Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat.
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini. Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.” Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatnya di tempat itu, hanya bisa duduk di samping Vania dalam diam. Perlahan ia membuka kotak bekalnya dan menyodorkan sandwich yang ada di dalamnya. “Aku nggak tahu apa yang kamu alami. Tapi … biasanya makanan bisa sedikit memperbaiki perasaan kita,” ucapnya. Vania melirik gadis dengan tubuh bulat di sisinya. Gadis itu tersenyum lebar, saking lebarnya pipinya menyembunyikan sepasang bola matanya. Sebenarnya Vania ingin menolak ketika melihat bekal teman barunya yang tak banyak itu. Tapi ia tak tega. Diambilnya roti dengan isian daging asap, telur dan sayuran itu, lalu mulai memakannya sambil menangis. “Namaku Renita. Kamu pasti sekretaris barunya Pak Rega,” tebaknya. Vania menganggukkan kepalanya. Disekanya air mata yang meluncur turun di pipinya. “Pak Rega itu seperti robot. Dia nggak punya hati, deh kayaknya,” hibur Renita, “saran aku, kamu lakukan aja pekerjaan kamu dengan baik. Jadi diri kamu apa adanya. Dan nggak usah dengerin apa kata orang lain.” Renita tersenyum melihat kawan barunya melahap roti buatannya. Ia baru menyadari ada luka yang cukup besar di kening kiri Vania. “Itu kenapa kening kamu kok berdarah? Apa Pak Rega juga mukul kamu?” tanya Renita. Ia menunjuk kening kiri Vania yang masih terlihat basah. “Bukan,” sahut Vania. “Aku … “ “Astaga! Dia mukul kamu sampai seperti itu?” Renita memperlihatkan kengerian di wajahnya. Vania langsung merasa tak nyaman. Ia tidak mungkin menceritakan masalah pribadinya pada seseorang yang baru dikenalnya, walau perasaannya mengatakan jika perhatian yang diberikan Renita tulus kepadanya. Ia tak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya suaminyalah yang membuatnya terluka. Bahkan mereka kerap bertengkar dan Martin, suaminya, suka bertindak kasar. “Nggak, ini karena aku kejedot pintu kok,” elak Vania. Ia menarik sudut bibirnya, memaksakan diri untuk menampilkan seulas senyuman. Saking asyiknya mereka bercakap, tak ada yang menyadari jika Regantara Handoro mendengarkan semua percakapan mereka. “Luka? Apa punggungku sekeras itu?” batinnya. Lelaki itu mengerutkan keningnya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Vania. Sesuatu yang membuatnya penasaran. Perlahan lelaki itu menyelinap keluar dari ruangan dimana hanya terdapat tangga yang menghubungkan tiap lantai gedungnya. Ia ingin memuaskan rasa penasarannya tentang identitas Vania. “Agus, aku ingin meninjau ulang CV (curriculum vitae) milik Vania.” “Apa ada sesuatu yang salah, Pak?” Agus terkejut mendengar permintaan pimpinannya. Tidak biasanya Regantara meninjau ulang sebuah CV. Ia lebih suka mengganti sekretarisnya jika tidak ada kecocokan. “Tidak,” sahut Rega cepat, “cuma … ada sesuatu yang ingin aku ketahui tentang Vania.” “Tentang apa Pak? Mungkin saya bisa bantu?” tawar Agus cepat. Sebagai HRD perusahaan, ia merasa mengenal semua karyawannya dengan baik. Dan ia akan sangat senang jika bisa menunjukkan semua itu pada Regantara. Rega menghela napas panjang. Dadanya terasa sarat dengan perasaan bersalah setelah memperlakukan Vania dengan keras. Namun ia tak mungkin bertindak konyol dengan meminta Agus mencari tahu asal luka di kening Vania. “Berikan saja file itu padaku.” “Baik Pak,” sahut Agus cepat. Agus berasumsi bahwa perasaan atasannya sedang tidak stabil. Ia tidak ingin ambil resiko dengan membantahnya. Lebih baik menghindari Regantara Handoro saat ini. Dan satu hal yang dapat ia simpulkan bahwa semua itu karena sang sekretaris baru yang ia promosikan, Vania. *** Regantara mengetukkan penanya di atas meja. Keningnya berkerut melihat nama Martin Anggoro di atas daftar riwayat hidup Vania. Dalam usia tiga tahun pernikahan mereka, rasanya tidak mungkin akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Usia pernikahan mereka seharusnya masih hangat-hangatnya. Apalagi mempunyai seorang istri cantik dan polos seperti Vania. Lelaki bodoh mana yang mungkin bisa menyakitinya. Rega memutar tangannya dan memukul punggungnya sekeras mungkin. Ia masih tak bisa mempercayai bahwa punggungnya lah yang membuat kening Vania berdarah. “Pak Rega, mereka sedang menunggu Anda di ruang meeting.” Suara Vania kali ini membuatnya terkejut. Ia menatap perempuan cantik yang berdiri di hadapannya tanpa sepatah katapun. Lidahnya terasa kelu, ia merasa seakan perempuan yang baru saja dipikirkannya itu mengetahui isi kepalanya. “Pak,” ulang Vania. Rega menelan kasar salivanya. Sepasang matanya menatap pelipis kiri Vania, tempat dimana luka yang masih basah itu berada. Perasaan bersalah kembali menghantuinya. “Duduk, aku perlu bicara denganmu,” perintah Rega. Ia berusaha menguasai dirinya saat perempuan itu duduk dengan anggun di hadapannya. Vania merasakan kecanggungan di antara mereka. Ia bahkan tidak tahu harus berkata apa selain menunggu kalimat yang keluar dari bibir atasannya itu. Hanya banyak hal yang kini bergelayut di dalam pikirannya. Apakah karirnya dalam perusahaan ini akan berakhir? Apakah dia tidak layak menjadi sekretaris seorang Regantara? Tapi haruskah lelaki itu mempersulitnya seperti ini bahkan di hari pertamanya bekerja? Regantara menatap perempuan bertubuh mungil itu. Ia dapat merasakan ketegangan di wajah perempuan di hadapannya. Vania menatap Rega dari sudut matanya. Ia melihat lelaki itu berdiri dan melangkah ke depan sebuah lemari. Ia meraih sebuah kotak dan membawanya keluar dari dalamnya. Vania semakin gugup ketika lelaki itu menghampirinya dan membuka kotak tepat di hadapannya. Ia memberanikan diri menatap lelaki yang kini membiarkan pantatnya bertelekan dengan meja kerjanya. Ditatapnya lelaki yang menjulang di hadapannya itu dengan perasaan tak karuan. Apalagi saat melihat otot lengan bawahnya yang sengaja disingsingkan hanya untuk menuangkan botol larutan alkohol ke atas lembaran kapas. Lengan berotot itu terlihat begitu kokoh dan sexy. Vania merasakan perih di keningnya saat kapas itu menyentuh lukanya. Tubuhnya berjingkat, namun ia tak berani menolak. “Sakit?” tanya Rega singkat. Vania menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga ini adalah pertama kali baginya diperlakukan layaknya seorang wanita, yang bahkan suaminya sendiri tak pernah memperlakukannya seperti Rega. “Bagaimana bisa perempuan seperti kamu bisa mendapatkan luka seperti ini?”“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V
Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali
“Rega, mama dengar kamu sudah punya calon istri? Kapan kamu kenalkan calon istrimu sama mama?” cicit perempuan dalam telepon Regantara, “kamu sengaja, ya, bikin mama kamu ini kepikiran.” “Iya Ma, secepatnya.” Sial! Rendi pasti udah ngoceh sembarangan sama mama dan sengaja buat cerita yang nggak benar. “Ya udah, besok malam ajak calon istri kamu ketemu papa dan mama, atau Regantara Group akan diambil alih oleh Ben, karena dia akan menikahi putri Gubernur bulan depan," putus Amalia tanpa mau mendengar alasan putra tirinya itu lagi. Regantara meletakkan ponselnya dengan sebuah helaan napas yang berat. Sesaat ia mengernyitkan keningnya, "apa papa yang memintanya mendesakku untuk menikah? Aku tak akan membiarkan Beniqno mengambil alih harta keluargaku." Tapi ... bagaimana ia harus mencari seorang calon istri hanya dalam semalam! Ini benar-benar diluar bayangannya. Seandainya saja Rendi ada di depannya, mungkin saat ini bukan bola kertas lagi yang dilemparkannya, tapi sebuah bogem men
Regantara menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan yang masih terbalut dalam setelan blazer coklat itu tampak jelas menyembunyikan kekalutan pikirannya di wajahnya.“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal mengetahui semua kebusukan yang disimpan oleh suamimu,” ucap Regantara dengan keangkuhannya yang khas, “dia bukan lelaki baik-baik.” “Bagaimana Bapak tahu jika dia mengkhianatiku?” tanya Vania. Ia merasa heran karena Regantara bisa menebak sebelum semuanya terjadi.Tiba-tiba saja Vania merasakan kengerian melingkupinya. Bagaimana mungkin ahli waris satu-satunya perusahaan tempatnya bekerja, mengetahui kehidupannya secara detail seolah sengaja mengorek semua informasi pribadinya. Vania berusaha menepiskan kecurigaannya, untuk apa lelaki seperti Regantara mencari tahu kehidupan perempuan sepertinya. Tapi nalurinya sebagai perempuan begitu yakin mengatakan bahwa sisi mengerikan atasannya itu kembali muncul. Ia bahkan seperti paranormal, mengatakan Martin mengkhiana
Tubuh Vania terasa kaku seperti membeku. Sama sekali berbeda dengan kakinya yang terasa lemas saking takutnya, ia hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Ia sudah membayangkan betapa murkanya atasannya itu. Bahkan ia sudah membuat ulah di malam pertamanya menginap di apartemen Regantara. “Kalau mie instan yang kamu cari, aku tidak punya makanan seperti itu.” Suara Regantara terdengar begitu dekat, bahkan membuat Vania merinding. “Tapi aku bisa membuatkan sesuatu agar kamu tidak kelaparan. Jadi minggirlah dari meja dapurku.” Vania membuka matanya. Ia melihat dada lebar lelaki itu tepat di depan wajahnya, sementara Regantara terlihat sibuk mencari sesuatu dari lemari kitchen set yang menempel di dinding, di atasnya.Perlahan ia melangkah ke samping, mengikuti perintah atasannya agar menyingkir dari tempat itu. Perasaan bersalahnya semakin besar karena membuat Regantara terbangun bahkan merepotkannya dengan masalah perutnya yang memang terakhir diisinya siang tadi. Ia sangat ke
“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
“Apa yang mau Papa lakukan jika bertemu kembali dengan mama?” tanya Regantara, “aku tidak akan pernah ijinkan Papa bertemu mama jika Papa hanya ingin menyakiti hati mama lagi.”“Papa sudah dengar semuanya,” ucap lelaki tua itu. Raut wajah sendunya memperlihatkan dengan jelas penyesalannya. “Kenapa kamu tidak memberitahu papa? Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi.” “Seandainya pun aku memberitahu Papa, apa mungkin Papa akan percaya?” Sahut Regantara dengan perasaan getir, “saat itu Papa sibuk dengan selingkuhan Papa yang menuntut tinggal di rumah ini. Aku masih ingat ketika perempuan jalang itu masuk ke rumah ini bersama dua anaknya. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukan mama di belakang Papa.” Vania meremas lengan suaminya. Ia tidak suka melihat suaminya menciptakan perasaan bersalah pada pemilik tubuh renta di hadapan mereka. Seharusnya ia dapat hidup dengan damai di usia senjanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutomo menghela napas dengan berat. Sepasang matanya
“Nggak ada apa-apa. Pasti cuma mati lampu biasa. Sebentar lagi juga pasti nyala,” bisik Regantara menenangkan istrinya. Ia mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam kamar mereka. Untung saja cahaya bulan dari jendela besar apartemennya cukup berguna malam itu. “Sepertinya kita memang harus melanjutkan misi kita malam ini,” goda Regantara disambut cubitan ringan di pinggangnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Vania. “Sayang, pernikahan seperti apa yang sebenarnya kamu impikan?” tanya Regantara, “apakah itu tentang mengundang banyak orang, memakai gaun putih dengan dekorasi yang penuh bunga?” “Aku tidak mau. Bagaimana kalau pernikahan itu gagal? Aku nggak mau merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya,” sahut Vania, “jujur aku tak akan sanggup jika kegagalan yang sama kembali terulang. Mungkin aku bisa terlihat setegar ini, tapi sebenarnya hatiku —”Regantara menghentikan ucapan istrinya dengan sebuah kecupan. Ia memagut dengan penuh hasrat, menikmatinya, seakan h
Vania meletakkan beberapa foto yang didapatnya dari seorang pemegang saham. Ia tak bisa menyangkal kalau hatinya terasa sakit saat melihat lembaran foto yang memperlihatkan bahwa suaminya sedang tidur bersama gadis lain. Namun ia dituntut profesional, apalagi saat ini ia sedang melakukan tugasnya, sebagai seorang sekretaris. Ia tidak seharusnya melibatkan perasaannya. Regantara menatap foto-foto di depannya. Foto yang memperlihatkan betapa intimnya hubungannya dengan Alisha. Sesaat ia menghela napas sambil melirik tajam pada istrinya, mencari sirat kecemburuan di wajahnya nan ayu. “Tentang peristiwa ini, aku berhak untuk diam karena ini terlalu privacy dan aku tidak ingin melukai siapapun dengan pernyataanku,” ucap Regantara, “tapi aku bisa menjamin, nilai saham kita akan melesat naik di minggu berikutnya. Aku sudah menindaklanjuti pemberitaan itu dan orang-orang yang berniat buruk padaku juga sudah diamankan oleh para penegak hukum.” Kegaduhan kembali terdengar di dalam ruangan it
Tangan perempuan itu mendarat di pipi Alisha. Lebam di kulitnya yang pucat, memperlihatkan betapa keras tamparan sang ibu. “Ma!” protes gadis itu, “dia itu kakak kandungku. Apa yang harus aku lakukan kalau aku hamil? Nikahin dia? Aku nggak gila!” “Dia bukan kakak kamu. Dia bukan anak mama. Dia anak suami pertama mama. Puas kamu!” Alisha ternganga mendengar jawaban ibunya. Ia tidak menyangka bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu hatinya telah tertutup oleh ketamakannya. Ia bahkan tidak menyangkal telah berkontribusi dalam menciptakan kegaduhan itu. “Biarpun dia bukan anak mama, tapi bukan berarti mama bisa mengijinkan dia merusak masa depanku!” Protes Alisha lagi, “seharusnya mama ngelindungi Alisha, bukan malah sebaliknya, mama mendorongku ke dalam jurang yang tak berujung.”“Alisha!” Gadis itu menjauh dari ibunya. Entah kenapa ia merasa jijik dan benci pada ibunya. “Alisha! Semua ini buat kamu. Kejadian semalam adalah cara kami memberikan kartu as buat kamu untuk memeras
“Syukurlah, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Vania yang semalaman tidak bisa tidur karena menunggu suaminya pulang. Ia menatap lelaki itu dengan heran. Dari mimik wajahnya, ia bisa menebak sesuatu telah terjadi. “Kamu nggak papa kan, sayang?” tanyanya menyelidik.Regantara mengendurkan ikatan pada dasinya. Wajah dan rambutnya terlihat masih berantakan. Hal itulah yang membuat firasat Vania semakin kuat bahwa telah terjadi sesuatu semalam tadi. Vania menghampirinya, menangkup pipi suaminya dengan kedua tangannya untuk mensejajarkan pandangannya. “Hei, sayang. Apa yang terjadi? Kamu nggak papa kan?”“Dia menjebakku,” ucapnya lirih, “sepertinya aku terlalu naif, karena mengharapkan mereka berubah. Mereka tidak akan berubah. Serigala tidak akan berubah menjadi domba.” Vania melepaskan tangannya. Ia berusaha memahami kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Namun kalimat yang keluar, terlalu rumit untuk dipahaminya. “Siapa? Maksudmu …. Papa kamu? Ibu tiri kamu, atau saudara tirimu?”
Beniqno menatap tubuh molek adiknya. Adik yang lahir dari rahim yang sama dengannya walau lain ayah itu bahkan membuatnya merasa gerah. Bagaimana tidak, kebiasaan Alisha terlalu aneh baginya. Adik perempuannya itu selalu tidur hanya dengan memakai selembar celana dalam saja. Ia selalu menanggalkan semua pakaiannya dengan alasan itu lebih sehat. Tapi menurut Ben alasan itu hanyalah bullshit semata.Tapi kali ini justru hal ini menguntungkan baginya. Perlahan ia membaringkan tubuh Regantara di samping Alisha. Bukan hanya itu, ia melucuti satu demi satu pakaiannya dan melemparkannya sembarangan. Ia sudah menyelesaikan bagiannya. Tapi … ia menatap tubuh adiknya. Kain segitiga yang menutup bagian di antara kedua pahanya itu akan membuat Regantara curiga. Ia tidak boleh gagal. Perlahan ia melepaskan kain tipis itu, membiarkan surga yang didambakan para kaum adam itu terpampang nyata. Ben menelan kasar salivanya. Sebagai lelaki normal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin menikmatinya
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat