. Ia masuk dengan langkah pelan dan menutup kembali pintu kamar hati-hati. Di pinggir tempat tidur Damian, tampak Kaluna yang duduk setengah menyamping dan bersandar di kepala ranjang. Wanita itu terlelap dalam posisi duduk, tangan kanannya terkulai dekat kepala Damian, sepertinya ia jatuh tertidur saat sedang mengusap-usap kepala Damian. Edgar duduk di kursi kecil yang sebelumnya diduduki oleh Sarah. Kaki kursi yang pendek membuatnya cukup kesulitan untuk duduk karena badannya yang tinggi besar, kakinya bahkan harus tertekuk tinggi. Tapi Edgar tidak terlalu mempermasalahkannya. Dicondongkannya tubuhnya sedikit ke depan, mendekat pada Kaluna. Diraihnya tangan kiri sang wanita untuk digenggam. Edgar mengusap-usap punggung tangan Kaluna sambil menatap wajah pulas Damian dengan plester pereda demam yang menempel di dahinya. Kepala Kaluna bergerak kecil, matanya perlahan terbuka. Wajah Edgar yang tersenyum tipis menyambutnya. Kal
Kaluna akhirnya menuruti paksaan Edgar untuk tidur di kamarnya dan kembali menemani Damian sebelum anak itu terbangun esok pagi. Edgar berjanji akan membangunkan Kaluna sebelum matahari terbit.Malam itu tidur Kaluna sangat lelap, meski sebelumnya kepalanya penuh dengan banyak hal. Tubuhnya yang kelelahan membuat segala pikiran Kaluna lenyap saat kepalanya menyentuh bantal.Pukul enam pagi, beberapa saat sebelum matahari terbit, Edgar memenuhi janjinya untuk membangunkan Kaluna. Pria itu sebenarnya sudah masuk ke kamar Kaluna sejak tiga puluh menit yang lalu. Ia hanya duduk tenang di pinggir ranjang sambil mengamati wajah lelap Kaluna.Edgar berusaha menahan tangannya untuk tidak mendaratkan jari jemarinya di seluruh fitur wajah cantik itu. Alisnya yang rapi, bulu mata lentik, hidung mungil dan mancung, bibir tipis merah muda, serta permukaan kulit yang terlihat sangat lembut. Semuanya membuat Edgar terpesona.Sebelumnya Edgar tidak pernah benar-benar memperhatikan wajah Kaluna. Melih
Jantung Kaluna masih saja berdegup kencang saat mengingat beberapa waktu lalu dirinya terbangun di pelukan Edgar. Rasanya lebih mendebarkan karena wajah pria itu hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari wajahnya. Berbeda ketika mereka tidur bersama di kamar Edgar saat pria itu sakit, meski sama-sama bangun di pelukan Edgar, tapi wajah mereka tidak sejajar dan nyaris bersentuhan. Kalau Kaluna menggerakkan wajahnya sedikit saja, mungkin bibirnya sudah menempel di kulit pipi Edgar. Duh, mengingatnya wajah Kaluna jadi terasa panas. "Kamu tertular demam Damian?" tiba-tiba orang yang dipikirkan Kaluna sudah berdiri di sampingnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh dahinya. Untung saja Kaluna sudah selesai menyeduh teh dan tidak sedang membawa apapun di tangannya. Benda apapun yang ia genggam pasti akan langsung terjatuh, karena jantungnya saja serasa jatuh ke perut saat sosok Edgar tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Nggak panas, tapi kena
Malam sudah semakin larut, Kaluna baru keluar dari kamar mandi pukul setengah sepuluh. Makan malam yang lumayan terlambat membuat jam tidur Damian juga Lavanya mundur, Kaluna baru selesai menidurkan mereka saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Sembari menunggu rambutnya setengah kering, Kaluna duduk di pinggir ranjangnya dan membuka kembali ponsel. Ia akan memeriksa isi link di aplikasi Notes yang sebelumnya tidak sempat dibuka.Kaluna membuka link paling atas, sebuah laman terbuka tanpa sandi. Kaluna menekan icon dokumen yang ada di sana, hanya ada satu folder di dalamnya. Saat dibuka, ada sekitar belasan file video berdurasi cukup panjang di dalamnya."Ini rekaman video CCTV, kah?" gumam Kaluna.Ia memutar satu video di urutan awal. Pemandangan kamar tidur Damian memenuhi layar ponselnya. Rupanya selama ini ada CCTV tersembunyi, atau mungkin semacam kamera pengawas anak tersembunyi di kamar Damian.Lima menit video berjalan tidak ada hal janggal atau aneh, Damian melakuka
Esoknya, setelah mengantar Damian ke sekolah dan memastikan Lavanya aman ditinggal bersama Mbak Lala, Kaluna mulai membongkar seluruh laci meja kerjanya dan meneliti setiap sudut rak buku maupun rak penyimpanan lainnya di kamar.Tidak hanya membongkar kamar, Kaluna juga memastikan seluruh tempat penyimpanan barang di studio lukisnya ia teliti. Laci-laci yang sebelumnya tidak pernah ia perhatikan benar-benar, kini ia amati isinya satu-persatu.Buku-buku catatan, buku-buku bacaan, bahkan sampai tumpukan buku sketsa yang jumlahnya puluhan Kaluna periksa satu demi satu. Ia tidak akan melewatkan satu detail pun terkait perlakuan Liliana pada kedua keponakannya selama ini.Hampir lima jam berkutat di kamar dan studio lukis, sampai melewatkan makan siangnya, usaha Kaluna cukup membuahkan hasil. Karena tidak sempat menjemput Damian, ia juga akhirnya meminta Mbak Mara untuk pergi bersama Pak Rudi untuk menjemput anak itu.Kaluna berhasil menemukan satu buku catatan kecil berisi rincian kejadia
Setelah penemuan 'luar biasa' Kaluna tempo hari, ia memutuskan untuk fokus memulihkan kondisi mental Damian dan Lavanya terlebih dulu. Urusan Liliana akan ia pikirkan lebih lanjut nanti, saat Kaluna sudah punya cukup bukti untuk menuntut gadis itu.Ya, Kaluna memutuskan untuk membawa seluruh tindakan Liliana yang telah dilakukan kepada kedua keponakannya ke jalur hukum. Sepertinya itu juga yang diinginkan Kaluna dulu, hanya saja ia lebih dulu pergi menyusul sang kakak tercinta dan menyerahkan sisanya pada Kaluna saat ini.Tadi pagi ia sudah sempat bertemu dengan Bu Asma, psikolog anak yang ia pilih untuk menangani masalah psikis Damian dan Lavanya dari klinik psikologi Lapsycare. Di pertemuan pertama tadi Kaluna memang memutuskan untuk datang sendiri terlebih dahulu.Kaluna menjelaskan tentang kondisi Damian dan Lavanya, menceritakan secara detail tentang perilaku yang selama ini diterima oleh mereka. Ia memastikan untuk menyampaikan semuanya dan tidak melewatkan detail sekecil apapun
Kaluna diam-diam mengirim pesan pada Sarah untuk datang ke taman samping rumah dan membawa Damian juga Lavanya pergi ke kamar masing-masing. Tidak sampai tiga menit Sarah datang dari arah dalam rumah.Asisten Kaluna itu menyenggol bahu Liliana yang masih berdiri di ambang pintu teras cukup keras. Tubuh Liliana yang tidak siap sedikit tersentak maju.Sarah hanya memberikan lirikan datar pada wajah tak terima Liliana dan melanjutkan jalan menghampiri nyonyanya."Abang sama Adek istirahat dulu, ya. Tidur dulu bentar, tadi Abang pulang langsung main, kan," Kaluna memberi pengertian saat Sarah berdiri di sisinya.Damian dan Lavanya menurut tanpa merengek sedikit pun. Keduanya meraih tangan Sarah dan pergi dari area taman.Saat melewati Liliana, Sarah tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada gadis tersebut untuk menyapa tuan muda dan nonanya.Liliana menggeram sambil meremas kencang rok plisket yang ia kenakan. Berani sekali pelayan rendahan macam Sarah mengacuhkan dirinya dan bertindak
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb