Vania masih mengingat kalimat yang terucap dari mulut Tasya sore tadi. Wanita yang mengaku sebagai calon istri Regantara itu jelas adalah pilihan orang tua suaminya. Ia bahkan terlihat lebih cantik dan menarik daripadanya. Tubuhnya yang tinggi semampai, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang hanya 158 centi saja. Ukuran normal perempuan nusantara. Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Tapi ia hanya menahannya, karena tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah istri sah Regantara. Ia tidak bisa melakukannya, bukan hanya karena tak ingin rencana yang disusunnya dengan susah payah menjadi hancur, tetapi ia juga tak ingin membuat lelaki itu malu. Dengan perasaan kacau tak menentu, ia hanya bisa berserah diri, menahan emosinya dan pulang. Hari itu jarum jam seakan bergerak dengan lambat, tak seperti biasanya. Vania masih memikirkan ucapan yang mengalir dari bibir Tasya. Ia tak bisa menutupi pergolakan dalam hatinya. Namun saat Regantara pulan
Regantara menarik lepas dasinya, melepas manik-manik kemejanya dengan tak sabar, sementara sepasang kakinya mengunci setengah tubuh Vania untuk membuatnya tetap berada di bawah kungkungannya. “Pertama,” ucap Regantara sembari menyatukan kedua tangan Vania di atas kepalanya, “aku tidak pernah menyukai seorang wanita pun selain kamu.” Lelaki itu kembali melumat bibir Vania, membuat perempuan itu kewalahan karena tak bisa bernapas. Regantara menyesakkan lidahnya, merasakan dan mengabsen satu demi satu deretan gigi di dalam rongga mulut Vania. “Kedua, kamu adalah satu-satunya alasan aku menolak perjodohan itu,” bisik Regantara di telinga kekasihnya. Hembusan napas lelaki itu mengenai leher Vania, membuat tubuhnya berjingkat sambil menelan salivanya. Napasnya mulai terengah merasakan deburan hasrat lelaki yang sedang mengungkungnya. “Ketiga, terima kasih karena kejadian ini, aku jadi tahu perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan,” lirihnya di telinga Vania, “dan yang terakhir … aku ti
“Sial!” umpat Andini setiba di rumahnya. Umpatan itu spontan membuat putri kecilnya menangis ketakutan. Gadis yang menjadi asisten rumahnya segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, ia mulai tahu karakter tuannya.Martin yang segera menutup pintu dan meraih tubuh wanitanya. Ia tahu Andini merasa kesal, tapi bagaimanapun ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. “Dengarkan aku!” teriak Martin dengan kesal, “aku sudah banyak mengeluarkan uang, waktu dan tenaga untuk membuatmu berada di titik ini. Tapi kamu sama sekali nggak bisa improve performance kamu. Lalu … kamu mau lampiaskan kesalahan kamu ke aku? Apa otak kamu udah geser?”“Martin! Aku udah kasih semua kemampuan aku,” sahut Andini tak mau kalah, “kamu aja yang malas. Harusnya tuh, kamu cari cara buat nge lobi juri biar mereka menangin aku. Atau jangan-jangan amplop itu nggak pernah sampe ke mereka!” Martin mengangkat tangan kanannya. Ia mulai muak
“Om jangan, Om,” tolak Silvia saat dirasakannya belaian sepasang tangan Martin. Satu tangan menyelinap masuk ke balik kaos longgarnya, sementara tangan lainnya masih membelai paha bagian dalamnya. Perasaannya tak menentu antara rasa gelisah, takut dan cemas. Ia tak ingin mengkhianati tante Andini yang telah mengijinkannya tinggal, bahkan memberikan pekerjaan mengurus Intan, dengan mengacau keluarganya.“Anggap saja malam ini, kamu lagi gantiin tante kamu urus Om.”“Via nggak bisa Om. Nanti tante marah.”“Urusan Andini, biar Om yang selesaikan,” rayu Martin, “sekarang Om mau gantian pijit kamu. Om mau tunjukin kalau pijatan Om bisa bikin kamu ketagihan.”Tubuh Silvia menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa. Martin membelai wajah gadis itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir Silvia. Karena tak mendapatkan perlawanan dari gadis itu, Martin pun merasa seperti berada di atas angin. Silvia mulai terbuai. Gadis yang muda yang memang sedang mencari jati diri
“Tapi nggak ada salahnya juga jika kita meletakkan nama Andini sebagai artis pengganti,” ucap Syerly, “tidak ada yang tahu apa yang bakalan terjadi, bukan? Bagaimana jika tiba-tiba Vina sakit?” Andini tersenyum senang saat mendengar pemilik agensinya merekomendasikan dirinya pada Regantara, lelaki paling berkuasa kedua setelah sang gubernur di kota itu. Ia tahu hampir semua acara pemilik Adiguna Regantara Group adalah even megah yang dihadiri oleh para pembesar negeri ini. Sebuah kesempatan langka untuk membranding diri di hadapan para taipan yang bahkan semua orang nantikan. Itulah sebabnya, ia berani mengambil resiko untuk mendapatkan job ini dengan segala cara. “Sebenarnya … aku yakin, itu tidak perlu. Tapi ….” Lelaki itu tersenyum pada wanita berparas anggun itu, “kamu atur saja bagaimana baiknya.” “Tentu saja, aku tidak mungkin akan membuatmu menyesal.” Syerly menarik sudut bibirnya, mengulas sebuah senyuman. Andini cepat-cepat menyelinap pergi. Ia tidak ingin ketahuan
Malam sudah larut saat Regantara pulang. Rasa penat di seluruh tubuh, tak terasa karena ia telah berhasil membujuk Tasya untuk kembali ke Jerman. Hanya satu yang ingin dilakukannya saat ini, bertemu dan menatap wajah kekasih yang seharian ini tak dijumpainya. Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Sepi seolah tak ada penghuni. Mungkin saja Vania sedang berada di kamarnya sendiri atau sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja karena sekarang Vania bukan cuma bekerja sebagai sekretarisnya.Siluet indah terlukis di kaca es kamar mandi, menjelaskan keberadaan perempuan yang telah dinikahinya seminggu ini. Perempuan yang membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya itu, membuatnya tak dapat berhenti memikirkannya.Vania hampir saja menyudahi acara mandinya. Ia telah membilas bersih tubuhnya dari sabun ketika ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Dari sentuhan dan kecupan yang mendarat di punggungnya, Vania langsung dapat mengenali suaminya. “Kamu kemana saja hari ini?” tan
Pagi itu terasa sangat berbeda saat Vania datang ke kantornya. Ia merasa semua orang menatapnya penuh kebencian. Bahkan sepanjang hari, emosinya seakan sengaja dijatuhkan habis dengan tatapan yang tak dapat dipahami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. “Aku nggak bisa ngerti, Ren. Mereka melihatku seperti sampah yang menjijikkan,” keluh Vania saat jam makan siang berlangsung. Perempuan berbadan montok itu menepuk nepuk punggung Vania, seperti memintanya untuk tetap bersabar. “Udah, yang penting kamu nggak ada merugikan mereka. Biarin aja gosip itu bakal hilang dengan sendirinya.” “A– apa? Gosip?” Ulang Vania seolah tak bisa mendengar dengan jelas perkataan Renita, “gosip apa?”“Euh … itu. Mereka mempunyai sebuah grup chat. Grup tempat mereka berkicau tentang semuanya,” tutur Renita. Gadis itu seakan kehilangan nafsu makannya setelah merasa kebablasan menceritakan grup yang bahkan kerap membulinya, “grup yang menyebalkan.”Tak perlu menunggu lebih lama, sekelompok wanita duduk
