“Nggak ada apa-apa. Pasti cuma mati lampu biasa. Sebentar lagi juga pasti nyala,” bisik Regantara menenangkan istrinya. Ia mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam kamar mereka. Untung saja cahaya bulan dari jendela besar apartemennya cukup berguna malam itu. “Sepertinya kita memang harus melanjutkan misi kita malam ini,” goda Regantara disambut cubitan ringan di pinggangnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Vania. “Sayang, pernikahan seperti apa yang sebenarnya kamu impikan?” tanya Regantara, “apakah itu tentang mengundang banyak orang, memakai gaun putih dengan dekorasi yang penuh bunga?” “Aku tidak mau. Bagaimana kalau pernikahan itu gagal? Aku nggak mau merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya,” sahut Vania, “jujur aku tak akan sanggup jika kegagalan yang sama kembali terulang. Mungkin aku bisa terlihat setegar ini, tapi sebenarnya hatiku —”Regantara menghentikan ucapan istrinya dengan sebuah kecupan. Ia memagut dengan penuh hasrat, menikmatinya, seakan h
“Apa yang mau Papa lakukan jika bertemu kembali dengan mama?” tanya Regantara, “aku tidak akan pernah ijinkan Papa bertemu mama jika Papa hanya ingin menyakiti hati mama lagi.”“Papa sudah dengar semuanya,” ucap lelaki tua itu. Raut wajah sendunya memperlihatkan dengan jelas penyesalannya. “Kenapa kamu tidak memberitahu papa? Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi.” “Seandainya pun aku memberitahu Papa, apa mungkin Papa akan percaya?” Sahut Regantara dengan perasaan getir, “saat itu Papa sibuk dengan selingkuhan Papa yang menuntut tinggal di rumah ini. Aku masih ingat ketika perempuan jalang itu masuk ke rumah ini bersama dua anaknya. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukan mama di belakang Papa.” Vania meremas lengan suaminya. Ia tidak suka melihat suaminya menciptakan perasaan bersalah pada pemilik tubuh renta di hadapan mereka. Seharusnya ia dapat hidup dengan damai di usia senjanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutomo menghela napas dengan berat. Sepasang matanya
“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
Martin mengecup perut Andini, membuat tubuh wanita muda itu menggelinjang. Suara desahnya dan gerakan sensualnya memancing hasrat kaum adam. "Beb," ucapnya sembari menepis tangan lelaki yang semula bermain di dalam ceruknya. "Kenapa?" tanya Martin kebingungan karena penolakan Andini yang sangat tiba-tiba. "Kita hentikan saja. Aku nggak mau Intan anak kita harus menderita karena orang tua seperti kita." "Beb." Martin mengurut keningnya. Kepalanya terasa pening karena harus menahan libidonya. "Aku pasti akan buat kalian berdua bahagia." "Buktikan! Buktikan sekarang," tuntut Anjani, "putri kecil kita butuh banyak uang. Tapi ... kamu bahkan hanya mengandalkan uangku." Mendengar kalimat itu, membuat darah Martin mendidih. Ia bergegas pulang ke rumahnya. “Vania! Vania!” Martin berteriak sangat kencang disusul dengan suara debum pintu yang terbanting ke dinding. “Kamu ini budek apa tuli? Mana kunci motornya?” teriak laki-laki itu. Sepasang matanya melotot menatap perempuan yang
Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan. Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan. Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya. Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh
Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini. Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya semin
Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatny
“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V