Malam sudah larut saat Regantara pulang. Rasa penat di seluruh tubuh, tak terasa karena ia telah berhasil membujuk Tasya untuk kembali ke Jerman. Hanya satu yang ingin dilakukannya saat ini, bertemu dan menatap wajah kekasih yang seharian ini tak dijumpainya. Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Sepi seolah tak ada penghuni. Mungkin saja Vania sedang berada di kamarnya sendiri atau sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja karena sekarang Vania bukan cuma bekerja sebagai sekretarisnya.Siluet indah terlukis di kaca es kamar mandi, menjelaskan keberadaan perempuan yang telah dinikahinya seminggu ini. Perempuan yang membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya itu, membuatnya tak dapat berhenti memikirkannya.Vania hampir saja menyudahi acara mandinya. Ia telah membilas bersih tubuhnya dari sabun ketika ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Dari sentuhan dan kecupan yang mendarat di punggungnya, Vania langsung dapat mengenali suaminya. “Kamu kemana saja hari ini?” tan
Pagi itu terasa sangat berbeda saat Vania datang ke kantornya. Ia merasa semua orang menatapnya penuh kebencian. Bahkan sepanjang hari, emosinya seakan sengaja dijatuhkan habis dengan tatapan yang tak dapat dipahami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. “Aku nggak bisa ngerti, Ren. Mereka melihatku seperti sampah yang menjijikkan,” keluh Vania saat jam makan siang berlangsung. Perempuan berbadan montok itu menepuk nepuk punggung Vania, seperti memintanya untuk tetap bersabar. “Udah, yang penting kamu nggak ada merugikan mereka. Biarin aja gosip itu bakal hilang dengan sendirinya.” “A– apa? Gosip?” Ulang Vania seolah tak bisa mendengar dengan jelas perkataan Renita, “gosip apa?”“Euh … itu. Mereka mempunyai sebuah grup chat. Grup tempat mereka berkicau tentang semuanya,” tutur Renita. Gadis itu seakan kehilangan nafsu makannya setelah merasa kebablasan menceritakan grup yang bahkan kerap membulinya, “grup yang menyebalkan.”Tak perlu menunggu lebih lama, sekelompok wanita duduk
Vania menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Ia merasakan suara detak yang teratur dan begitu menenangkan. Dada bidangnya bahkan masih terasa naik turun saat oksigen masuk dan memompa paru-parunya. Regantara membelai punggung polos istrinya dengan lembut. Ia tahu semua keresahan yang ada di dalam hati perempuan di sisinya. “Baiklah, aku harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya,” ucap Vania dengan perasaan yang lebih lega. “Seharusnya kita tidak menyembunyikan pernikahan kita, sehingga semua masalah ini tidak perlu terjadi,” sahut Regantara, “dengan begitu, mereka tak akan pernah berani mengatai istriku, bahkan mereka akan berlaku manis di hadapanmu.”“Iya, aku tahu. Tapi … dengan begitu aku tidak akan bisa menikmati pembalasan yang aku inginkan, karena kamu yang melakukannya untukku.” Vania mendongakkan kepalanya, menatap suaminya yang masih terlihat kelelahan akibat aktivitas yang baru saja mereka lakukan. “Syerly hendak memasang nama Andini sebagai cadangan untuk m
“Tidak akan terjadi apa-apa,” sahut Vania dengan seulas senyuman tipisnya, “dan aku yakin dia tak akan kamu pakai dalam acara itu.” Brak! Pintu di belakang Vania terbuka dengan keras, saking kerasnya pintu itu menabrak tembok di belakangnya. “Aku harap kamu menarik kata-katamu sekarang juga!” Seru Andini dengan wajah kesalnya. “Aku sama sekali tidak berminat untuk tampil sebagai artis cadangan dalam acara itu.”“Dan kamu, Vina. Awalnya aku rasa bisa berteman denganmu. Tapi ….” Andini menggelengkan kepalanya. “keparat kamu … punya dendam apa kamu sama aku, huh!” Andini melotot dengan kedua tangan bertolak di pinggangnya.Vania berdiri dari kursinya. Dengan ketenangan sikapnya ia melipat kedua tangannya di dada. “Nggak ada, aku hanya menyayangkan, seorang artis berbakat seperti kamu, kenapa harus hanya menjadi cadangan dalam even besar seperti ini. Sayang sekali bukan?” Syerly menatap kawannya, ia terkejut mendengar kalimat yang terdengar seakan memprovokasi Andini itu. Tapi ia tak
“Siapa yang berani masuk ke dalam tanpa izinku,” tutur Regantara.Lelaki itu kembali menikmati tubuh indah istrinya dengan sentuhan jemarinya. Merasakan kelembutan kulitnya yang lembab terawat dan terus menyusuri lekuk tubuh indah itu hingga ke bawah. Vania mendongak ke atas, tubuhnya sedikit terangkat saat dirasakannya jemari itu menyentuh bagian intinya, jemari itu menyusup di antara segitiga maron berbahan renda yang menutupi ceruknya. Bibirnya sedikit terbuka menyebut nama suaminya dengan suara lirihnya. Gelenyar kenikmatan dirasakannya saat jemari itu menyentuh titik sensitifnya, memancing hasratnya untuk meminta lebih. Jiwanya meronta, terbakar gairah yang menuntut pelampiasan. Gerakan sensual yang berpadu seakan sebuah tarian erotis yang begitu indah. “Vania.” Suara parau itu kembali terdengar. Lelaki itu menatap pujaannya dengan penuh hasrat. Liukan tubuh di bawah kungkungannya itu terlihat begitu sensual, membuat hasratnya semakin menggila.Dikecupnya gumpalan kenyal di
“Pak Regan!” Suara itu terdengar sangat dekat, seolah Pak Agus – HRD nya, berada di dalam ruangan itu. Regantara segera bangkit dari sofa, membebaskan Vania yang ada di bawahnya. Segera disambarnya gaun istrinya untuk menutup tubuh wanita yang dicintainya. Ia menghela napas panjang untuk meredakan perasaan kesalnya. “Pak Regan.” Panggilan itu sekali lagi terdengar di dalam ruangan itu. Regantara menepuk keningnya saat menyadari jika suara itu terdengar dari pesawat telepon di mejanya. Ia ingin sekali menghancurkan benda di atas mejanya yang telah berhasil membuat jantungnya nyaris berpindah lokasi. Namun segera diurungkannya niatnya, karena ia tak ingin Vania merasa tak nyaman. “Pak Agus, bisa bantu aku?” kesal Regantara, “bawakan aku dua gelas americano dari cafe Darius langgananku. Lalu ambil pesananku di resto sushi yang ada di depannya.” “Uhm … tapi Pak, semua team finance sudah berkumpul di ruang meeting menunggu Bapak,” ucap Agus, salah satu orang kepercayaan Regantar
Martin mendekati Silvia. Gadis yang merupakan putri kakak Andini itu melangkah ke belakang. Wajahnya terlihat semakin gelisah saat lelaki itu semakin dekat kepadanya. “Sil, sebenarnya aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan kami,” ujarnya seolah dengan kalimat itu, ia bisa menenangkan hati gadis di hadapannya, “tapi aku butuh seseorang yang mau mendengarkan aku, mengerti perasaanku dan mau menerima aku apa adanya.” Martin mendaratkan tangannya di pundak gadis itu. Namun ia menghela napas kecewa karena Silvia justru tertunduk, seakan sengaja menyembunyikan kepalanya. “Tante kamu berubah. Cinta di antara kami sepertinya sudah luntur,” lanjutnya, “mungkin ini adalah ganjaran karena aku sudah mengkhianati mantan istriku.” “Om, jangan.” Silvia menghalau tangan Martin yang mulai mengusap lembut wajahnya. “Sebentar saja, Om janji … tante kamu nggak bakal tahu yang kita lakukan,” ucap Martin memaksa, “lima menit … beri aku lima menit. Dan jika kamu tidak menyukainya, kita tidak akan
“Apa yang kamu lakukan di kamar Silvia?” Sambutan Andini sontak membuat Martin gelagapan. Namun ia segera menyembunyikan rasa terkejutnya. “Nggak ada,” sahutnya dengan acuh, “cuman pinjam charger.” Andini mengerutkan keningnya, menatap lelaki di hadapannya dengan penuh kecurigaan. Namun kecurigaan itu lenyap saat melihat kabel yang menjuntai dari saku celananya. “Memang … charger kamu kenapa?” “Aku lupa kusimpan dimana,” sahutnya acuh dan langsung melalui Andini yang masih berdiri di depannya. “Beb.” Panggilan itu menghentikan langkah Martin. Lelaki itu bergeming di tempatnya dengan dada berdebar. “Kita perlu bicara.” Sesaat Martin terdiam, lalu dengan acuh ia kembali melangkah meninggalkan Andini. Melihat keacuhan lelakinya, Andini segera mengikuti langkahnya hingga masuk ke kamar mereka. Andini menghela napas dengan perasaan kesal. Ia sudah cukup mengalah sampai di titik ini. Bahkan ia kembali setelah mendapatkan tamparan dari lelaki pengangguran itu. “Ap