Share

Gara-Gara Sebuah Luka

Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. 

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.

Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. 

“Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”

Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. 

Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatnya di tempat itu, hanya bisa duduk di samping Vania dalam diam. Perlahan ia membuka kotak bekalnya dan menyodorkan sandwich yang ada di dalamnya. 

“Aku nggak tahu apa yang kamu alami. Tapi … biasanya makanan bisa sedikit memperbaiki perasaan kita,” ucapnya.

Vania melirik gadis dengan tubuh bulat di sisinya. Gadis itu tersenyum lebar, saking lebarnya pipinya menyembunyikan sepasang bola matanya. 

Sebenarnya Vania ingin menolak ketika melihat bekal teman barunya yang tak banyak itu. Tapi ia tak tega. Diambilnya roti dengan isian daging asap, telur dan sayuran itu, lalu mulai memakannya sambil menangis. 

“Namaku Renita. Kamu pasti sekretaris barunya Pak Rega,” tebaknya. 

Vania menganggukkan kepalanya. Disekanya air mata yang meluncur turun di pipinya. 

“Pak Rega itu seperti robot. Dia nggak punya hati, deh kayaknya,” hibur Renita, “saran aku, kamu lakukan aja pekerjaan kamu dengan baik. Jadi diri kamu apa adanya. Dan nggak usah dengerin apa kata orang lain.” 

Renita tersenyum melihat kawan barunya melahap roti buatannya. Ia baru menyadari ada luka yang cukup besar di kening kiri Vania. 

“Itu kenapa kening kamu kok berdarah? Apa Pak Rega juga mukul kamu?” tanya Renita. Ia menunjuk kening kiri Vania yang masih terlihat basah. 

“Bukan,” sahut Vania. “Aku … “

“Astaga! Dia mukul kamu sampai seperti itu?” Renita memperlihatkan kengerian di wajahnya. 

Vania langsung merasa tak nyaman. Ia tidak mungkin menceritakan masalah pribadinya pada seseorang yang baru dikenalnya, walau perasaannya mengatakan jika perhatian yang diberikan Renita tulus kepadanya.

Ia tak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya suaminyalah yang membuatnya terluka. Bahkan mereka kerap bertengkar dan Martin, suaminya, suka bertindak kasar. 

“Nggak, ini karena aku kejedot pintu kok,” elak Vania. Ia menarik sudut bibirnya, memaksakan diri untuk menampilkan seulas senyuman.

Saking asyiknya mereka bercakap, tak ada yang menyadari jika Regantara Handoro mendengarkan semua percakapan mereka. 

“Luka? Apa punggungku sekeras itu?” batinnya. 

Lelaki itu mengerutkan keningnya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Vania. Sesuatu yang membuatnya penasaran. 

Perlahan lelaki itu menyelinap keluar dari ruangan dimana hanya terdapat tangga yang menghubungkan tiap lantai gedungnya. Ia ingin memuaskan rasa penasarannya tentang identitas Vania. 

“Agus, aku ingin meninjau ulang CV (curriculum vitae) milik Vania.” 

“Apa ada sesuatu yang salah, Pak?” Agus terkejut mendengar permintaan pimpinannya. Tidak biasanya Regantara meninjau ulang sebuah CV. Ia lebih suka mengganti sekretarisnya jika tidak ada kecocokan. 

“Tidak,” sahut Rega cepat, “cuma … ada sesuatu yang ingin aku ketahui tentang Vania.”

“Tentang apa Pak? Mungkin saya bisa bantu?” tawar Agus cepat. 

Sebagai HRD perusahaan, ia merasa mengenal semua karyawannya dengan baik. Dan ia akan sangat senang jika bisa menunjukkan semua itu pada Regantara. 

Rega menghela napas panjang. Dadanya terasa sarat dengan perasaan bersalah setelah memperlakukan Vania dengan keras. Namun ia tak mungkin bertindak konyol dengan meminta Agus mencari tahu asal luka di kening Vania. 

“Berikan saja file itu padaku.” 

“Baik Pak,” sahut Agus cepat. 

Agus berasumsi bahwa perasaan atasannya sedang tidak stabil. Ia tidak ingin ambil resiko dengan membantahnya. Lebih baik menghindari Regantara Handoro saat ini. Dan satu hal yang dapat ia simpulkan bahwa semua itu karena sang sekretaris baru yang ia promosikan, Vania. 

***

Regantara mengetukkan penanya di atas meja. Keningnya berkerut melihat nama Martin Anggoro di atas daftar riwayat hidup Vania. 

Dalam usia tiga tahun pernikahan mereka, rasanya tidak mungkin akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Usia pernikahan mereka seharusnya masih hangat-hangatnya. 

Apalagi mempunyai seorang istri cantik dan polos seperti Vania. Lelaki bodoh mana yang mungkin bisa menyakitinya.

Rega memutar tangannya dan memukul punggungnya sekeras mungkin. Ia masih tak bisa mempercayai bahwa punggungnya lah yang membuat kening Vania berdarah. 

“Pak Rega, mereka sedang menunggu Anda di ruang meeting.” 

Suara Vania kali ini membuatnya terkejut. Ia menatap perempuan cantik yang berdiri di hadapannya tanpa sepatah katapun. Lidahnya terasa kelu, ia merasa seakan perempuan yang baru saja dipikirkannya itu mengetahui isi kepalanya. 

“Pak,” ulang Vania. 

Rega menelan kasar salivanya. Sepasang matanya menatap pelipis kiri Vania, tempat dimana luka yang masih basah itu berada. Perasaan bersalah kembali menghantuinya. 

“Duduk, aku perlu bicara denganmu,” perintah Rega. Ia berusaha menguasai dirinya saat perempuan itu duduk dengan anggun di hadapannya. 

Vania merasakan kecanggungan di antara mereka. Ia bahkan tidak tahu harus berkata apa selain menunggu kalimat yang keluar dari bibir atasannya itu. 

Hanya banyak hal yang kini bergelayut di dalam pikirannya. Apakah karirnya dalam perusahaan ini akan berakhir? Apakah dia tidak layak menjadi sekretaris seorang Regantara? Tapi haruskah lelaki itu mempersulitnya seperti ini bahkan di hari pertamanya bekerja? 

Regantara menatap perempuan bertubuh mungil itu. Ia dapat merasakan ketegangan di wajah perempuan di hadapannya. 

Vania menatap Rega dari sudut matanya. Ia melihat lelaki itu berdiri dan melangkah ke depan sebuah lemari. Ia meraih sebuah kotak dan membawanya keluar dari dalamnya.

Vania semakin gugup ketika lelaki itu menghampirinya dan membuka kotak tepat di hadapannya. Ia memberanikan diri menatap lelaki yang kini membiarkan pantatnya bertelekan dengan meja kerjanya. 

Ditatapnya lelaki yang menjulang di hadapannya itu dengan perasaan tak karuan. Apalagi saat melihat otot lengan bawahnya yang sengaja disingsingkan hanya untuk menuangkan botol larutan alkohol ke atas lembaran kapas. Lengan berotot itu terlihat begitu kokoh dan sexy. 

Vania merasakan perih di keningnya saat kapas itu menyentuh lukanya. Tubuhnya berjingkat, namun ia tak berani menolak. 

“Sakit?” tanya Rega singkat. 

Vania menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga ini adalah pertama kali baginya diperlakukan layaknya seorang wanita, yang bahkan suaminya sendiri tak pernah memperlakukannya seperti Rega. 

“Bagaimana bisa perempuan seperti kamu bisa mendapatkan luka seperti ini?” 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status