“Siapa yang berani masuk ke dalam tanpa izinku,” tutur Regantara.Lelaki itu kembali menikmati tubuh indah istrinya dengan sentuhan jemarinya. Merasakan kelembutan kulitnya yang lembab terawat dan terus menyusuri lekuk tubuh indah itu hingga ke bawah. Vania mendongak ke atas, tubuhnya sedikit terangkat saat dirasakannya jemari itu menyentuh bagian intinya, jemari itu menyusup di antara segitiga maron berbahan renda yang menutupi ceruknya. Bibirnya sedikit terbuka menyebut nama suaminya dengan suara lirihnya. Gelenyar kenikmatan dirasakannya saat jemari itu menyentuh titik sensitifnya, memancing hasratnya untuk meminta lebih. Jiwanya meronta, terbakar gairah yang menuntut pelampiasan. Gerakan sensual yang berpadu seakan sebuah tarian erotis yang begitu indah. “Vania.” Suara parau itu kembali terdengar. Lelaki itu menatap pujaannya dengan penuh hasrat. Liukan tubuh di bawah kungkungannya itu terlihat begitu sensual, membuat hasratnya semakin menggila.Dikecupnya gumpalan kenyal di
“Pak Regan!” Suara itu terdengar sangat dekat, seolah Pak Agus – HRD nya, berada di dalam ruangan itu. Regantara segera bangkit dari sofa, membebaskan Vania yang ada di bawahnya. Segera disambarnya gaun istrinya untuk menutup tubuh wanita yang dicintainya. Ia menghela napas panjang untuk meredakan perasaan kesalnya. “Pak Regan.” Panggilan itu sekali lagi terdengar di dalam ruangan itu. Regantara menepuk keningnya saat menyadari jika suara itu terdengar dari pesawat telepon di mejanya. Ia ingin sekali menghancurkan benda di atas mejanya yang telah berhasil membuat jantungnya nyaris berpindah lokasi. Namun segera diurungkannya niatnya, karena ia tak ingin Vania merasa tak nyaman. “Pak Agus, bisa bantu aku?” kesal Regantara, “bawakan aku dua gelas americano dari cafe Darius langgananku. Lalu ambil pesananku di resto sushi yang ada di depannya.” “Uhm … tapi Pak, semua team finance sudah berkumpul di ruang meeting menunggu Bapak,” ucap Agus, salah satu orang kepercayaan Regantar
Martin mendekati Silvia. Gadis yang merupakan putri kakak Andini itu melangkah ke belakang. Wajahnya terlihat semakin gelisah saat lelaki itu semakin dekat kepadanya. “Sil, sebenarnya aku tidak ingin melibatkanmu dalam persoalan kami,” ujarnya seolah dengan kalimat itu, ia bisa menenangkan hati gadis di hadapannya, “tapi aku butuh seseorang yang mau mendengarkan aku, mengerti perasaanku dan mau menerima aku apa adanya.” Martin mendaratkan tangannya di pundak gadis itu. Namun ia menghela napas kecewa karena Silvia justru tertunduk, seakan sengaja menyembunyikan kepalanya. “Tante kamu berubah. Cinta di antara kami sepertinya sudah luntur,” lanjutnya, “mungkin ini adalah ganjaran karena aku sudah mengkhianati mantan istriku.” “Om, jangan.” Silvia menghalau tangan Martin yang mulai mengusap lembut wajahnya. “Sebentar saja, Om janji … tante kamu nggak bakal tahu yang kita lakukan,” ucap Martin memaksa, “lima menit … beri aku lima menit. Dan jika kamu tidak menyukainya, kita tidak akan
“Apa yang kamu lakukan di kamar Silvia?” Sambutan Andini sontak membuat Martin gelagapan. Namun ia segera menyembunyikan rasa terkejutnya. “Nggak ada,” sahutnya dengan acuh, “cuman pinjam charger.” Andini mengerutkan keningnya, menatap lelaki di hadapannya dengan penuh kecurigaan. Namun kecurigaan itu lenyap saat melihat kabel yang menjuntai dari saku celananya. “Memang … charger kamu kenapa?” “Aku lupa kusimpan dimana,” sahutnya acuh dan langsung melalui Andini yang masih berdiri di depannya. “Beb.” Panggilan itu menghentikan langkah Martin. Lelaki itu bergeming di tempatnya dengan dada berdebar. “Kita perlu bicara.” Sesaat Martin terdiam, lalu dengan acuh ia kembali melangkah meninggalkan Andini. Melihat keacuhan lelakinya, Andini segera mengikuti langkahnya hingga masuk ke kamar mereka. Andini menghela napas dengan perasaan kesal. Ia sudah cukup mengalah sampai di titik ini. Bahkan ia kembali setelah mendapatkan tamparan dari lelaki pengangguran itu. “Ap
Silvia segera kembali ke kamarnya. Ia segera menenggelamkan diri ke dalam selimutnya. Bayangan tantenya yang meracau dengan wajah erotisnya saat Martin menyesap di ceruk kenikmatannya, membuat dirinya tak dapat menahan hasratnya. Ia bergelung dalam selimutnya, sementara jemari tangannya mulai bergerak menyentuh miliknya sendiri. Ia membayangkan jemarinya adalah pamannya yang sedang bermain di dalam ceruk kenikmatan miliknya.“Ugh ….” Desahnya saat menemukan titik yang meninggalkan sensasi yang hebat. Tapi rasanya sama sekali berbeda. Ia lebih suka jika Martin yang melakukannya. Ah … seandainya saja tadi ia tidak menolak Martin.Vania mengerjapkan matanya saat sinar matahari mengenai wajahnya. Ia tersipu saat mengingat betapa panasnya aktifitasnya dengan suaminya semalam. Bahkan ia masih bisa merasakan kehangatan yang tersisa.Ditatapnya lelaki yang masih lelap dalam tidurnya itu dengan penuh kekaguman. Menikahi Regantara sama sekali bukan impiannya. Mereka bahkan disatukan nasib kar
“Jangan katakan kamu tidak mempertaruhkan perasaanmu dengan cara yang konyol. Bukankah kita menikah karena sebuah surat perjanjian?” Protes Vania. “Tapi ini dua hal yang berbeda. Aku bertaruh dengan waktu untuk mendapatkan cinta darimu,” sahut Regantara. Lelaki itu meraih tangan istrinya dan mengecupnya dengan lembut. “Dan dewi fortuna pun sepertinya mendukungku,” lanjutnya, “dia membuatmu jatuh cinta padaku.” Vania tersenyum dengan canggung. Ia merasa tak nyaman dengan gaunnya yang terlalu minim, baik di bagian atas maupun di bagian bawah. Beberapa kali ia berusaha menarik turun dan naik gaun cantik itu. “Astaga, semoga acara itu bukan pesta kebun,” gumamnya, “aku bisa masuk angin karena gaun ini.” Regantara tertawa. “Jangan khawatir, aku siap menjadi selimut yang bisa menghangatkanmu kapanpun,” godanya. Vania membalas senyuman itu dengan kesal. “Wow … lihat siapa yang datang!” Suara bariton itu membuat orang-orang di sekitar Vania menolehkan kepalanya. Regantara segera m
Pisau itu terayun menyerempet lengan Regantara. Lengan kemeja putih yang dikenakannya pun menjadi merah karena noda darah. Namun itu tak membuat Dul Botak merasa puas dan menghentikan serangannya. Ia kembali mengayunkan pisau bermata dua di tangannya dengan gerakan yang cepat. Regantara muda dengan gesit mengelak ke samping dan memukul pergelangan tangan Dul Botak dengan tangannya, hingga membuat lelaki berkulit gelap itu kesakitan. Pisau terlepas begitu saja dari genggaman tangan Dul Botak, seolah sang takdir memberikan waktu untuk pemuda itu kabur menghindari pertarungan yang mulai tak seimbang itu. “MUNDUURRR!!” teriaknya pada kawan-kawannya. Ia tak mau ada korban ataupun pertumpahan darah di antara kawan-kawannya. Bukan karena takut, tapi karena adanya senjata tajam. Ia berlari tanpa tahu arah, menyelinap di antara deretan bangunan. Hingga suara langkah Dul Botak yang mengejarnya tak lagi terdengar. Napasnya terengah dipadu dengan debaran jantungnya yang sangat cepa
Mobil di depan mereka menghidupkan lampu jauhnya, sengaja membuat kedua makhluk di dalamnya kelabakan. “Sialan!” umpatnya sambil mengarahkan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya terang itu masuk ke matanya. Ia baru saja membuka pengunci pintu mobilnya, hendak menegur siapapun yang sengaja melakukan hal menyebalkan itu. Tapi Vania segera meraih tangannya dan menghentikan niatnya. “Jangan,” pintanya, “kita pulang saja, ya.” Masih dengan perasaan kesal, lelaki itu memutar kemudinya dan berlalu dari tempat itu. Semua berjalan sesuai rencana. Seperti yang telah disepakati oleh semua pihak, kedua artis terpilih akan tampil bersama dalam event Festival Gemerlap Buana yang disponsori oleh Adiguna Regantara Group. Para penonton yang hadir, telah memadati gedung convention. Panggung gemerlap yang sengaja disediakan, telah tertata dengan layar besar sebagai backgroundnya. Sebuah pertanda bahwa sebuah even spektakuler akan segera dimulai. “Kamu nggak papa, Vin?” tanya Andini yang ter
“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
“Apa yang mau Papa lakukan jika bertemu kembali dengan mama?” tanya Regantara, “aku tidak akan pernah ijinkan Papa bertemu mama jika Papa hanya ingin menyakiti hati mama lagi.”“Papa sudah dengar semuanya,” ucap lelaki tua itu. Raut wajah sendunya memperlihatkan dengan jelas penyesalannya. “Kenapa kamu tidak memberitahu papa? Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi.” “Seandainya pun aku memberitahu Papa, apa mungkin Papa akan percaya?” Sahut Regantara dengan perasaan getir, “saat itu Papa sibuk dengan selingkuhan Papa yang menuntut tinggal di rumah ini. Aku masih ingat ketika perempuan jalang itu masuk ke rumah ini bersama dua anaknya. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukan mama di belakang Papa.” Vania meremas lengan suaminya. Ia tidak suka melihat suaminya menciptakan perasaan bersalah pada pemilik tubuh renta di hadapan mereka. Seharusnya ia dapat hidup dengan damai di usia senjanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutomo menghela napas dengan berat. Sepasang matanya
“Nggak ada apa-apa. Pasti cuma mati lampu biasa. Sebentar lagi juga pasti nyala,” bisik Regantara menenangkan istrinya. Ia mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam kamar mereka. Untung saja cahaya bulan dari jendela besar apartemennya cukup berguna malam itu. “Sepertinya kita memang harus melanjutkan misi kita malam ini,” goda Regantara disambut cubitan ringan di pinggangnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Vania. “Sayang, pernikahan seperti apa yang sebenarnya kamu impikan?” tanya Regantara, “apakah itu tentang mengundang banyak orang, memakai gaun putih dengan dekorasi yang penuh bunga?” “Aku tidak mau. Bagaimana kalau pernikahan itu gagal? Aku nggak mau merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya,” sahut Vania, “jujur aku tak akan sanggup jika kegagalan yang sama kembali terulang. Mungkin aku bisa terlihat setegar ini, tapi sebenarnya hatiku —”Regantara menghentikan ucapan istrinya dengan sebuah kecupan. Ia memagut dengan penuh hasrat, menikmatinya, seakan h
Vania meletakkan beberapa foto yang didapatnya dari seorang pemegang saham. Ia tak bisa menyangkal kalau hatinya terasa sakit saat melihat lembaran foto yang memperlihatkan bahwa suaminya sedang tidur bersama gadis lain. Namun ia dituntut profesional, apalagi saat ini ia sedang melakukan tugasnya, sebagai seorang sekretaris. Ia tidak seharusnya melibatkan perasaannya. Regantara menatap foto-foto di depannya. Foto yang memperlihatkan betapa intimnya hubungannya dengan Alisha. Sesaat ia menghela napas sambil melirik tajam pada istrinya, mencari sirat kecemburuan di wajahnya nan ayu. “Tentang peristiwa ini, aku berhak untuk diam karena ini terlalu privacy dan aku tidak ingin melukai siapapun dengan pernyataanku,” ucap Regantara, “tapi aku bisa menjamin, nilai saham kita akan melesat naik di minggu berikutnya. Aku sudah menindaklanjuti pemberitaan itu dan orang-orang yang berniat buruk padaku juga sudah diamankan oleh para penegak hukum.” Kegaduhan kembali terdengar di dalam ruangan it
Tangan perempuan itu mendarat di pipi Alisha. Lebam di kulitnya yang pucat, memperlihatkan betapa keras tamparan sang ibu. “Ma!” protes gadis itu, “dia itu kakak kandungku. Apa yang harus aku lakukan kalau aku hamil? Nikahin dia? Aku nggak gila!” “Dia bukan kakak kamu. Dia bukan anak mama. Dia anak suami pertama mama. Puas kamu!” Alisha ternganga mendengar jawaban ibunya. Ia tidak menyangka bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu hatinya telah tertutup oleh ketamakannya. Ia bahkan tidak menyangkal telah berkontribusi dalam menciptakan kegaduhan itu. “Biarpun dia bukan anak mama, tapi bukan berarti mama bisa mengijinkan dia merusak masa depanku!” Protes Alisha lagi, “seharusnya mama ngelindungi Alisha, bukan malah sebaliknya, mama mendorongku ke dalam jurang yang tak berujung.”“Alisha!” Gadis itu menjauh dari ibunya. Entah kenapa ia merasa jijik dan benci pada ibunya. “Alisha! Semua ini buat kamu. Kejadian semalam adalah cara kami memberikan kartu as buat kamu untuk memeras
“Syukurlah, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Vania yang semalaman tidak bisa tidur karena menunggu suaminya pulang. Ia menatap lelaki itu dengan heran. Dari mimik wajahnya, ia bisa menebak sesuatu telah terjadi. “Kamu nggak papa kan, sayang?” tanyanya menyelidik.Regantara mengendurkan ikatan pada dasinya. Wajah dan rambutnya terlihat masih berantakan. Hal itulah yang membuat firasat Vania semakin kuat bahwa telah terjadi sesuatu semalam tadi. Vania menghampirinya, menangkup pipi suaminya dengan kedua tangannya untuk mensejajarkan pandangannya. “Hei, sayang. Apa yang terjadi? Kamu nggak papa kan?”“Dia menjebakku,” ucapnya lirih, “sepertinya aku terlalu naif, karena mengharapkan mereka berubah. Mereka tidak akan berubah. Serigala tidak akan berubah menjadi domba.” Vania melepaskan tangannya. Ia berusaha memahami kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Namun kalimat yang keluar, terlalu rumit untuk dipahaminya. “Siapa? Maksudmu …. Papa kamu? Ibu tiri kamu, atau saudara tirimu?”
Beniqno menatap tubuh molek adiknya. Adik yang lahir dari rahim yang sama dengannya walau lain ayah itu bahkan membuatnya merasa gerah. Bagaimana tidak, kebiasaan Alisha terlalu aneh baginya. Adik perempuannya itu selalu tidur hanya dengan memakai selembar celana dalam saja. Ia selalu menanggalkan semua pakaiannya dengan alasan itu lebih sehat. Tapi menurut Ben alasan itu hanyalah bullshit semata.Tapi kali ini justru hal ini menguntungkan baginya. Perlahan ia membaringkan tubuh Regantara di samping Alisha. Bukan hanya itu, ia melucuti satu demi satu pakaiannya dan melemparkannya sembarangan. Ia sudah menyelesaikan bagiannya. Tapi … ia menatap tubuh adiknya. Kain segitiga yang menutup bagian di antara kedua pahanya itu akan membuat Regantara curiga. Ia tidak boleh gagal. Perlahan ia melepaskan kain tipis itu, membiarkan surga yang didambakan para kaum adam itu terpampang nyata. Ben menelan kasar salivanya. Sebagai lelaki normal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin menikmatinya
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat