“Sial!” umpat Andini setiba di rumahnya. Umpatan itu spontan membuat putri kecilnya menangis ketakutan. Gadis yang menjadi asisten rumahnya segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, ia mulai tahu karakter tuannya.Martin yang segera menutup pintu dan meraih tubuh wanitanya. Ia tahu Andini merasa kesal, tapi bagaimanapun ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. “Dengarkan aku!” teriak Martin dengan kesal, “aku sudah banyak mengeluarkan uang, waktu dan tenaga untuk membuatmu berada di titik ini. Tapi kamu sama sekali nggak bisa improve performance kamu. Lalu … kamu mau lampiaskan kesalahan kamu ke aku? Apa otak kamu udah geser?”“Martin! Aku udah kasih semua kemampuan aku,” sahut Andini tak mau kalah, “kamu aja yang malas. Harusnya tuh, kamu cari cara buat nge lobi juri biar mereka menangin aku. Atau jangan-jangan amplop itu nggak pernah sampe ke mereka!” Martin mengangkat tangan kanannya. Ia mulai muak
“Om jangan, Om,” tolak Silvia saat dirasakannya belaian sepasang tangan Martin. Satu tangan menyelinap masuk ke balik kaos longgarnya, sementara tangan lainnya masih membelai paha bagian dalamnya. Perasaannya tak menentu antara rasa gelisah, takut dan cemas. Ia tak ingin mengkhianati tante Andini yang telah mengijinkannya tinggal, bahkan memberikan pekerjaan mengurus Intan, dengan mengacau keluarganya.“Anggap saja malam ini, kamu lagi gantiin tante kamu urus Om.”“Via nggak bisa Om. Nanti tante marah.”“Urusan Andini, biar Om yang selesaikan,” rayu Martin, “sekarang Om mau gantian pijit kamu. Om mau tunjukin kalau pijatan Om bisa bikin kamu ketagihan.”Tubuh Silvia menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa. Martin membelai wajah gadis itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir Silvia. Karena tak mendapatkan perlawanan dari gadis itu, Martin pun merasa seperti berada di atas angin. Silvia mulai terbuai. Gadis yang muda yang memang sedang mencari jati diri
“Tapi nggak ada salahnya juga jika kita meletakkan nama Andini sebagai artis pengganti,” ucap Syerly, “tidak ada yang tahu apa yang bakalan terjadi, bukan? Bagaimana jika tiba-tiba Vina sakit?” Andini tersenyum senang saat mendengar pemilik agensinya merekomendasikan dirinya pada Regantara, lelaki paling berkuasa kedua setelah sang gubernur di kota itu. Ia tahu hampir semua acara pemilik Adiguna Regantara Group adalah even megah yang dihadiri oleh para pembesar negeri ini. Sebuah kesempatan langka untuk membranding diri di hadapan para taipan yang bahkan semua orang nantikan. Itulah sebabnya, ia berani mengambil resiko untuk mendapatkan job ini dengan segala cara. “Sebenarnya … aku yakin, itu tidak perlu. Tapi ….” Lelaki itu tersenyum pada wanita berparas anggun itu, “kamu atur saja bagaimana baiknya.” “Tentu saja, aku tidak mungkin akan membuatmu menyesal.” Syerly menarik sudut bibirnya, mengulas sebuah senyuman. Andini cepat-cepat menyelinap pergi. Ia tidak ingin ketahuan
Malam sudah larut saat Regantara pulang. Rasa penat di seluruh tubuh, tak terasa karena ia telah berhasil membujuk Tasya untuk kembali ke Jerman. Hanya satu yang ingin dilakukannya saat ini, bertemu dan menatap wajah kekasih yang seharian ini tak dijumpainya. Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Sepi seolah tak ada penghuni. Mungkin saja Vania sedang berada di kamarnya sendiri atau sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja karena sekarang Vania bukan cuma bekerja sebagai sekretarisnya.Siluet indah terlukis di kaca es kamar mandi, menjelaskan keberadaan perempuan yang telah dinikahinya seminggu ini. Perempuan yang membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya itu, membuatnya tak dapat berhenti memikirkannya.Vania hampir saja menyudahi acara mandinya. Ia telah membilas bersih tubuhnya dari sabun ketika ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Dari sentuhan dan kecupan yang mendarat di punggungnya, Vania langsung dapat mengenali suaminya. “Kamu kemana saja hari ini?” tan
Pagi itu terasa sangat berbeda saat Vania datang ke kantornya. Ia merasa semua orang menatapnya penuh kebencian. Bahkan sepanjang hari, emosinya seakan sengaja dijatuhkan habis dengan tatapan yang tak dapat dipahami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. “Aku nggak bisa ngerti, Ren. Mereka melihatku seperti sampah yang menjijikkan,” keluh Vania saat jam makan siang berlangsung. Perempuan berbadan montok itu menepuk nepuk punggung Vania, seperti memintanya untuk tetap bersabar. “Udah, yang penting kamu nggak ada merugikan mereka. Biarin aja gosip itu bakal hilang dengan sendirinya.” “A– apa? Gosip?” Ulang Vania seolah tak bisa mendengar dengan jelas perkataan Renita, “gosip apa?”“Euh … itu. Mereka mempunyai sebuah grup chat. Grup tempat mereka berkicau tentang semuanya,” tutur Renita. Gadis itu seakan kehilangan nafsu makannya setelah merasa kebablasan menceritakan grup yang bahkan kerap membulinya, “grup yang menyebalkan.”Tak perlu menunggu lebih lama, sekelompok wanita duduk
Vania menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Ia merasakan suara detak yang teratur dan begitu menenangkan. Dada bidangnya bahkan masih terasa naik turun saat oksigen masuk dan memompa paru-parunya. Regantara membelai punggung polos istrinya dengan lembut. Ia tahu semua keresahan yang ada di dalam hati perempuan di sisinya. “Baiklah, aku harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya,” ucap Vania dengan perasaan yang lebih lega. “Seharusnya kita tidak menyembunyikan pernikahan kita, sehingga semua masalah ini tidak perlu terjadi,” sahut Regantara, “dengan begitu, mereka tak akan pernah berani mengatai istriku, bahkan mereka akan berlaku manis di hadapanmu.”“Iya, aku tahu. Tapi … dengan begitu aku tidak akan bisa menikmati pembalasan yang aku inginkan, karena kamu yang melakukannya untukku.” Vania mendongakkan kepalanya, menatap suaminya yang masih terlihat kelelahan akibat aktivitas yang baru saja mereka lakukan. “Syerly hendak memasang nama Andini sebagai cadangan untuk m
“Tidak akan terjadi apa-apa,” sahut Vania dengan seulas senyuman tipisnya, “dan aku yakin dia tak akan kamu pakai dalam acara itu.” Brak! Pintu di belakang Vania terbuka dengan keras, saking kerasnya pintu itu menabrak tembok di belakangnya. “Aku harap kamu menarik kata-katamu sekarang juga!” Seru Andini dengan wajah kesalnya. “Aku sama sekali tidak berminat untuk tampil sebagai artis cadangan dalam acara itu.”“Dan kamu, Vina. Awalnya aku rasa bisa berteman denganmu. Tapi ….” Andini menggelengkan kepalanya. “keparat kamu … punya dendam apa kamu sama aku, huh!” Andini melotot dengan kedua tangan bertolak di pinggangnya.Vania berdiri dari kursinya. Dengan ketenangan sikapnya ia melipat kedua tangannya di dada. “Nggak ada, aku hanya menyayangkan, seorang artis berbakat seperti kamu, kenapa harus hanya menjadi cadangan dalam even besar seperti ini. Sayang sekali bukan?” Syerly menatap kawannya, ia terkejut mendengar kalimat yang terdengar seakan memprovokasi Andini itu. Tapi ia tak
“Siapa yang berani masuk ke dalam tanpa izinku,” tutur Regantara.Lelaki itu kembali menikmati tubuh indah istrinya dengan sentuhan jemarinya. Merasakan kelembutan kulitnya yang lembab terawat dan terus menyusuri lekuk tubuh indah itu hingga ke bawah. Vania mendongak ke atas, tubuhnya sedikit terangkat saat dirasakannya jemari itu menyentuh bagian intinya, jemari itu menyusup di antara segitiga maron berbahan renda yang menutupi ceruknya. Bibirnya sedikit terbuka menyebut nama suaminya dengan suara lirihnya. Gelenyar kenikmatan dirasakannya saat jemari itu menyentuh titik sensitifnya, memancing hasratnya untuk meminta lebih. Jiwanya meronta, terbakar gairah yang menuntut pelampiasan. Gerakan sensual yang berpadu seakan sebuah tarian erotis yang begitu indah. “Vania.” Suara parau itu kembali terdengar. Lelaki itu menatap pujaannya dengan penuh hasrat. Liukan tubuh di bawah kungkungannya itu terlihat begitu sensual, membuat hasratnya semakin menggila.Dikecupnya gumpalan kenyal di