Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan.
Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan. Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya. Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh itu dulu ia percaya akan bujuk rayunya sampai mengira Martin akan berjuang mencari pekerjaan hanya untuk menafkahinya. “Auuh …” teriak Vania. Ia kembali sadar dari lamunannya, ketika dahinya yang terluka itu membentur sesuatu yang keras. Napasnya hampir saja berhenti saat mengetahui siapa pemilik punggung yang sangat keras, yang tanpa sengaja ditabraknya. “Pak Rega!” batinnya. Vania merasa ingin ngumpet seketika. Ia tidak ingin dipecat begitu saja sebelum membuktikan kinerjanya pada satu-satunya pewaris Adiguna Regantara Group. Dan apa jadinya rumah tangganya, jika Regantara juga mengubah nasibnya menjadi seorang pengangguran. Vania tidak mau membebankan semua pengeluaran rumah tangganya pada ibunya yang hanya mempunyai bisnis kuliner kecil-kecilan itu. Ia berharap tubuhnya mengecil, hingga lelaki yang berdiri di hadapannya itu tak bisa melihatnya dengan mata telanjang. Ia berharap mempunyai sebuah payung yang bisa membuatnya tak terlihat oleh lelaki di hadapannya. “M–maaf Pak,” ucap Vania dengan gugup. Beberapa kali ia membungkukkan badannya. “Maaf Pak. Maaf.” Regantara Handoro, lelaki yang semula merasa kesal karena harus menghadapi omelan ibunya di rumah, hampir saja meluapkan amarahnya pada Vania. Tapi melihat gerak-gerik perempuan di dekatnya yang menggemaskan, mau tak mau ia menahan tawanya. Masih dengan gaya cueknya, lelaki itu masuk ke dalam lift. Lelaki itu berbalik. Dan sebelum pintu lift tertutup, ia membaca name tag yang menggantung di leher perempuan cantik itu. “Vania Larasati.” Tidak ada seorangpun karyawan Adiguna Regantara Group yang berani menggunakan lift, ketika sosok yang terlihat angkuh itu masuk ke dalamnya. Begitu pula dengan Vania. Ia masih membungkuk dan berharap pintu lift segera tertutup agar ia bisa terbebas dari rasa bersalahnya. Namun pintu itu tak juga tertutup. Bahkan telinganya mendengar suara lelaki itu, seperti menyebut namanya. “Mampus!” batinnya. Dengan perasaan was was, ia mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang tubuhnya jauh lebih jangkung darinya itu. “Kamu nggak naik?” tanya Rega sementara satu tangannya menahan pintu lift agar tetap terbuka. Vania benar-benar tak menyangka bahwa seorang Regantara akan memintanya untuk berada di dalam satu ruangan sekecil itu dengannya. Rasanya seperti sebuah keajaiban. Tidak … tidak, mungkin saja ini adalah sebuah jebakan agar ia mempunyai lebih banyak alasan untuk memecat Vania. Lelaki itu terlihat mulai tak sabar. Ia menatap arlojinya. “Vania Larasati. Aku tahu, kamu sekertaris yang direkomendasikan Agus sebagai pengganti Arumi. Dan ini adalah hari pertamamu bekerja sebagai sekertarisku." “Salah satu hal yang paling aku benci adalah menunggu. Kuberi kamu waktu lima menit untuk menemuiku di ruanganku," lanjutnya. Rega melepaskan tangannya yang menghalangi pintu lift, membuat pintu itu menutup dengan sendirinya di hadapan Vania. Kalimat Rega membuat wajah Vania memucat. Bagaimana ia bisa sampai ke lantai lima gedung ini dalam waktu lima menit tanpa lift? Laki-laki itu benar-benar gila! Hanya satu yang terpikirkan oleh Vania, tangga! Spontan dilepasnya sepasang sepatu tingginya dan mulai berlari menuju ruang darurat. “Ish! Dia benar-benar psikopat! Pantas saja tidak ada seorangpun yang bisa bertahan menghadapi sikapnya,” makinya di antara napasnya yang terengah, “nggak bakal heran, meski dia kaya pasti nggak ada seorang perempuan pun yang mau jadi pacarnya, apalagi istrinya. Bisa mati berdiri dia!” Sesaat ia menghentikan langkahnya dan kembali mengatur napas. “Lima menit! Kenapa aku benar-benar sesial ini,” gumamnya sembari kembali melangkahkan sepasang kakinya menaiki tangga hingga ke lantai kelima gedung itu. Vania mengatur napasnya yang berantakan. Ia memang hampir tak pernah berolahraga semenjak mendapatkan pekerjaan di perusahaan ini. Waktunya habis karena pekerjaan yang tiada habisnya. Mulai dari mengurus agenda atasannya hingga kewajibannya mengikuti beberapa rapat. Bahkan setelah pulang pun, ia masih harus menyibukkan diri dengan drama lain di dalam rumahnya. “Van, kamu udah ditunggu Pak Rega,” sambut Anin dengan tatapan anehnya, “buruan. Kamu nggak mau kan, jadi pemecah rekor jadi sekretaris Pak Rega sehari doang?” “Euh, i–iya,” sahut Vania cepat. Ia segera mengetuk ruangan dengan pintu berkonsep kupu tarung itu dan segera masuk ke dalamnya. “Se–selamat pagi, Pak. S–saya belum terlambat, kan?” tanyanya dengan canggung sembari melirik jam di pergelangan tangannya. Regantara melirik arlojinya lalu ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan berwajah pucat di depannya. Vania merasa tak nyaman saat tatapan pimpinan barunya itu mengarah padanya. Seolah menelanjanginya dari atas hingga bagian kakinya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan perasaan frustasi. “Apa yang dicarinya? Apa dia memperlakukan semua sekretarisnya seperti ini? Ah … aku nggak nyangka, ternyata Regantara Handoro cuma seorang pria mesum seperti ini,” batinnya. Rega menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya yang terlihat sangat nyaman. “Aku nggak nyangka Agus akan merekomendasikan seorang sekretaris seperti kamu. Selama ini tidak pernah ada orang yang masuk ke dalam ruangan kerjaku dengan bertelanjang kaki.” Sekali lagi kalimat Vania tersentak oleh perkataan Rega. Sepasang matanya langsung mengarah ke bawah, tepat ke arah sepasang kakinya. Ia dapat melihat ibu jari dan jemari lainnya berbaris dengan rapi seperti mengejek kebodohannya. “M–maaf Pak, maafkan saya.” Untuk yang kedua kalinya, hari ini ia harus mengucapkan permintaan maaf. Bahkan kepada orang yang sama. Benar-benar hari yang sial. Spontan ia memakai kembali sepatu tingginya. Roknya yang sempit, membuatnya terhuyung hanya karena memakai sepasang sepatu itu. Dan satu hal yang tak diketahuinya adalah bahwa Regantara Handoro setengah mati menahan tawanya melihat kecanggungan sekretaris barunya. Lelaki itu menautkan sepasang tangannya di atas meja, hanya untuk menutupi tawanya yang hampir meledak. Unik! Hanya satu kata itu yang ada benak Regantara. “Cuci kakimu dan jangan kembali sebelum kamu merapikan penampilanmu!” Perintah Rega tanpa mengedipkan matanya sama sekali. Ia benar-benar menahan diri agar Vania tidak dapat menebak pikirannya, seperti apa yang dilakukan pada sekretaris-sekretarisnya yang terdahulu. Ditatapnya perempuan itu hingga benar-benar lenyap dari pandangannya. “Aku belum pernah bertemu perempuan seunik dia,” gumamnya. Senyuman lebar terbit di bibir lelaki itu. “Vania Larasati. Aku harap kamu nggak seperti perempuan-perempuan lain yang kukenal.”Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini. Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya semin
Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatny
“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V
Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali
“Rega, mama dengar kamu sudah punya calon istri? Kapan kamu kenalkan calon istrimu sama mama?” cicit perempuan dalam telepon Regantara, “kamu sengaja, ya, bikin mama kamu ini kepikiran.” “Iya Ma, secepatnya.” Sial! Rendi pasti udah ngoceh sembarangan sama mama dan sengaja buat cerita yang nggak benar. “Ya udah, besok malam ajak calon istri kamu ketemu papa dan mama, atau Regantara Group akan diambil alih oleh Ben, karena dia akan menikahi putri Gubernur bulan depan," putus Amalia tanpa mau mendengar alasan putra tirinya itu lagi. Regantara meletakkan ponselnya dengan sebuah helaan napas yang berat. Sesaat ia mengernyitkan keningnya, "apa papa yang memintanya mendesakku untuk menikah? Aku tak akan membiarkan Beniqno mengambil alih harta keluargaku." Tapi ... bagaimana ia harus mencari seorang calon istri hanya dalam semalam! Ini benar-benar diluar bayangannya. Seandainya saja Rendi ada di depannya, mungkin saat ini bukan bola kertas lagi yang dilemparkannya, tapi sebuah bogem men