Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini.
Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya seminggu setelah pekerjaan ini ia terima. “Bagus,” ucap Regantara. Lelaki itu kini mengalihkan pandangannya dari layar monitor ke arah sang sekretaris. Sesaat ia tertegun melihat wajah ayu sang pemilik kulit pucat itu. Wajah ayu itu terlihat sedih walau sang pemiliknya menghiasnya dengan sebuah senyuman. Regantara bisa melihat kepalsuan senyuman itu untuk menutupi kesedihannya. Tapi … apakah Vania sedih karena dirinya? Apakah ia sudah keterlaluan dengan memaksanya berlarian naik ke lantai lima dengan tangga? Tiba-tiba saja matanya melihat plester yang menempel di kening perempuan itu. Mungkinkah hanya karena menabrak punggungnya, keningnya jadi terluka? Ia segera menarik napas dan mengabaikan semuanya. “Tidak, Rega!” tolaknya dalam hati, “kamu nggak boleh ganggu dia. Seunik dan secantik apapun, dia sudah menikah. Dia tak berjodoh denganmu.” Rega menumpuk beberapa lembar kertas laporan dan memberikannya pada Vania. “Aku harus mempresentasikan planning pendirian resort kita yang terbaru. Olah semua data ini sebagai peraga, agar aku lebih mudah menjelaskannya sore nanti,” perintah Rega dengan acuhnya meletakkan kertas-kertas itu di depan Vania. “Baik Pak.” Vania meraih tumpukan kertas itu dan beranjak dari hadapan Rega. Tentu saja ia harus mempelajari semuanya agar tidak salah membuat statistik seperti yang diinginkan oleh atasannya itu. Dan itu tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Ia duduk di kursi kerjanya dan mulai membaca satu demi satu lembaran itu dengan teliti. Tekadnya hanya satu, ia harus bertahan di perusahaan ini dan tidak boleh dipecat karena hanya dialah tulang punggung keluarganya. Ia tidak bisa mengandalkan suaminya. Ditambah lagi Pak Agus menjanjikan kenaikan gajinya. Hal ini cukup menggiurkan, apalagi saat ini dia harus membayar biaya kendaraan umum karena motornya sudah dirampas oleh suaminya. Tok! Tok! Suara ketukan di mejanya, membuat Vania terkejut. Ia terlalu fokus membuat statistik yang diminta oleh atasannya saat ini, untuk disajikan dalam rupa file untuk rapat sore nanti. “Iya Pak Rega,” ucapnya setelah menyadari pimpinannya telah berada di hadapannya. “Singkirkan plester itu dan ikut aku untuk acara makan siang dengan vendor,” perintahnya sembari mengarahkan telunjuknya ke keningnya sendiri, “jangan bikin aku malu.” Vania melongo. Makan siang dengan vendor? Sebenarnya ia ingin protes. Tapi lagi-lagi ia tidak ingin membuat Rega marah dan menyiksanya dengan perintah kejam lainnya. Baginya berlarian naik tangga ke lantai lima sudah cukup menyusahkan. “Baik Pak.” *** Anin mengerutkan keningnya saat melihat rekan kerjanya mematut diri dengan cermin kecil di genggamannya. Ia mendecak kesal saat mengingat perintah Pak Agus agar ia mau membantu rekan barunya. Tentu saja Anin merasa keberatan, bahkan tidak suka melakukan hal itu. Ia tidak suka melihat siapapun yang berada di sekitar Regantara Handoro, terlihat lebih cantik daripadanya. “Wajah kamu pucat. Terlalu pucat dan Pak Rega nggak suka sama riasan pucat seperti itu,” sinisnya. Vania menelengkan kepalanya. Ia menatap pantulan wajahnya lalu beralih pada rekan kerjanya, seakan mencari kebenaran atas ucapan yang baru saja didengarnya. “Aku terlihat pucat? Ah … pantas saja dia seperti uring-uringan terus seharian ini,” gumam Vania, “udah mirip perempuan PMS.” Anin tersenyum karena merasa umpannya tersambut dengan baik. Ia menyodorkan satu set perlengkapan make up yang sengaja disimpannya di dalam lacinya. Tentu saja tidak untuk dipakainya sendiri. “Pak Rega suka wanita yang terlihat segar, tegas dan dewasa,” imbuhnya kembali mempengaruhi Vania. Vania tersenyum. Tentu saja ia percaya pada Anin yang notabene telah membantu tugas para sekretaris pimpinannya itu selama bertahun-tahun. Ia meraih tangan Anin dan meremasnya penuh syukur. “Makasih ya, aku harap Pak Rega nggak uring-uringan lagi setelah ini.” Diraihnya tas berisi kosmetik set yang didapatnya dari Anin dan melenggang ke kamar mandi wanita. Ia harus bergegas, karena Regantara tidak suka kata terlambat. Cepat-cepat dipolesnya wajah pucatnya dengan kosmetik yang semua warnanya benar-benar menyala. Merah! Ia mematut kembali wajahnya di cermin dengan keheranan. “Benarkah dia menyukai warna terang?” gumamnya ragu. Kulitnya yang pucat membuat warna merah itu terlihat sangat mencolok. Bagaimana mungkin ia yang tidak terbiasa memakai warna genjreng seperti itu, akan tampil percaya diri di hadapan tamunya nanti. Nggak … nggak mungkin Vania akan keluar dengan warna semerah itu. Mungkin akan lebih baik jika ia mencampur warna miliknya dengan milik Anin. Bukankah sekarang sedang tren warna ombre. Vania tersenyum lega setelah merasa mendapatkan jalan keluar dari masalah itu. Kini sepasang matanya menatap dahi kirinya, tempat dimana plester berwarna kecoklatan itu menempel dengan tenangnya menyembunyikan jejak perselisihannya dengan suaminya. Perlahan dibukanya plester itu. Ia masih dapat melihat luka menganga di tempat yang sama. Tentu saja akan sangat berbahaya jika ia tidak menutupnya kembali. Jika Pak Rega tidak menyukai penampilannya dengan plester itu, bukankah ia bisa menyembunyikan dahinya dengan rambut depannya. Ia menata kembali rambutnya. Dengan sengaja, dilepaskannya bagian depan dan samping rambutnya untuk dimanfaatkan sebagai tirai yang menutupi keningnya. Sesaat ia menatap bayangannya sendiri di dalam cermin itu. Seandainya ingin jujur, ia sama sekali tidak menyukai warna ini. Rasanya tidak sesuai dengan karakter dan sifatnya. “Vania! Cepetan. Kamu dicari Pak Rega, tuh.” Anin yang tiba-tiba muncul, sontak membuat Vania terkejut. “I–iya. Aku segera keluar,” sahutnya. Anin yang melihat polesan make up di wajah Vania dari pantulan cermin, tersenyum puas. Kali ini ia akan menyingkirkan sekretaris terakhir yang diajukan Pak Agus. Akan butuh waktu yang sangat lama jika perusahaan mencoba merekrut sekretaris baru dan tentu saja sang personalia akan dengan terpaksa menunjuknya untuk menggantikan posisi ini. Vania bergegas keluar dari kamar mandi. Diketuknya pintu ruangan dimana Regantara Handoro masih berkutat dengan pekerjaannya. “Bapak memanggil saya?” tanyanya. Lelaki bertubuh atletis itu mengangkat wajahnya. Wajah yang semula datar itu tiba-tiba saja terlihat sangat kesal. “Vania Larasati! Apa kamu sengaja ingin mempermalukan aku dengan penampilanmu? Apa kamu sengaja melakukan ini karena tidak mau menemaniku makan siang dengan vendor kita?” Vania terkejut mendengar suara Regantara Handoro yang menggelegar. Ia seperti terpaku tanpa bisa mengatakan apapun. “Keluar dari ruanganku!”Regantara Handoro sungguh merasa kesal melihat wajah yang sebelumnya terlihat cantik natural itu berubah seperti sosok dakocan. Bagaimana bisa Vania memoles bibirnya dengan warna merah yang begitu pekat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ia tidak kesal, Rega sebenarnya tidak menyukai acara pertemuan seperti ini. Sebuah pertemuan santai yang kerap kali membuatnya canggung. Itulah sebabnya ia selalu mengajak sekretarisnya untuk menemaninya ke acara semacam ini.Regantara tidak suka keramaian. Ia juga tidak suka berbasa-basi dengan siapapun. Karena itulah ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk mencairkan suasana canggung yang diciptakannya. “Kita tunda pertemuan makan siang kita,” ucapnya pada benda pipih di tangannya, “maaf, ada sesuatu yang harus aku lakukan.”Sementara itu Vania merasa terpukul oleh ucapan atasannya. Ia menyendiri dan duduk di tangga, tempat beberapa saat lalu ia berlarian hanya demi mengejar waktu. Reni yang biasa menghabiskan waktu istirahatny
“Ada tiga hal yang paling aku benci. Pertama kebohongan, kedua menunggu dan ketiga,” ucap Regantara dengan wajah serius, “pengkhianatan.” Vania diam dan mendengarkan saat lelaki itu mendapatkan sesuatu dari dalam kotak obat, di tangannya. Ia memperhatikan ketika Rega secara perlahan memutar tutup benda kecil itu dan mencolek isinya dengan sebuah cotton bud di tangannya. Ia menatap wajah lelaki yang terlihat begitu serius merawat lukanya itu. Ia merasakan betapa lembutnya sentuhan cotton bud itu di lukanya. Jantung Vania berdegup dengan kencang. Ia belum pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Diperlakukan demikian lembut bahkan oleh Martin, suaminya sekalipun, ia hampir tidak pernah. Tapi kenapa lelaki yang baru ia kenal, dan baru saja memperlakukannya seolah sampah itu tiba-tiba berubah. Mungkinkah dia mempunyai kepribadian ganda atau ... bisa saja ada saraf otaknya yang konslet. “Darimana kamu dapat luka ini? Tidak mungkin karena menabrakku tadi pagi, kan?” tanyanya. V
Plak! “Pak, sadar Pak!” Pak Agus menepuk pipi Rega. Ia berusaha menahan Rega yang sedang memonyongkan bibir kepadanya. Rega terkejut saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukanlah Vania. Ia berteriak dan melepaskan pelukannya. Bulu kuduknya meremang saat menyadari bahwa bibirnya hampir saja ternoda oleh bibir tebal HRD perusahaannya. Jijik!“Kenapa Pak Agus masuk ke ruanganku?” tanya Rega dengan kesal. Lelaki bernama Agus itu berdehem sambil merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut karena pelukan Rega. Ia melirik pimpinannya dengan perasaan tak nyaman. “Saya cuma mau kasih tahu Bapak kalau hari sudah malam,” tuturnya, “dan semua karyawan sudah pulang.” Rega melambaikan tangannya dengan kesal. “Ya udah, kamu pulang sana.” Agus keluar dari ruangan Rega sambil bersungut-sungut. Ia benar-benar terkejut dan mulai berpikir, mungkin saja Rega mempunyai penyimpangan sexual karena sampai sejauh ini ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang wanita pun. Memikirkan hal ini
“Mas, bisa tolong aku …,” pinta Vania, “tolong nyalain pompa airnya. Aku mau mandi.” Martin tersenyum kecut. Keyakinannya bahwa Vania masih mengharapkannya luruh seketika. Jika ia masih ingin mendapatkan dana dengan cuma-cuma, satu-satunya jalan hanya merayu istrinya kembali. Saat ini hanya Vania lah satu-satunya pohon uangnya. Walau entah apa lagi yang bisa diambilnya lagi selain gaji, setelah motornya telah berhasil dijualnya. “Sebentar, Yang.” Vania merasakan air dingin membasahi tubuhnya, seakan membawa rasa penat di tubuhnya lepas, tergantikan oleh kesegaran yang membuat pikirannya berangsur tenang. Ia masih mengingat bagaimana Pak Rega atasan barunya memperlakukannya. Bagaimana lelaki itu membuatnya tersiksa, namun di akhir hari justru dialah yang merawat luka di keningnya. Sungguh aneh dan tak dapat dipahaminya sampai saat ini. Bahkan di dalam bayangannya saat ini, lelaki itu semacam mempunyai dua kepribadian seperti dalam novel “Dr. Jekyll and Mr. Hyde” yang pernah dibacan
“Nia! Nia!” Suara yang semula terdengar begitu erotis itu tiba-tiba saja berubah menjadi keras dan begitu kasar. Ditambah dengan suara ketukan kasar tak sabar di jendela kamarnya.Bruk!Vania menggosok punggungnya dengan tangannya sendiri, untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuh dari ranjangnya. Suara keras Martin membuatnya terjaga dari mimpi aneh yang baru saja dialaminya. Bagaimana bisa ia bermimpi romantis dengan Regantara, atasannya yang bahkan seharian ini sudah menyiksanya habis-habisan di hari pertamanya menjalani mutasi jabatan. Dilepaskannya selimut yang membelit di antara kedua kakinya lalu berdiri dari lantai kamarnya yang dingin. Diliriknya jam di dinding. Jarumnya sudah menunjukkan angka dua. “Nia! Bukain pintu. Aku nggak bawa kunci nih,” panggil Martin sekali lagi. Jam dua dini hari. Bahkan suaminya pulang di saat maling-maling sedang beraksi. Padahal ia sudah keluar sejak enam jam yang lalu, dengan alasan membeli rokok. Apa sebenarnya yang dilakukannya di luar
Tidak ada seorangpun staff di dalam lift yang memperhatikan mereka. Rasanya begitu canggung, namun Regantara tak bisa menyangkal debaran yang sudah lama tak dirasakannya itu kembali hadir dalam hidupnya. Perasaan yang sudah lama mati itu seakan hidup kembali. Jiwanya yang sekian lama hampa seakan kembali dengan sebuah harapan. Sementara Vania dengan takut-takut menahan tubuhnya agar tak membuat atasannya itu gugup. Namun sebuah gerakan kecil dari seseorang di belakangnya, membuat tubuhnya tak bisa berdiri tegak dan roboh ke depan. Sepasang tangannya dengan spontan berpegangan pada sembarang yang ada. Dan celakanya, hanya Regantara yang bisa dijadikannya penopang bagi tubuhnya yang kehilangan keseimbangan. Ia semakin merasa canggung ketika sepasang tangan itu memegang lengan berotot atasannya, sementara kepalanya untuk kedua kalinya membentur dada atasannya yang bidang. “Maaf,” ucap Vania yang bergegas menarik kembali tangannya. Ia hampir saja menangis karena sungguh menyesali
“Rega, mama dengar kamu sudah punya calon istri? Kapan kamu kenalkan calon istrimu sama mama?” cicit perempuan dalam telepon Regantara, “kamu sengaja, ya, bikin mama kamu ini kepikiran.” “Iya Ma, secepatnya.” Sial! Rendi pasti udah ngoceh sembarangan sama mama dan sengaja buat cerita yang nggak benar. “Ya udah, besok malam ajak calon istri kamu ketemu papa dan mama, atau Regantara Group akan diambil alih oleh Ben, karena dia akan menikahi putri Gubernur bulan depan," putus Amalia tanpa mau mendengar alasan putra tirinya itu lagi. Regantara meletakkan ponselnya dengan sebuah helaan napas yang berat. Sesaat ia mengernyitkan keningnya, "apa papa yang memintanya mendesakku untuk menikah? Aku tak akan membiarkan Beniqno mengambil alih harta keluargaku." Tapi ... bagaimana ia harus mencari seorang calon istri hanya dalam semalam! Ini benar-benar diluar bayangannya. Seandainya saja Rendi ada di depannya, mungkin saat ini bukan bola kertas lagi yang dilemparkannya, tapi sebuah bogem men
Regantara menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Perempuan yang masih terbalut dalam setelan blazer coklat itu tampak jelas menyembunyikan kekalutan pikirannya di wajahnya.“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal mengetahui semua kebusukan yang disimpan oleh suamimu,” ucap Regantara dengan keangkuhannya yang khas, “dia bukan lelaki baik-baik.” “Bagaimana Bapak tahu jika dia mengkhianatiku?” tanya Vania. Ia merasa heran karena Regantara bisa menebak sebelum semuanya terjadi.Tiba-tiba saja Vania merasakan kengerian melingkupinya. Bagaimana mungkin ahli waris satu-satunya perusahaan tempatnya bekerja, mengetahui kehidupannya secara detail seolah sengaja mengorek semua informasi pribadinya. Vania berusaha menepiskan kecurigaannya, untuk apa lelaki seperti Regantara mencari tahu kehidupan perempuan sepertinya. Tapi nalurinya sebagai perempuan begitu yakin mengatakan bahwa sisi mengerikan atasannya itu kembali muncul. Ia bahkan seperti paranormal, mengatakan Martin mengkhiana