“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
Martin mengecup perut Andini, membuat tubuh wanita muda itu menggelinjang. Suara desahnya dan gerakan sensualnya memancing hasrat kaum adam. "Beb," ucapnya sembari menepis tangan lelaki yang semula bermain di dalam ceruknya. "Kenapa?" tanya Martin kebingungan karena penolakan Andini yang sangat tiba-tiba. "Kita hentikan saja. Aku nggak mau Intan anak kita harus menderita karena orang tua seperti kita." "Beb." Martin mengurut keningnya. Kepalanya terasa pening karena harus menahan libidonya. "Aku pasti akan buat kalian berdua bahagia." "Buktikan! Buktikan sekarang," tuntut Anjani, "putri kecil kita butuh banyak uang. Tapi ... kamu bahkan hanya mengandalkan uangku." Mendengar kalimat itu, membuat darah Martin mendidih. Ia bergegas pulang ke rumahnya. “Vania! Vania!” Martin berteriak sangat kencang disusul dengan suara debum pintu yang terbanting ke dinding. “Kamu ini budek apa tuli? Mana kunci motornya?” teriak laki-laki itu. Sepasang matanya melotot menatap perempuan yang
Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan. Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan. Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya. Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh
Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini. Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya semin
Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatny
“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V
Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan