Mobil di depan mereka menghidupkan lampu jauhnya, sengaja membuat kedua makhluk di dalamnya kelabakan. “Sialan!” umpatnya sambil mengarahkan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya terang itu masuk ke matanya. Ia baru saja membuka pengunci pintu mobilnya, hendak menegur siapapun yang sengaja melakukan hal menyebalkan itu. Tapi Vania segera meraih tangannya dan menghentikan niatnya. “Jangan,” pintanya, “kita pulang saja, ya.” Masih dengan perasaan kesal, lelaki itu memutar kemudinya dan berlalu dari tempat itu. Semua berjalan sesuai rencana. Seperti yang telah disepakati oleh semua pihak, kedua artis terpilih akan tampil bersama dalam event Festival Gemerlap Buana yang disponsori oleh Adiguna Regantara Group. Para penonton yang hadir, telah memadati gedung convention. Panggung gemerlap yang sengaja disediakan, telah tertata dengan layar besar sebagai backgroundnya. Sebuah pertanda bahwa sebuah even spektakuler akan segera dimulai. “Kamu nggak papa, Vin?” tanya Andini yang ter
Teriakan Vania membuat orang-orang yang sibuk berlarian sepanjang lorong itu berhenti. Mereka seakan lupa dengan hal yang harus dilakukannya demi suksesnya even besar itu. Kaki-kaki itu justru melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan pintu ruang rias dengan tatapan beku pada sepasang insan yang berlomba mereguk nikmatnya dunia. Lelaki itu terkejut saat pintu terbuka. Ia langsung menarik miliknya dan dengan tergesa memakai kembali celana dinasnya. “Bu–bukan seperti yang kalian lihat. Dia … dia menjebakku,” ucap lelaki itu. Jarinya menunjuk ke arah Andini yang berusaha menutup tubuh polosnya dengan gaun yang masih dalam jangkauannya. “Aku memintamu mengantarnya pulang. Tapi kenapa kamu justru mencelakai dia?” Vania mematikan ponselnya dan mendekati Andini. Diraihnya taplak meja yang ada di dalam ruangan itu, untuk menutup bagian yang masih terekspos.Namun tanpa di duganya, Andini mencekal tangannya. Dari wajah frustasinya, Vania tak bisa menebak apa yang diinginkannya. Sebua
“Kami sedang membicarakan salah satu kenalan kami,” sahut salah seorang di antara mereka, “ah … sudahlah, kita turun!” Kelima staff itu bergegas turun. Mata mereka meliriknya dengan tatapan sinis yang mencemooh. “Tunggu!” Vania meletakkan tangan kanannya, menahan pintu lift agar tetap terbuka, “aku mendengar semuanya dengan jelas. Aku juga tahu siapa kalian berlima.”Satu di antara mereka berbalik dan melangkah mendekati Vania. “Lalu … masalah apa denganmu?” ucapnya dengan nada mencemooh. “Tidak ada masalah denganku. Justru saat ini kalian lah yang bermasalah,” sahut Vania. Ia tersenyum dan melepaskan tangannya dari pintu lift, membiarkan pintu itu tertutup begitu saja. Sudah sejak awal mutasinya, para staff yang dulunya baik padanya berubah mencemooh. Entah apa yang membuatnya berubah. Mereka bahkan menjelek-jelekkan karena perceraiannya tanpa mengetahui alasannya. Vania menyimpan tasnya ke dalam laci di sisi mejanya. Ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Cepat ia memalin
“Kamu nemuin mamaku? Dimana dan bagaimana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar Vania dengan antusiasnya.Kerinduan yang membuncah yang terlihat jelas di matanya, membuat Regantara tak mampu menutupi kepahitan yang sempat didengarnya tadi. “Seseorang menyerahkan dia ke panti yang akan kita kunjungi,” tuturnya.“Jadi … kamu sengaja merencanakan kegiatan ini? Kamu sengaja melibatkan aku karena hal ini?” cecar Vania.“Bukan,” sahut Regantara, “ini semua kebetulan. Aku bahkan baru saja mendapatkan informasi keberadaan Bu Tiwi dari orang suruhanku.” Cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata Vania. Hatinya terasa sakit karena lagi-lagi Martin sudah membohonginya. Regantara mengulurkan tangannya, menggenggam tangan istrinya, berharap perasaan Vania bisa lebih tenang. “Semua akan baik-baik saja.” Vania terisak. Ia membayangkan malam-malam yang dihabiskan oleh ibunya di tempat yang sama sekali asing itu. Tempat dimana tak ada satupun orang yang dikenal dan bisa menjadi tumpuan hid
“Kasus ini sebenarnya belum pernah kutangani” ucap dokter Rikard saat Vania menemuinya, “kami sudah mengambil foto thorax nya. Dan Anda bisa lihat, kondisi paru-parunya tidak bisa dibilang baik-baik saja.”Lelaki berusia lebih dari lima puluhan itu menunjukkan bagian paru yang memperlihatkan keanehannya itu. “Seperti kabut tebal yang mengisi di kedua sisinya,” lanjutnya berusaha menjelaskan apa yang terjadi secara gamblang, “dan saya tidak bisa memprediksi sampai sejauh mana Ibu Pratiwi bisa bertahan.”“Tolong, dok. Lakukan apapun untuk menyelamatkannya,” pinta Vania. “Saya tidak berani melakukan apa-apa. Ibu Pratiwi terlihat sangat lemah. Terlalu beresiko untuk melakukan operasi apalagi di usianya saat ini, ditambah lagi dengan tekanan darahnya yang tidak stabil,” lanjut dokter Rikard menambahi, “jadi saya cuma menyarankan terapi obat saja sebagai alternatif pengobatannya. Saya harap obat itu bisa memperlambat prosesnya.”Tubuh Vania terasa lemas, badannya serasa melayang saat mend
“Aku bahkan tidak yakin orang tuamu akan merestui pernikahan kita, seandainya ia tahu bahwa aku cuma seorang janda,” sahut Vania pesimis.“Mereka tidak bisa melarangku. Aku bisa melakukan apapun, bahkan menentukan pasangan hidupku,” balas Regantara, “aku tidak pernah melakukan apa yang membuatku akan merasa tak nyaman.”Vania tahu apa yang dimaksud olehnya adalah tentang perjodohan yang dirancang oleh orang tuanya beberapa saat lalu. “Lalu … tentang mamaku? Apa mencari informasi tentangnya juga membuatmu nyaman?”“Tentu saja,” sahutnya cepat, “aku akan merasa nyaman jika istriku tidak lagi mengigau meratapi ibunya yang hilang.” Vania seperti tersentak kembali mendengar penuturan suaminya. Jadi alasan Regantara mencari ibunya adalah karena ia mengigau memanggilnya. Lelaki itu justru tersenyum melihat Vania terkejut. Ia tahu bagaimana cara menyenangkan hati istrinya. Bukan dengan semua barang mewah yang pasti bisa dengan mudah didapatkannya, melainkan dengan tindakan nyata dan perhat
“Aku cuma … memberitahu dia bagaimana cara menghargai dan menikmati kehidupan,” sahut Martin tanpa rasa bersalah, “bukan cuma membersihkan telur busuk yang dilemparkan tetangga karena ulahmu.”“Tutup mulutmu, Martin!” teriak Andini. Tangannya langsung melayang hendak menampar mulut lelaki yang masih mengumbar auratnya. Tapi Martin dengan sigap menangkap lengannya. Ia meremasnya hingga perempuan itu kesakitan. “Kamu nggak berhak untuk menyuruhku diam,” sahut Martin, “aku sudah capek ngalah sama kamu. Kamu terlalu egois untuk mengerti apa yang aku mau. Padahal aku sudah banyak berkorban buat kamu.” “Lepaskan, brengsek!” teriak Andini. Ia menghentakkan tangannya mencoba melepaskan cengkraman tangan lelaki itu. “Kamu itu cuma benalu yang hidup dari keringat perempuan. Kamu cuma laki-laki mo – kon – do, yang tak berdaya di bawah ketiak perempuan. Dan ketika perempuan itu sudah habis saripatinya, kamu cari perempuan bodoh lain yang bisa kau manfaatin. Tapi sayang, aku nggak sebodoh itu b
Anin berdiri tepat di hadapan Vania. Matanya menatap penuh rasa curiga pada kedua orang di hadapannya. Bagaimana tidak, ia mendapati rekan sekretarisnya berada bersama CEO nya di rumah sakit ini pada jam selarut ini. Jam 11 malam!Tidak ada satupun kerabat di jajaran direksi yang sedang sakit dan mendapat perawatan di sini. Bahkan klinik rawat jalan hanya tersisa beberapa pasien obgyn saja yang masih mengantri. Hal ini membuat pikiran Anin menjadi tak karuan. Mulai dari kemungkinan kehamilan Vania, sampai pada aborsi yang mungkin dilakukannya. Vania tak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Anin, terutama karena Regantara ada bersamanya. Ia masih belum siap untuk memberitahu Anin bahwa mereka berdua sudah menikah. Tentu saja, apapun yang akan dikatakannya, ia akan tetap terlihat buruk. Ia pasti akan dianggap salah karena terlalu cepat mengakhiri masa lajangnya. Rasa canggung itu segera dihilangkannya saat dilihatnya Regantara melangkah dengan kecepatan yang sama dan berlalu b