“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.”
Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. Vania terdiam. Setelah mendengar bahwa lelaki itu tidak suka dibohongi, mustahil dia akan mengatakan bahwa ia terpeleset atau terbentur, karena terbentur pun tidak akan menyebabkan luka semacam itu. Seharusnya hanya luka lebam, kan. Tapi ia tidak mungkin mengaku jika suaminya dengan sengaja mendorongnya hingga pelipisnya terbentur keras pada siku laci lemari yang masih terbuka. Tidak! Tidak baik mengumbar aib keluarganya sendiri. Seburuk apapun, Martin masih merupakan suaminya. “Aku … kepalaku tanpa sengaja membentur sesuatu yang keras,” ucap Vania, "dan aku rasa aku tidak perlu melaporkan setiap kejadian dalam hidupku pada perusahaan, Pak." Rega mengerutkan keningnya, tentu saja ia tahu ada hal yang disembunyikan oleh perempuan di hadapannya. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa penasarannya dengan memfokuskan diri kembali untuk mengobati luka itu. “Perempuan mana yang mengabaikan luka sebesar ini tanpa perawatan. Luka yang pasti akan meninggalkan bekas, apalagi di wajah,” gumamnya, “aku nggak yakin bisa memberimu kepercayaan, jika kamu nggak bisa merawat diri kamu sendiri.” Vania tetap bungkam. Ia mati-matian menahan gemuruh di dadanya. Sungguh akan sangat memalukan jika lelaki itu mendengarnya dan menganggap dia jablay. Bagaimanapun dia sudah bersuami dan harus bisa menjaga diri. Rega menutup kotak obatnya. “Tunda meeting hari ini. Ada beberapa hal lain yang harus aku siapkan lebih dulu.” Vania berdiri dari kursinya dan memohon diri. Semakin cepat ia keluar dari ruangan itu, akan semakin baik untuk kesehatan jantungnya. Rega melirik pintu yang kembali tertutup rapat. Ia tersenyum dengan perasaan lega. Namun sesaat kemudian lelaki itu mengerutkan keningnya. “Heh! Kenapa denganku? Kenapa aku begitu peduli sama dia? Bahkan dia itu cuma istri orang,” gumamnya kesal, “apa aku sudah gila?" Regantara mendecak kesal, ia kembali berusaha memfokuskan pikirannya ke dalam pekerjaan yang digelutinya. Banyak hal yang seharusnya dipikirkan olehnya, mulai dari bagaimana menarik vendor-vendor baru dan mencari banyak investor untuk pembangunan gedung baru mereka, dan masih banyak hal lainnya. Sejak muda Regantara Handoro telah dididik untuk menjalankan bisnis ayahnya, karena ia adalah satu-satunya pewaris Adiguna Regantara Group. Dan karena itu pula ia tidak mampu bersosialisasi dengan baik dengan orang lain. Bahkan ia tidak mudah akrab dengan siapapun dan tidak semua orang betah berada di dekatnya. Lelaki itu mengangkat wajahnya. Ruangan besar itu terasa begitu sunyi. Namun ia merasa begitu hangat ketika seorang perempuan cantik masuk ke dalam ruangannya. Perempuan cantik dengan tubuh semampainya itu menangis sambil melangkah mendekatinya. “Pak Rega, Anda menunda meeting hari ini. Tapi Anda mempunyai waktu untuk merawat lukaku. Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran Anda? Apa Anda merasa senang bisa mempermainkan aku?” cecar Vania. Rega menatap lembut perempuan di hadapannya. Ia berdiri dari meja kerjanya dan mendekati perempuan cantik itu. Jantungnya berpacu dengan cepat, seolah sedang berada dalam petualangan yang sangat menegangkan. Perempuan itu terlihat begitu cantik, bahkan dalam polesan tipis saat berada di bawah cahaya lampu kuning ruangan kantornya. Kulitnya terlihat berkilau keemasan. Makhluk terindah yang pernah dilihatnya. Regantara tak mampu untuk menahan diri dengan tak menyentuhnya. Diulurkan tangannya untuk menyeka air mata yang mengalir turun sekaligus merasakan betapa lembut kulit pipi perempuan cantik di hadapannya. “Kamu ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranku?” tanya Regantara. Lelaki itu mempermainkan anak rambut yang menempel di pipi Vania dan menyelipkannya di balik telinganya. Ditatapnya sepasang mata indah nan sendu itu dengan lembut penuh damba. Perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Vania. Ia melihat sepasang mata indah itu meredup dengan pasrah saat bibir mereka bertemu. Hembusan napas hangat terasa dalam setiap helaan napasnya. Ini adalah pertama kalinya bagi seorang Regantara merasakan percikan di hatinya. Merasakan bersentuhan dengan seorang perempuan yang disukainya secara langsung. Setelah cinta pertamanya yang kandas semasa putih abu-abu dulu. Lelaki itu merasakan kehidupan kembali menyapanya. Gairah yang sudah lama lenyap, kini muncul seolah terbangun dari tidur panjangnya. Dunianya yang terasa suram dan membosankan, tiba-tiba saja menjadi begitu cerah dan mendebarkan. Rega menyentuh tengkuk Vania, menarik lepas hiasan rambut yang merangkai rapi rambut panjangnya, hingga terurai dengan indahnya. Satu tangan lainnya menelusuri tulang belakang perempuan cantik itu, merasakan lekuk tubuhnya yang indah walau masih terhalang oleh selembar kain bahan yang membungkusnya. Suara desah napas dan gerak tubuhnya yang sensual, membuat Rega tak mampu meredam hasratnya. Jiwanya sebagai lelaki normal, seakan memberontak. Lelaki itu melumat bibir Vania, membuatnya takluk dengan gerakan sensual lidahnya yang dengan liar dan penuh hasrat, menjelajahi rongga mulutnya. Begitu panas. “Pak Rega.” Suara lirih perempuan itu terdengar di telinganya. “Sssht!” Rega mendesis, memberikan sebuah isyarat agar Vania menikmati semuanya. Lelaki itu memeluk tubuh mungil Vania dan meletakkannya ke atas meja kerjanya. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, Vania.” Lirih lelaki itu. “Tapi satu yang pasti sejak aku melihatmu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.” Rega merenggut kemeja Vania, membuat beberapa manik terlepas dari tempatnya. Sepasang matanya menatap sepasang benda kenyal berukuran sedang itu. Perlahan ia meraih dan meremasnya dengan penuh hasrat. Kulitnya yang begitu bersih, lembab dan begitu lembut terasa nyata di telapak tangan Rega. Tanpa ragu, Regantara menyibak rok pendek dan menarik turun kain berbentuk segitiga itu dari tempat semestinya. Ia dapat merasakan batang miliknya yang selama ini selalu tenang, kini meronta seakan menuntut sebuah pelampiasan. Lelaki itu segera membebaskannya dan bersiap menikmati keindahan di dalam ceruk kenikmatan sekretaris barunya. “Nia …. Vania,” lirihnya. Plak!Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali
“Rega, mama dengar kamu sudah punya calon istri? Kapan kamu kenalkan calon istrimu sama mama?” cicit perempuan dalam telepon Regantara, “kamu sengaja, ya, bikin mama kamu ini kepikiran.” “Iya Ma, secepatnya.” Sial! Rendi pasti udah ngoceh sembarangan sama mama dan sengaja buat cerita yang nggak benar. “Ya udah, besok malam ajak calon istri kamu ketemu papa dan mama, atau Regantara Group akan diambil alih oleh Ben, karena dia akan menikahi putri Gubernur bulan depan," putus Amalia tanpa mau mendengar alasan putra tirinya itu lagi. Regantara meletakkan ponselnya dengan sebuah helaan napas yang berat. Sesaat ia mengernyitkan keningnya, "apa papa yang memintanya mendesakku untuk menikah? Aku tak akan membiarkan Beniqno mengambil alih harta keluargaku." Tapi ... bagaimana ia harus mencari seorang calon istri hanya dalam semalam! Ini benar-benar diluar bayangannya. Seandainya saja Rendi ada di depannya, mungkin saat ini bukan bola kertas lagi yang dilemparkannya, tapi sebuah bogem men
Regantara menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan yang masih terbalut dalam setelan blazer coklat itu tampak jelas menyembunyikan kekalutan pikirannya di wajahnya.“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal mengetahui semua kebusukan yang disimpan oleh suamimu,” ucap Regantara dengan keangkuhannya yang khas, “dia bukan lelaki baik-baik.” “Bagaimana Bapak tahu jika dia mengkhianatiku?” tanya Vania. Ia merasa heran karena Regantara bisa menebak sebelum semuanya terjadi.Tiba-tiba saja Vania merasakan kengerian melingkupinya. Bagaimana mungkin ahli waris satu-satunya perusahaan tempatnya bekerja, mengetahui kehidupannya secara detail seolah sengaja mengorek semua informasi pribadinya. Vania berusaha menepiskan kecurigaannya, untuk apa lelaki seperti Regantara mencari tahu kehidupan perempuan sepertinya. Tapi nalurinya sebagai perempuan begitu yakin mengatakan bahwa sisi mengerikan atasannya itu kembali muncul. Ia bahkan seperti paranormal, mengatakan Martin mengkhiana
Tubuh Vania terasa kaku seperti membeku. Sama sekali berbeda dengan kakinya yang terasa lemas saking takutnya, ia hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Ia sudah membayangkan betapa murkanya atasannya itu. Bahkan ia sudah membuat ulah di malam pertamanya menginap di apartemen Regantara. “Kalau mie instan yang kamu cari, aku tidak punya makanan seperti itu.” Suara Regantara terdengar begitu dekat, bahkan membuat Vania merinding. “Tapi aku bisa membuatkan sesuatu agar kamu tidak kelaparan. Jadi minggirlah dari meja dapurku.” Vania membuka matanya. Ia melihat dada lebar lelaki itu tepat di depan wajahnya, sementara Regantara terlihat sibuk mencari sesuatu dari lemari kitchen set yang menempel di dinding, di atasnya.Perlahan ia melangkah ke samping, mengikuti perintah atasannya agar menyingkir dari tempat itu. Perasaan bersalahnya semakin besar karena membuat Regantara terbangun bahkan merepotkannya dengan masalah perutnya yang memang terakhir diisinya siang tadi. Ia sangat ke
Regantara berteriak saking terkejutnya saat dilihatnya wajah cantik si pemilik tubuh bagai biola spanyol itu, tiba-tiba berubah menjadi wajah seseorang yang sangat dikenalinya. Pak Agus!Bruak! Tubuh Regantara jatuh dari atas ranjangnya. Lelaki itu langsung terbangun dari tidurnya. Dinginnya lantai membuatnya segera memutuskan untuk berdiri.“Mimpi macam apa itu,” gumamnya sambil membebaskan kakinya dari belitan selimutnya, “mungkin aku sudah gila.” Umpatnya setelah menyadari bahwa ini bukan kali pertama baginya mengimpikan perempuan yang sama dalam waktu yang berdekatan, seperti terobsesi. Dan celakanya perempuan itu masih berstatus suami orang!Suasana di meja makan pagi itu sangatlah tenang. Mereka seakan enggan untuk sekedar membuka sebuah percakapan. Hanya denting peralatan makan dan piring yang terdengar saat beradu dalam ruangan itu. Regantara meraih serbet di pangkuannya dan mengusap bibirnya. Tepat saat itu, suara ponsel berdering memecah keheningan.“Regan, jangan lupa … h