Regantara menelan salivanya. Lagi-lagi ia disuguhi oleh pemandangan yang memancing hasratnya. Sebagai seorang laki-laki normal, tentu saja ia tidak bisa terus menerus menekan hasratnya. Seperti halnya malam ini, saat ia pulang dari tempat kerjanya. Ia melihat Vania tertidur di kamar tidurnya. Gaun tipis yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan sepasang kaki jenjangnya. Lekuk tubuhnya terlihat indah, bagaikan gitar spanyol yang sedang menunggu untuk dimainkan olehnya. Regantara melangkah mendekatinya, walau perlawanan terjadi di dalam batinnya. Keinginan untuk memuaskan hasratnya karena toh mereka telah sah sebagai suami istri dan ini adalah malam pertama mereka. Tapi ia tidak ingin dianggap memaksakan kehendaknya sendiri. Perlahan disentuhnya wajah ayu perempuan itu. Dimainkannya rambut yang menutupi sebagian wajah perempuan yang pulas dalam tidurnya itu.Dilihatnya perempuan itu mengerjapkan mata sebelum keduanya benar-benar terbuka. Perempuan itu tersenyum padanya sambil men
“Kamu tahu apa yang pernah menjadi impian terbesarku dulu?” bisik Vania di telinga suaminya. Digigitnya kecil cuping telinga lelaki itu sebelum beringsut memposisikan kepalanya di dada Regantara. Sentuhan kecil yang membuat Regantara merinding, seakan gelitik yang menghentak bangun kembali hasratnya. Lelaki itu mengatur napasnya yang masih tak teratur, sementara satu tangannya sibuk membelai garis punggung kekasihnya dengan lembut.“Apa?” tanyanya tanpa berusaha menebaknya. Saat ini ia tak ingin berpikir, ia hanya ingin menikmati setiap detik berharga yang dimilikinya. “Bernyanyi.”“Bernyanyi?” Ulang Regantara seolah kata itu terdengar aneh baginya. “Profesi yang kugeluti sebelum bekerja di perusahaanmu. Tapi aku menyerah, karena ibuku selalu cemas ketika aku mendapatkan job,” tutur Vania, “konyol bukan?”“Jadi … kamu mau kembali ke dunia musik,” tegas Regantara, “bagaimana kalau aku tidak setuju? Bagaimana mungkin kubiarkan istriku bernyanyi di depan semua orang?” “Ayolah, ini cu
Vania ingin sekali menjelaskan perasaannya. Namun bagaimanapun ia harus menghormati keputusan Regantara. Ia tahu bahwa masa lalu hanyalah masa lalu. Dan itu tak akan pernah kembali atau bahkan berubah. “Semuanya nggak penting. Karena yang paling penting, saat ini aku ada bersamamu,” ucap lelaki itu menutup perdebatan mereka. Malam bergulir begitu saja. Dan kegelapan pun terurai menjadi terang. Waktu dimana manusia mulai menyibukkan diri dengan aktivitasnya.Suara ketukan di atas lantai keramik terdengar dalam tempo yang teratur. Dengan rasa percaya dirinya, Andini memasuki studio, tempat namanya dilambungkan itu. “Audisinya dimana?” Tanyanya pada salah satu kru yang berseliweran di sekitarnya. “Di studio B,” sahut seorang gadis dengan raut wajah masa bodo nya. Andini merasa kesal. Bagaimana bisa mereka tidak peduli pada kehadirannya, seolah ia bukanlah siapa-siapa. Dia adalah Andini Soraya, sang diva yang sedang naik daun dan bahkan banyak orang sedang antri untuk menggunakan jas
Andini semakin gelisah ketika nama Vina Laura disebutkan. Perempuan itu beberapa kali menoleh menatap sekelilingnya, seolah mencari sesuatu. Sementara itu Vania segera beranjak menuju ke hadapan para juri. Raut wajahnya tegang, seakan hendak menempuh ujian terberat dalam hidupnya. Senyum yang dilontarkannya pada para juri, terlihat canggung karena wajahnya seakan membeku. “Vina, bagaimana perasaanmu setelah terpilih menjadi bintang utama dalam Festival Gemerlap Buana yang akan diselenggarakan minggu depan?” tanya sang pembawa acara.Vania memaksakan seulas senyuman. Tak bisa dipungkirinya, dia merasa bahagia. Bagaimanapun ini adalah pertama kali baginya, dan bahkan debutnya diawali dengan penampilannya di ajang semegah itu. Ini seperti mimpi. Walau ia mencurigai ada campur tangan Regantara yang tanpa diduganya muncul sebagai juri tamu hari ini.“Terima kasih saya sampaikan kepada para juri yang sudah memberikan kesempatan bagi saya,” ucap Vania,”saya akan berusaha mempergunakan kese
Vania masih mengingat kalimat yang terucap dari mulut Tasya sore tadi. Wanita yang mengaku sebagai calon istri Regantara itu jelas adalah pilihan orang tua suaminya. Ia bahkan terlihat lebih cantik dan menarik daripadanya. Tubuhnya yang tinggi semampai, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang hanya 158 centi saja. Ukuran normal perempuan nusantara. Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Tapi ia hanya menahannya, karena tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah istri sah Regantara. Ia tidak bisa melakukannya, bukan hanya karena tak ingin rencana yang disusunnya dengan susah payah menjadi hancur, tetapi ia juga tak ingin membuat lelaki itu malu. Dengan perasaan kacau tak menentu, ia hanya bisa berserah diri, menahan emosinya dan pulang. Hari itu jarum jam seakan bergerak dengan lambat, tak seperti biasanya. Vania masih memikirkan ucapan yang mengalir dari bibir Tasya. Ia tak bisa menutupi pergolakan dalam hatinya. Namun saat Regantara pulan
Regantara menarik lepas dasinya, melepas manik-manik kemejanya dengan tak sabar, sementara sepasang kakinya mengunci setengah tubuh Vania untuk membuatnya tetap berada di bawah kungkungannya. “Pertama,” ucap Regantara sembari menyatukan kedua tangan Vania di atas kepalanya, “aku tidak pernah menyukai seorang wanita pun selain kamu.” Lelaki itu kembali melumat bibir Vania, membuat perempuan itu kewalahan karena tak bisa bernapas. Regantara menyesakkan lidahnya, merasakan dan mengabsen satu demi satu deretan gigi di dalam rongga mulut Vania. “Kedua, kamu adalah satu-satunya alasan aku menolak perjodohan itu,” bisik Regantara di telinga kekasihnya. Hembusan napas lelaki itu mengenai leher Vania, membuat tubuhnya berjingkat sambil menelan salivanya. Napasnya mulai terengah merasakan deburan hasrat lelaki yang sedang mengungkungnya. “Ketiga, terima kasih karena kejadian ini, aku jadi tahu perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan,” lirihnya di telinga Vania, “dan yang terakhir … aku ti
“Sial!” umpat Andini setiba di rumahnya. Umpatan itu spontan membuat putri kecilnya menangis ketakutan. Gadis yang menjadi asisten rumahnya segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, ia mulai tahu karakter tuannya.Martin yang segera menutup pintu dan meraih tubuh wanitanya. Ia tahu Andini merasa kesal, tapi bagaimanapun ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. “Dengarkan aku!” teriak Martin dengan kesal, “aku sudah banyak mengeluarkan uang, waktu dan tenaga untuk membuatmu berada di titik ini. Tapi kamu sama sekali nggak bisa improve performance kamu. Lalu … kamu mau lampiaskan kesalahan kamu ke aku? Apa otak kamu udah geser?”“Martin! Aku udah kasih semua kemampuan aku,” sahut Andini tak mau kalah, “kamu aja yang malas. Harusnya tuh, kamu cari cara buat nge lobi juri biar mereka menangin aku. Atau jangan-jangan amplop itu nggak pernah sampe ke mereka!” Martin mengangkat tangan kanannya. Ia mulai muak
“Om jangan, Om,” tolak Silvia saat dirasakannya belaian sepasang tangan Martin. Satu tangan menyelinap masuk ke balik kaos longgarnya, sementara tangan lainnya masih membelai paha bagian dalamnya. Perasaannya tak menentu antara rasa gelisah, takut dan cemas. Ia tak ingin mengkhianati tante Andini yang telah mengijinkannya tinggal, bahkan memberikan pekerjaan mengurus Intan, dengan mengacau keluarganya.“Anggap saja malam ini, kamu lagi gantiin tante kamu urus Om.”“Via nggak bisa Om. Nanti tante marah.”“Urusan Andini, biar Om yang selesaikan,” rayu Martin, “sekarang Om mau gantian pijit kamu. Om mau tunjukin kalau pijatan Om bisa bikin kamu ketagihan.”Tubuh Silvia menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa. Martin membelai wajah gadis itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir Silvia. Karena tak mendapatkan perlawanan dari gadis itu, Martin pun merasa seperti berada di atas angin. Silvia mulai terbuai. Gadis yang muda yang memang sedang mencari jati diri