Vania menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Ia merasakan suara detak yang teratur dan begitu menenangkan. Dada bidangnya bahkan masih terasa naik turun saat oksigen masuk dan memompa paru-parunya. Regantara membelai punggung polos istrinya dengan lembut. Ia tahu semua keresahan yang ada di dalam hati perempuan di sisinya. “Baiklah, aku harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya,” ucap Vania dengan perasaan yang lebih lega. “Seharusnya kita tidak menyembunyikan pernikahan kita, sehingga semua masalah ini tidak perlu terjadi,” sahut Regantara, “dengan begitu, mereka tak akan pernah berani mengatai istriku, bahkan mereka akan berlaku manis di hadapanmu.”“Iya, aku tahu. Tapi … dengan begitu aku tidak akan bisa menikmati pembalasan yang aku inginkan, karena kamu yang melakukannya untukku.” Vania mendongakkan kepalanya, menatap suaminya yang masih terlihat kelelahan akibat aktivitas yang baru saja mereka lakukan. “Syerly hendak memasang nama Andini sebagai cadangan untuk m
“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
“Apa yang mau Papa lakukan jika bertemu kembali dengan mama?” tanya Regantara, “aku tidak akan pernah ijinkan Papa bertemu mama jika Papa hanya ingin menyakiti hati mama lagi.”“Papa sudah dengar semuanya,” ucap lelaki tua itu. Raut wajah sendunya memperlihatkan dengan jelas penyesalannya. “Kenapa kamu tidak memberitahu papa? Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi.” “Seandainya pun aku memberitahu Papa, apa mungkin Papa akan percaya?” Sahut Regantara dengan perasaan getir, “saat itu Papa sibuk dengan selingkuhan Papa yang menuntut tinggal di rumah ini. Aku masih ingat ketika perempuan jalang itu masuk ke rumah ini bersama dua anaknya. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukan mama di belakang Papa.” Vania meremas lengan suaminya. Ia tidak suka melihat suaminya menciptakan perasaan bersalah pada pemilik tubuh renta di hadapan mereka. Seharusnya ia dapat hidup dengan damai di usia senjanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutomo menghela napas dengan berat. Sepasang matanya
“Nggak ada apa-apa. Pasti cuma mati lampu biasa. Sebentar lagi juga pasti nyala,” bisik Regantara menenangkan istrinya. Ia mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam kamar mereka. Untung saja cahaya bulan dari jendela besar apartemennya cukup berguna malam itu. “Sepertinya kita memang harus melanjutkan misi kita malam ini,” goda Regantara disambut cubitan ringan di pinggangnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Vania. “Sayang, pernikahan seperti apa yang sebenarnya kamu impikan?” tanya Regantara, “apakah itu tentang mengundang banyak orang, memakai gaun putih dengan dekorasi yang penuh bunga?” “Aku tidak mau. Bagaimana kalau pernikahan itu gagal? Aku nggak mau merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya,” sahut Vania, “jujur aku tak akan sanggup jika kegagalan yang sama kembali terulang. Mungkin aku bisa terlihat setegar ini, tapi sebenarnya hatiku —”Regantara menghentikan ucapan istrinya dengan sebuah kecupan. Ia memagut dengan penuh hasrat, menikmatinya, seakan h
Vania meletakkan beberapa foto yang didapatnya dari seorang pemegang saham. Ia tak bisa menyangkal kalau hatinya terasa sakit saat melihat lembaran foto yang memperlihatkan bahwa suaminya sedang tidur bersama gadis lain. Namun ia dituntut profesional, apalagi saat ini ia sedang melakukan tugasnya, sebagai seorang sekretaris. Ia tidak seharusnya melibatkan perasaannya. Regantara menatap foto-foto di depannya. Foto yang memperlihatkan betapa intimnya hubungannya dengan Alisha. Sesaat ia menghela napas sambil melirik tajam pada istrinya, mencari sirat kecemburuan di wajahnya nan ayu. “Tentang peristiwa ini, aku berhak untuk diam karena ini terlalu privacy dan aku tidak ingin melukai siapapun dengan pernyataanku,” ucap Regantara, “tapi aku bisa menjamin, nilai saham kita akan melesat naik di minggu berikutnya. Aku sudah menindaklanjuti pemberitaan itu dan orang-orang yang berniat buruk padaku juga sudah diamankan oleh para penegak hukum.” Kegaduhan kembali terdengar di dalam ruangan it
Tangan perempuan itu mendarat di pipi Alisha. Lebam di kulitnya yang pucat, memperlihatkan betapa keras tamparan sang ibu. “Ma!” protes gadis itu, “dia itu kakak kandungku. Apa yang harus aku lakukan kalau aku hamil? Nikahin dia? Aku nggak gila!” “Dia bukan kakak kamu. Dia bukan anak mama. Dia anak suami pertama mama. Puas kamu!” Alisha ternganga mendengar jawaban ibunya. Ia tidak menyangka bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu hatinya telah tertutup oleh ketamakannya. Ia bahkan tidak menyangkal telah berkontribusi dalam menciptakan kegaduhan itu. “Biarpun dia bukan anak mama, tapi bukan berarti mama bisa mengijinkan dia merusak masa depanku!” Protes Alisha lagi, “seharusnya mama ngelindungi Alisha, bukan malah sebaliknya, mama mendorongku ke dalam jurang yang tak berujung.”“Alisha!” Gadis itu menjauh dari ibunya. Entah kenapa ia merasa jijik dan benci pada ibunya. “Alisha! Semua ini buat kamu. Kejadian semalam adalah cara kami memberikan kartu as buat kamu untuk memeras
“Syukurlah, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Vania yang semalaman tidak bisa tidur karena menunggu suaminya pulang. Ia menatap lelaki itu dengan heran. Dari mimik wajahnya, ia bisa menebak sesuatu telah terjadi. “Kamu nggak papa kan, sayang?” tanyanya menyelidik.Regantara mengendurkan ikatan pada dasinya. Wajah dan rambutnya terlihat masih berantakan. Hal itulah yang membuat firasat Vania semakin kuat bahwa telah terjadi sesuatu semalam tadi. Vania menghampirinya, menangkup pipi suaminya dengan kedua tangannya untuk mensejajarkan pandangannya. “Hei, sayang. Apa yang terjadi? Kamu nggak papa kan?”“Dia menjebakku,” ucapnya lirih, “sepertinya aku terlalu naif, karena mengharapkan mereka berubah. Mereka tidak akan berubah. Serigala tidak akan berubah menjadi domba.” Vania melepaskan tangannya. Ia berusaha memahami kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Namun kalimat yang keluar, terlalu rumit untuk dipahaminya. “Siapa? Maksudmu …. Papa kamu? Ibu tiri kamu, atau saudara tirimu?”
Beniqno menatap tubuh molek adiknya. Adik yang lahir dari rahim yang sama dengannya walau lain ayah itu bahkan membuatnya merasa gerah. Bagaimana tidak, kebiasaan Alisha terlalu aneh baginya. Adik perempuannya itu selalu tidur hanya dengan memakai selembar celana dalam saja. Ia selalu menanggalkan semua pakaiannya dengan alasan itu lebih sehat. Tapi menurut Ben alasan itu hanyalah bullshit semata.Tapi kali ini justru hal ini menguntungkan baginya. Perlahan ia membaringkan tubuh Regantara di samping Alisha. Bukan hanya itu, ia melucuti satu demi satu pakaiannya dan melemparkannya sembarangan. Ia sudah menyelesaikan bagiannya. Tapi … ia menatap tubuh adiknya. Kain segitiga yang menutup bagian di antara kedua pahanya itu akan membuat Regantara curiga. Ia tidak boleh gagal. Perlahan ia melepaskan kain tipis itu, membiarkan surga yang didambakan para kaum adam itu terpampang nyata. Ben menelan kasar salivanya. Sebagai lelaki normal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin menikmatinya
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat