Vania benar-benar tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ia tak bisa mempercayai bahwa sepanjang pernikahannya dengan Martin, ia telah diperdaya habis-habisan. Bagaimana bisa ia bertindak naif dan mempercayai apapun yang dikatakan oleh suaminya itu. Cepat-cepat ia memfoto kontak dan merekam chat percakapan Martin dengan perempuan bernama Andini itu dengan ponselnya. Ia bahkan tak tahu sejak kapan suaminya mengenal perempuan itu. Perempuan yang tersenyum manis dengan memperlihatkan seorang bayi yang sedang asyik menyusu di dadanya yang terbuka lebar.“Mas, jangan lupa nanti temani aku belanja keperluan princess kita, sekaligus beberapa perabot untuk rumah baru kita.” Kalimat itulah yang membuat Vania langsung merasa hancur. Kenapa Martin justru menghamili perempuan lain, alih-alih istrinya sendiri. Vania segera meletakkan kembali ponsel suaminya, saat melihat lelaki itu melangkah kembali menghampirinya. Tekadnya sudah bulat, ia tak mungkin melepaskan suaminya dan pelakor itu dan men
Regantara mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang. Ia berusaha mati-matian menahan agar kalimat-kalimat itu tak meluncur dari bibirnya. Sungguh, ia merasa kesal melihat sekretarisnya itu terus memikirkan Martin, suami yang tak berguna itu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara merebut hati perempuan itu. Perempuan yang bahkan membuatnya tertarik dalam pertemuan pertama mereka. “Maaf, Pak. Saya akan perbaiki sekarang.” Rasanya ingin sekali Vania menghilang dari dunia ini. Ia merasa semua orang ingin melihat kehancurannya. Seakan seluruh dunia ingin melihatnya menangis dan menyerah, hingga sengaja menimpakan semua hal buruk kepadanya. Bukan hanya tentang kehancuran pernikahannya, tetapi juga kehancuran dalam pekerjaannya.Regantara meletakkan sebuah dokumen di atas meja. Ditatapnya perempuan di hadapannya dengan tajam. Ia tahu seberapa dalam luka yang dirasakan oleh Vania saat ini. Ia tahu bahwa perempuan di depannya sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Dan … ini adal
“Kemasi beberapa pakaianmu. Kita harus menghadiri acara peresmian resort kita yang terbaru,” perintah Regantara sepulang dari pekerjaannya. “Tapi … bukankah Bapak ada janji makan malam dengan keluarga Bapak malam ini?” tanya Vania. Ia merasa heran mendengar perintah Regantara yang begitu mendadak. Matanya menatap lelaki yang melangkah menuju lemari es dan memenuhi gelasnya dengan air sejuk. “Aku sudah membatalkannya. Setidaknya mereka bisa mengerti mana yang harus aku prioritaskan,” sahutnya sembari melonggarkan dasi yang masih melingkar di lehernya.Vania merasa lega. Bagaimanapun ia masih belum siap untuk bersandiwara di hadapan keluarga Regantara. Setidaknya ia harus tahu beberapa hal tentangnya agar dapat menjawab sebuah pertanyaan sederhana sekalipun. “Baik.” Vania baru saja berbalik hendak kembali ke kamarnya ketika Regantara menyampaikan sebuah berita lainnya. “Dan satu hal lagi, aku sudah menyewa seorang pengacara untuk segera memproses perceraian kalian.”Vania menghentik
“Maksudmu?”“Aku mengatakan omong kosong itu padanya, hanya karena ingin tahu apakah dia benar-benar mencintaiku. Tapi nyatanya ….” Vania menggelengkan kepalanya. “Dia justru merasa jijik dan tidak pernah berusaha menyentuhku lagi.” Regantara mengerutkan keningnya. “Jadi bagaimana kalian bisa bertahan hidup selama tiga tahun sebagai suami istri?”“Dia pergi dan pulang ke rumah sesuka hatinya. Aku disibukkan oleh pekerjaanku. Dan … hubungan kami semakin jauh,” sahut Vania, “tapi dia tak pernah menyebut kata cerai sekalipun. Walaupun ia selalu memperlakukan aku dengan kasar. Yaah … kami lebih seperti tinggal serumah, tapi hanya sebagai formalitas.”“Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kamu tetap bertahan selama bertahun-tahun?” “Itu karena … aku nggak mau menyandang predikat sebagai seorang janda. Aku tahu betapa buruknya image seorang janda di mata orang-orang,” sahut Vania, “walau ibuku sudah memperingatkan aku, tapi aku begitu bodoh mempertahankan sesuatu yang tak bisa dipertahankan se
Vania benar-benar tak percaya jika Regantara berhasil mendaftarkan perceraiannya hingga surat resmi berhasil diterbitkan. Tapi bagaimanapun juga ia sangat bersyukur atas segala kemudahan yang diterimanya. Karena itulah, Vania berniat untuk memberikan sesuatu sebagai balasannya. Namun Regantara sudah memiliki semuanya. Lelaki itu seakan tak membutuhkan apa-apa lagi.Hal itu membuat Vania merasa sangat risau. Dalam satu sisi, ia tidak ingin berhutang terlalu banyak, karena Regantara bahkan sudah menyediakan tempat tinggal yang layak untuknya. Tapi di sisi lain, ia tak tahu apa yang bisa diberikannya. Tiba-tiba ia teringat pada sebuah file kertas kerja yang diberikannya pada atasannya itu sebelum mereka berangkat ke acara peresmian resort. Ia menyadari sebuah kesalahan yang sudah dilakukannya. Vania mengetuk pintu kamar yang berada tak jauh dari kamarnya. Namun ia tak mendengar jawaban. Dengan sedikit keraguan, diputarnya kenop pintu untuk melihat ke dalam. Kosong! Tak ada siapapun d
“Aku mengatakan padanya bahwa aku sudah menikahimu,” sahut Regantara tanpa rasa bersalah.Suara denting benda logam terdengar saat pisau dan garpu membentur lantai saat kedua benda itu lolos dari pegangan tangan Vania. Ia benar-benar terkejut mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Sepasang matanya membulat dengan bibir menganga. Sesaat kemudian Vania sudah dapat mengendalikan rasa terkejutnya. Ia tertawa karena yakin bahwa atasannya sedang mengajaknya bercanda. Ya … tentu saja mustahil Regantara mau menikah dengan perempuan yang pernah menikah seperti Vania. Dia hanya seorang janda. Ia tahu betapa buruknya status seorang janda cerai di mata masyarakat.Dan mendapatkan cinta seorang pewaris tunggal Adiguna Regantara Group, hanyalah sebuah impian yang sangat diketahuinya, tidak akan mungkin dapat dicapainya. Regantara bagaikan bintang di langit. Terlihat dekat, namun tak dapat diraih dengan tangannya. “Astaga, Bapak bercanda? Ibu Anda pasti marah besar,” sahut Vania, menanggapi perka
Regantara menelan salivanya. Lagi-lagi ia disuguhi oleh pemandangan yang memancing hasratnya. Sebagai seorang laki-laki normal, tentu saja ia tidak bisa terus menerus menekan hasratnya. Seperti halnya malam ini, saat ia pulang dari tempat kerjanya. Ia melihat Vania tertidur di kamar tidurnya. Gaun tipis yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan sepasang kaki jenjangnya. Lekuk tubuhnya terlihat indah, bagaikan gitar spanyol yang sedang menunggu untuk dimainkan olehnya. Regantara melangkah mendekatinya, walau perlawanan terjadi di dalam batinnya. Keinginan untuk memuaskan hasratnya karena toh mereka telah sah sebagai suami istri dan ini adalah malam pertama mereka. Tapi ia tidak ingin dianggap memaksakan kehendaknya sendiri. Perlahan disentuhnya wajah ayu perempuan itu. Dimainkannya rambut yang menutupi sebagian wajah perempuan yang pulas dalam tidurnya itu.Dilihatnya perempuan itu mengerjapkan mata sebelum keduanya benar-benar terbuka. Perempuan itu tersenyum padanya sambil men
“Kamu tahu apa yang pernah menjadi impian terbesarku dulu?” bisik Vania di telinga suaminya. Digigitnya kecil cuping telinga lelaki itu sebelum beringsut memposisikan kepalanya di dada Regantara. Sentuhan kecil yang membuat Regantara merinding, seakan gelitik yang menghentak bangun kembali hasratnya. Lelaki itu mengatur napasnya yang masih tak teratur, sementara satu tangannya sibuk membelai garis punggung kekasihnya dengan lembut.“Apa?” tanyanya tanpa berusaha menebaknya. Saat ini ia tak ingin berpikir, ia hanya ingin menikmati setiap detik berharga yang dimilikinya. “Bernyanyi.”“Bernyanyi?” Ulang Regantara seolah kata itu terdengar aneh baginya. “Profesi yang kugeluti sebelum bekerja di perusahaanmu. Tapi aku menyerah, karena ibuku selalu cemas ketika aku mendapatkan job,” tutur Vania, “konyol bukan?”“Jadi … kamu mau kembali ke dunia musik,” tegas Regantara, “bagaimana kalau aku tidak setuju? Bagaimana mungkin kubiarkan istriku bernyanyi di depan semua orang?” “Ayolah, ini cu