Martin mengecup perut Andini, membuat tubuh wanita muda itu menggelinjang. Suara desahnya dan gerakan sensualnya memancing hasrat kaum adam.
"Beb," ucapnya sembari menepis tangan lelaki yang semula bermain di dalam ceruknya. "Kenapa?" tanya Martin kebingungan karena penolakan Andini yang sangat tiba-tiba. "Kita hentikan saja. Aku nggak mau Intan anak kita harus menderita karena orang tua seperti kita." "Beb." Martin mengurut keningnya. Kepalanya terasa pening karena harus menahan libidonya. "Aku pasti akan buat kalian berdua bahagia." "Buktikan! Buktikan sekarang," tuntut Anjani, "putri kecil kita butuh banyak uang. Tapi ... kamu bahkan hanya mengandalkan uangku." Mendengar kalimat itu, membuat darah Martin mendidih. Ia bergegas pulang ke rumahnya. “Vania! Vania!” Martin berteriak sangat kencang disusul dengan suara debum pintu yang terbanting ke dinding. “Kamu ini budek apa tuli? Mana kunci motornya?” teriak laki-laki itu. Sepasang matanya melotot menatap perempuan yang sedang sibuk merapikan cucian keringnya. “Mau kemana Mas, udah malem gini,” ucap istrinya dengan sabar. “Kamu ini bodohnya nggak ilang-ilang. Pertanyaanku itu, dimana kunci motornya?” ulang laki-laki itu. “Kamu letakkan dimana benda sialan itu?” “Kunci motor, biar aku yang simpan, Mas,” jawab Vania dengan sabar. Dilipat dan dielusnya helai demi helai pakaian kering itu dengan setrikanya. “Memang Mas mau kemana sih, malem-malem gini? Bukannya istirahat. Lagian ini malam jumat, teman-teman Mas, pasti nggak pada nongkrong di luar.” Lelaki itu mulai gusar. Ia menjambak rambut istrinya, membuat kepala perempuan cantik itu mendongak, menatapnya. “Kenapa? Nggak usah ikut campur urusanku!” Martin melepaskan jalinan rambut Vania di tangannya. Ia menghela tumpukan pakaian hasil setrikaan istrinya hingga semburat di lantai. “Perempuan sial!” teriaknya. “Tugasmu itu hanya menyenangkan suami. Dan kamu nggak pernah bisa bikin aku senang! Jadi nggak usah banyak bacot.” “Mas!” Vania berdiri dari kursinya. Ia menatap laki-laki yang masih dengan kalapnya mencari benda kecil itu di setiap laci dan tempat tersembunyi di kamar mereka. Hatinya seperti teriris, perih saat melihat isi laci dan lemari yang biasa ditatanya dengan rapi itu, berantakan di atas lantai. Tiba-tiba Martin terdiam. Ia menatap sebuah buku di dalam laci lemari pakaian mereka. Diraihnya buku itu bersama dengan kunci motor yang ditemukannya di dekatnya. Vania menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Melihat gelagat suaminya, pikiran buruk pun mulai menghantuinya. “Mas, buat apa kamu bawa surat-suratnya,” cicit Vania, “kembalikan, Mas. Mas cuma butuh kuncinya, kan.” “Aku butuh duit. Aku butuh uang buat modal usaha,” sahut Martin dengan cepat, “atau kamu lebih suka melihat aku jadi pengangguran? Apa kamu senang semua orang memandang rendah suami kamu yang pengangguran ini?" “Tapi Mas. Itu motorku, aku butuh dia buat kerja Mas.” Vania meraih lengan suaminya dan berusaha merebut kembali surat kendaraan itu. “Halah!” teriak Martin dengan kesal. Ia menepiskan tangan istrinya dengan kasar. “Aku kepala rumah tangga di sini. Aku berhak untuk mengatur semuanya termasuk kamu!” Saking kasarnya Martin mendorong istrinya, membuat Vania terhuyung dan menabrak pintu lemari yang masih terbuka. Darah menetes dari keningnya yang terluka. Namun Vania tak menghiraukannya. Ia kembali mendekati Martin, hendak memohon kemurahan hatinya agar membatalkan niatnya untuk menjual satu-satunya kendaraan miliknya itu. Hanya dengan kendaraan itulah, ia bisa dengan cepat dan hemat berangkat menuju kantor tempatnya bekerja. “Mas … Mas, kita bicarakan lagi soal modal itu. Tapi jangan motor itu, Mas. Tolong dengerin aku sekali ini saja.” PLAK! Tangan kanan Martin mendarat dengan sempurna di pipi Vania, membuat kulit pucatnya jadi merona kemerahan bercap tangannya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” teriak Martin sebelum benar-benar meninggalkan rumah. Vania masih tertegun mendengar ucapan suaminya. Berpisah! Lelaki itu pada akhirnya mengucapkan kata-kata yang seharusnya dihindarinya. Sepasang kakinya mulai goyah. Tubuhnya terasa begitu lelah, selelah batinnya saat ini. Tiga tahun ia menikahi Martin, tapi hidupnya bukan semakin bahagia. Lelaki yang dulunya terlihat begitu mencintainya, bahkan membuat semua orang menatap iri kepadanya itu tiba-tiba saja berubah. Ia baru menyadari bahwa Martin bukan saja pemalas. Ia sama sekali bukan suami yang baik. Martin bukan saja tidak menunaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, yang seharusnya memberinya nafkah lahir dan batin. Tetapi ia juga kerap kali melakukan kekerasan fisik seperti yang terjadi malam ini. “Astaga Nia! Apa yang terjadi?” tanya Tiwi. Sepasang matanya menatap sekeliling ruangan itu dengan wajah terkejut yang sangat kentara. “A–ada maling? R–rampoknya masih di rumah ini kah?” Perempuan setengah baya itu menghampiri putrinya yang menggelengkan kepalanya lemah sebelum mulai menangis di pelukannya. “Ibuu ….” “Ssh …. Cep – cep – cep ….” Tiwi mencoba menenangkan putrinya. Dibantunya putri semata wayangnya itu untuk duduk di atas ranjang, lalu cepat-cepat ia memberikan segelas air mineral kepadanya. “Minum dulu, Nduk. Tenangkan dirimu.” Vania meraih gelas yang diberikan oleh ibunya dan meneguk isinya hingga tandas. Perasaannya perlahan mulai tenang apalagi saat melihat tatapan teduh ibunya. “Kamu kenapa, Nduk? Bertengkar lagi sama Martin?” tebak Tiwi, tepat seperti seorang dukun. Vania tak menjawab. Ia merasa malu, apalagi ia sudah mengabaikan peringatan ibunya saat menikah dengan Martin tiga tahun yang lalu. Ia masih ingat bagaimana Tiwi tidak menyukai Martin, calon suaminya saat itu. “Dia belum punya pekerjaan tetap, Nduk. Mau makan apa kamu nanti?” Kalimat itu masih terngiang di telinganya. Dan pertanyaan itu tergenapi pada akhirnya. Selama tiga tahun pula Vania menjadi sapi perah bagi Martin. Semua pendapatannya sebagai seorang sekretaris habis tak bersisa karena ulah suaminya. “Kalau kamu nggak cerita, ibu juga nggak bisa tahu apa yang terjadi,” sambung Tiwi karena tak mendapat jawaban dari puterinya. Perempuan paruh baya itu mengoleskan salep antiseptik dengan cotton buds. “Nggak papah, kalau kamu nggak mau cerita juga ibu bisa ngerti.” Diliriknya putrinya yang mendesis menahan pedih saat lukanya tersentuh itu. Lalu ia menempelkan plester untuk melindungi lukanya. “Selesai,” ucapnya dengan lega saat benda berwarna coklat itu melekat dengan sempurna di dahi putrinya. “Vania. Kamu adalah putri ibu. Ibu nggak suka jika kamu menurunkan value kamu demi lelaki seperti Martin,” nasihat Tiwi, “kamu ingat bagaimana dulu ayahmu memperlakukan kita?” Vania menganggukkan kepalanya. Ia tidak mungkin bisa melupakan alasan perpisahan ayah dan ibunya. Ia tidak mungkin bisa melupakan saat ayahnya membawa pulang seorang wanita yang usianya tak terpaut jauh dengan usianya saat itu. Ia tak mungkin melupakan bagaimana ayahnya memperlakukan dirinya dan ibunya seperti sampah. “Jika bukan kamu yang menetapkan value dirimu, lalu siapa lagi?” Tiwi menyematkan senyumannya. Sebuah senyuman yang menyejukkan di hati putrinya yang gersang. “Ibu, maafin aku,” lirih Vania, “seharusnya aku nurut sama ibu waktu itu.” Tiwi memeluk kembali putrinya. Dibelainya punggung Vania dengan lembut. “Nggak papah. Ibu sudah maafin kamu, kok.” “Apa yang harus Nia lakukan, Bu?” Isak Vania kebingungan, ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Martin, suaminya. “Hanya kamu yang bisa memutuskan, Nia. Tapi saran ibu, kamu ajak dia bicara. Jika kamu merasa semua masih bisa diperbaiki, silahkan saja,” ujar Tiwi dengan lembut. “Tapi … gimana kalau tidak, Bu?” tanya Vania masih dengan perasaan ragu. Perempuan yang setengah rambutnya mulai memutih itu tersenyum dengan lembut. “Kamu tahu kok jawabannya.” “Tinggalkan dia.”Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan. Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan. Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya. Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh
Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini. Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya semin
Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatny
“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V
Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali