Share

Rahasia Hati

Plak! 

“Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. 

Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. 

Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!

“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. 

Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. 

“Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” 

Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” 

Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini, membuat lelaki itu merinding dan memutuskan untuk segera pulang.

Rega langsung menyambar tisu di depannya. Ia menggosok bibirnya kuat-kuat. Sungguh, memikirkan jika bibirnya menyentuh bibir tebal HRD nya, membuatnya merasa sangat jijik. 

Bagaimana bisa ia tertidur dan bahkan bermimpi bercinta dengan sekretaris barunya. Ini sangat tidak masuk di akal. Pikirannya hari ini benar-benar kacau hanya gara-gara seorang Vania Larasati. 

***

Vania turun dari taksi online yang dipesannya. Tidak biasanya, ia melihat lampu di rumahnya sudah menyala malam ini. Ia bisa menebak jika Martin suaminya berada di dalam, saat ini. 

Ia menghela napas panjang. Sungguh hari ini terasa sangat melelahkan baginya. Seandainya saja Martin mengajaknya bertengkar lagi seperti malam-malam sebelumnya, ia yakin tak akan sanggup untuk menghadapinya. 

Saat ini yang dibutuhkannya hanya makan dan istirahat yang cukup. Ia bahkan tidak tahu cobaan apalagi yang harus ditanggungnya sebagai seorang sekretaris CEO di Adiguna Regantara Group itu. 

Dibukanya pintu rumah itu dengan perasaan tertekan. Seandainya Martin hendak berulah malam ini, ia tidak akan peduli. 

Namun semua yang ada di dalam pikirannya sama sekali salah. Martin justru menyambut kedatangannya dengan senyuman lebar, seolah tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya di antara mereka. 

“Kamu sudah pulang, Nia?” Sambutnya saat Vania masuk ke dalam rumah. “Sini temani aku makan dulu. Aku sudah bungkusin nasi padang buat kamu.” 

“Tumben!” Sungguh Vania ingin sekali mengatakan kata itu. Tapi ia mengunci rapat mulutnya, karena ia sudah bertekad tidak akan terpancing ataupun meladeni jika suaminya berulah. 

“Mas tadi lewat warung nasi padang. Jadi inget kalau kamu suka banget sama nasi rendang sambal ijonya,” tutur Martin dengan manisnya. 

Vania menarik sudut bibirnya, memaksakan seulas senyuman untuk suaminya. Tentu saja setelah tiga tahun pernikahan mereka, ia tidak mungkin lagi berpikiran naif dan menganggap Martin melakukan semua ini dengan tulus. Ia tahu bahwa nasi itu juga dibeli dengan uang penjualan motornya. 

“Enak?” tanya Martin saat melihat Vania makan dengan lahapnya. 

Vania menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia akan makan dengan lahap, tak peduli jika makanan itu diracun sekalipun. Ia sudah sangat lapar setelah seharian bekerja tadi. 

“Nia, kamu tahu kan, Mas sayang sama kamu. Selama ini Mas selalu berusaha mewujudkan impian kita, membuka sebuah usaha,” cicitnya. 

Vania menganggukkan kepalanya. Sungguh ia sudah sangat hafal di luar kepala dengan semua ucapan yang bakal keluar dari bibir lelaki itu. Namun lagi-lagi ia sedang tak ingin berdebat. 

“Mas pinjam motor kamu buat modal bisnis rental game online. Kali ini Mas joinan sama teman Mas. Mas yakin kali ini modal kita nggak cuman balik, tapi bakalan dapat cuan besar dalam beberapa bulan.” 

“Mas bisa beliin kamu perhiasan, atau … atau …. Kita bangun rumah ini jadi lebih megah lagi,” lanjutnya, “kita bikin istana buat kita tinggali berdua.”

Sekali lagi Vania menganggukkan kepalanya. Ia tidak sanggup berharap bahwa Martin akan menepati janjinya. Vania sudah kebal dan bosan mendengar semua ucapan dan janji-janjinya. 

“Kamu masih marah sama Mas?”

Martin melihat Vania menggelengkan kepalanya. Tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibirnya. Ia bisa merasakan dengan jelas bahwa istrinya benar-benar marah padanya. 

“Kalau nggak marah, kenapa kamu nggak mau ngomong sama aku? Kamu udah nggak mau menghargai aku lagi?” 

Vania meringkas bungkusan nasi padang ke dalam kantong kresek dan mengikatnya. Ia berdiri dan melangkah menuju wastafel.

“Aku capek, Mas. Aku mau mandi dulu,” sahut Vania. 

Vania merasa lebih baik menjauh jika tidak ingin pertengkaran di antara mereka kembali meledak. Semua kejadian di kantornya tadi sudah cukup menguras perasaan dan energinya.

“Nia … Nia, dengarkan aku.” Martin meraih tangan istrinya, menahannya agar Vania tidak beralih dari hadapannya. “Aku melakukan semua ini demi keluarga kita. Kamu nggak suka kan, kalau suami kamu ini dipandang sebelah mata oleh tetangga-tetangga kita hanya karena pengangguran.”

Vania menghela napas. “Iya, Mas. Aku mandi dulu, ya.”

Martin melepaskan tangan Vania. Ia mendecak kesal karena perempuan itu tidak terprovokasi dengan ucapannya. Sikap yang diperlihatkan Vania terlalu datar, bahkan Martin tidak dapat melihat emosi di wajahnya. 

Martin tidak bisa membaca apakah Vania masih mempercayainya atau tidak. Biasanya Martin selalu dapat mengontrol suasana hati Vania dan memanfaatkannya. Seandainya saja Vania marah, ia akan pergi dari rumah itu seperti biasanya. Tapi kali ini ia sama sekali tak bisa memahaminya. 

Tapi satu hal yang diyakini oleh Martin, Vania sama sekali belum mengetahui rahasianya. Seandainya saja ia tahu, pasti dia tidak akan bisa melakukan aksi tutup mulut seperti yang tadi dilakukannya. Vania pasti akan marah, nangis bahkan mungkin akan teriak-teriak sampai seisi kampung mendengarkan semua kesalahan yang dilakukannya. 

“Mas,” panggil Vania setengah berteriak. 

Suara keras itu bahkan membuat Martin terkejut dan hampir melompat. Wajahnya memucat ketakutan, seperti seorang maling yang ketahuan mencuri.

Martin menoleh ke asal suara. Ia tak melihat istrinya dari sana. 

“Mas,” panggil Vania sekali lagi.

Saat itu barulah Martin tersadar bahwa suara itu berasal dari dalam kamar mandi. Tapi … untuk apa Vania memanggilnya. Apa mungkin istrinya benar-benar sudah memaafkannya dan sedang memberinya lampu hijau padanya. 

“Nia, Mas mu datang,” sahutnya dengan wajah sumringah.

Martin merasa sangat percaya diri, tentu saja Vania akan sangat merindukannya. Ia sudah begitu lama tidak memberikan nafkah bukan saja lahir, tetapi juga nafkah batin. Ia pasti sudah cukup tersiksa menjalani tahun-tahun pernikahan tanpa sentuhan seorang pria.

Seandainya saja Vania tahu, Martin enggan untuk menyentuhnya. Tapi demi kelancaran perekonomiannya, kali ini dia harus mengalah.

“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania. Perempuan cantik itu melongokkan kepalanya dari dalam bilik kamar mandi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status