Hola! Semoga novel baru ini dapat pembaca nikmati. Kisah cinta dua manusia, dimana sang wanita berjuang melepaskan diri dari toxic relationship. Dan tentu saja semuanya dikemas manis khas tulisan choco. Selamat menikmati.
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali
“Rega, mama dengar kamu sudah punya calon istri? Kapan kamu kenalkan calon istrimu sama mama?” cicit perempuan dalam telepon Regantara, “kamu sengaja, ya, bikin mama kamu ini kepikiran.” “Iya Ma, secepatnya.” Sial! Rendi pasti udah ngoceh sembarangan sama mama dan sengaja buat cerita yang nggak benar. “Ya udah, besok malam ajak calon istri kamu ketemu papa dan mama, atau Regantara Group akan diambil alih oleh Ben, karena dia akan menikahi putri Gubernur bulan depan," putus Amalia tanpa mau mendengar alasan putra tirinya itu lagi. Regantara meletakkan ponselnya dengan sebuah helaan napas yang berat. Sesaat ia mengernyitkan keningnya, "apa papa yang memintanya mendesakku untuk menikah? Aku tak akan membiarkan Beniqno mengambil alih harta keluargaku." Tapi ... bagaimana ia harus mencari seorang calon istri hanya dalam semalam! Ini benar-benar diluar bayangannya. Seandainya saja Rendi ada di depannya, mungkin saat ini bukan bola kertas lagi yang dilemparkannya, tapi sebuah bogem men
Regantara menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan yang masih terbalut dalam setelan blazer coklat itu tampak jelas menyembunyikan kekalutan pikirannya di wajahnya.“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal mengetahui semua kebusukan yang disimpan oleh suamimu,” ucap Regantara dengan keangkuhannya yang khas, “dia bukan lelaki baik-baik.” “Bagaimana Bapak tahu jika dia mengkhianatiku?” tanya Vania. Ia merasa heran karena Regantara bisa menebak sebelum semuanya terjadi.Tiba-tiba saja Vania merasakan kengerian melingkupinya. Bagaimana mungkin ahli waris satu-satunya perusahaan tempatnya bekerja, mengetahui kehidupannya secara detail seolah sengaja mengorek semua informasi pribadinya. Vania berusaha menepiskan kecurigaannya, untuk apa lelaki seperti Regantara mencari tahu kehidupan perempuan sepertinya. Tapi nalurinya sebagai perempuan begitu yakin mengatakan bahwa sisi mengerikan atasannya itu kembali muncul. Ia bahkan seperti paranormal, mengatakan Martin mengkhiana
Tubuh Vania terasa kaku seperti membeku. Sama sekali berbeda dengan kakinya yang terasa lemas saking takutnya, ia hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Ia sudah membayangkan betapa murkanya atasannya itu. Bahkan ia sudah membuat ulah di malam pertamanya menginap di apartemen Regantara. “Kalau mie instan yang kamu cari, aku tidak punya makanan seperti itu.” Suara Regantara terdengar begitu dekat, bahkan membuat Vania merinding. “Tapi aku bisa membuatkan sesuatu agar kamu tidak kelaparan. Jadi minggirlah dari meja dapurku.” Vania membuka matanya. Ia melihat dada lebar lelaki itu tepat di depan wajahnya, sementara Regantara terlihat sibuk mencari sesuatu dari lemari kitchen set yang menempel di dinding, di atasnya.Perlahan ia melangkah ke samping, mengikuti perintah atasannya agar menyingkir dari tempat itu. Perasaan bersalahnya semakin besar karena membuat Regantara terbangun bahkan merepotkannya dengan masalah perutnya yang memang terakhir diisinya siang tadi. Ia sangat ke
Regantara berteriak saking terkejutnya saat dilihatnya wajah cantik si pemilik tubuh bagai biola spanyol itu, tiba-tiba berubah menjadi wajah seseorang yang sangat dikenalinya. Pak Agus!Bruak! Tubuh Regantara jatuh dari atas ranjangnya. Lelaki itu langsung terbangun dari tidurnya. Dinginnya lantai membuatnya segera memutuskan untuk berdiri.“Mimpi macam apa itu,” gumamnya sambil membebaskan kakinya dari belitan selimutnya, “mungkin aku sudah gila.” Umpatnya setelah menyadari bahwa ini bukan kali pertama baginya mengimpikan perempuan yang sama dalam waktu yang berdekatan, seperti terobsesi. Dan celakanya perempuan itu masih berstatus suami orang!Suasana di meja makan pagi itu sangatlah tenang. Mereka seakan enggan untuk sekedar membuka sebuah percakapan. Hanya denting peralatan makan dan piring yang terdengar saat beradu dalam ruangan itu. Regantara meraih serbet di pangkuannya dan mengusap bibirnya. Tepat saat itu, suara ponsel berdering memecah keheningan.“Regan, jangan lupa … h
Vania benar-benar tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ia tak bisa mempercayai bahwa sepanjang pernikahannya dengan Martin, ia telah diperdaya habis-habisan. Bagaimana bisa ia bertindak naif dan mempercayai apapun yang dikatakan oleh suaminya itu. Cepat-cepat ia memfoto kontak dan merekam chat percakapan Martin dengan perempuan bernama Andini itu dengan ponselnya. Ia bahkan tak tahu sejak kapan suaminya mengenal perempuan itu. Perempuan yang tersenyum manis dengan memperlihatkan seorang bayi yang sedang asyik menyusu di dadanya yang terbuka lebar.“Mas, jangan lupa nanti temani aku belanja keperluan princess kita, sekaligus beberapa perabot untuk rumah baru kita.” Kalimat itulah yang membuat Vania langsung merasa hancur. Kenapa Martin justru menghamili perempuan lain, alih-alih istrinya sendiri. Vania segera meletakkan kembali ponsel suaminya, saat melihat lelaki itu melangkah kembali menghampirinya. Tekadnya sudah bulat, ia tak mungkin melepaskan suaminya dan pelakor itu dan men
Regantara mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang. Ia berusaha mati-matian menahan agar kalimat-kalimat itu tak meluncur dari bibirnya. Sungguh, ia merasa kesal melihat sekretarisnya itu terus memikirkan Martin, suami yang tak berguna itu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara merebut hati perempuan itu. Perempuan yang bahkan membuatnya tertarik dalam pertemuan pertama mereka. “Maaf, Pak. Saya akan perbaiki sekarang.” Rasanya ingin sekali Vania menghilang dari dunia ini. Ia merasa semua orang ingin melihat kehancurannya. Seakan seluruh dunia ingin melihatnya menangis dan menyerah, hingga sengaja menimpakan semua hal buruk kepadanya. Bukan hanya tentang kehancuran pernikahannya, tetapi juga kehancuran dalam pekerjaannya.Regantara meletakkan sebuah dokumen di atas meja. Ditatapnya perempuan di hadapannya dengan tajam. Ia tahu seberapa dalam luka yang dirasakan oleh Vania saat ini. Ia tahu bahwa perempuan di depannya sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Dan … ini adal