Anin berdiri tepat di hadapan Vania. Matanya menatap penuh rasa curiga pada kedua orang di hadapannya. Bagaimana tidak, ia mendapati rekan sekretarisnya berada bersama CEO nya di rumah sakit ini pada jam selarut ini. Jam 11 malam!Tidak ada satupun kerabat di jajaran direksi yang sedang sakit dan mendapat perawatan di sini. Bahkan klinik rawat jalan hanya tersisa beberapa pasien obgyn saja yang masih mengantri. Hal ini membuat pikiran Anin menjadi tak karuan. Mulai dari kemungkinan kehamilan Vania, sampai pada aborsi yang mungkin dilakukannya. Vania tak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Anin, terutama karena Regantara ada bersamanya. Ia masih belum siap untuk memberitahu Anin bahwa mereka berdua sudah menikah. Tentu saja, apapun yang akan dikatakannya, ia akan tetap terlihat buruk. Ia pasti akan dianggap salah karena terlalu cepat mengakhiri masa lajangnya. Rasa canggung itu segera dihilangkannya saat dilihatnya Regantara melangkah dengan kecepatan yang sama dan berlalu b
“Mami! Kenapa mami kemari?” “Karena mami ingin tahu, perempuan seperti apa yang bisa mencuri hatimu, hingga bisa melepaskan perempuan hebat seperti Tasya,” sahut perempuan berbalut gaun mewah lui vitong itu dengan ketus.“Untuk apa? Itu tidak akan mengubah keadaan. Aku menikah dengan perempuan manapun, Regantara Group tidak akan pernah berpindah ke tangan Beniqno,” sahut Regantara dengan tenangnya. Ia tahu kunjungannya tidak lain hanya untuk mencari celah agar saudara tirinya itu mendapatkan kesempatan mengambil alih perusahaan keluarganya. “Ayolah, kamu jangan terlalu picik. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi kenapa kamu masih belum juga bisa menerima kehadiranku?” cecar perempuan cantik yang hanya terpaut belasan tahun darinya itu. “Mami yang terlalu picik karena berharap anak mami bisa mendapatkan semuanya.”“Regan, mami yang selama ini merawat papa kamu. Mami yang melakukan semuanya. Tapi kamu masih tega menuduh mami seperti itu?” “Kalau begitu katakan, apa motivasi mami menik
Vania mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tatapan mata lelaki muda di depannya terlihat mengintimidasinya, seakan hendak menelanjanginya di depan banyak orang. Ia benar-benar risih karenanya. Lelaki muda itu tersenyum sinis sembari menyodorkan tangannya pada Vania. Permulaan dari ujian yang harus mereka hadapi malam ini. “Beniqno. Panggil saja aku, Ben,” ucapnya sembari mengangkat dan mengecup punggung tangan Vania, “atau baby juga boleh.” Vania langsung menarik kembali tangannya. Ia merasa muak pada lelaki di hadapannya. Bukan karena penampilannya, tetapi tentang perilakunya yang sama sekali tak pantas pada seorang wanita bersuami. Lelaki itu seperti seperti sengaja berlaku tidak sopan untuk melecehkannya.“Ben, jaga sikapmu. Jangan sampai semua orang menganggapmu ….” “Kamu yang seharusnya menjaga sikap,” ujar seorang wanita yang tiba-tiba menegurnya dari anak tangga terbawah lantai atas rumah kediaman Regantara, “bukankah seharusnya kamu menyapa papa kamu terlebih dahulu?”Vania
“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa yang sudah kamu lakukan untuk keluargamu? Menghamburkan uang yang dengan susah payah aku kumpulkan untuk gadis-gadismu di luar sana?” cecar Regantara. Ia tidak suka mendengar adik tirinya menjelek-jelekkan Vania. “Hentikan pertengkaran kalian!” hardik Hutama, saat mendengar pertengkaran itu kembali berlanjut di hadapannya, “apa seperti ini didikan dari ibumu?” Wanita anggun yang berdiri di belakang suaminya itu mengerutkan alisnya seakan memberikan kode pada Beniqno agar diam. Beniqno tak bisa menerima sindiran tajam dari kakak tirinya, namun ia terpaksa menelannya begitu saja. “Apa benar yang dikatakan Ben tentang pekerjaanmu?” tegas Hutomo. “Benar, saya menyukai musik. Dan baru berkiprah di dunia ini setelah bertemu dengan Regan. Saya bersyukur memilikinya, karena dia sudah menjaga saya dari kegelapan dunia hiburan.” Hutomo menganggukkan kepalanya. Ia semakin menyukai Vania. Bukan hanya karena kesantunan dan cara bicaranya, tapi se
“Kenapa terburu-buru?” tanya Amalia ketika melihat Regantara dan Vania keluar dari ruang kerja suaminya. Ia tersenyum seolah tak pernah ada konflik di antara mereka. “Sudah larut, Tante,” sahut Vania, “kami harus pulang. Lagipula Pak Hutomo … ehm, maksudku, papa kelihatannya butuh istirahat.” Perempuan itu tersenyum menanggapi jawaban Vania. “Jangan ragu untuk datang kemari. Sepertinya Alisha juga menyukai kehadiranmu.” Vania menganggukkan kepalanya setelah melirik suaminya. Ia masih tak mengerti alasan Regantara bersikap kaku seperti itu. Bahkan ibu tirinya saat ini sudah bersikap lembut kepadanya. Cepat-cepat Vania menarik lengan suaminya, seperti sebuah kode agar ia memperlunak sikapnya. Tapi Regantara mengacuhkannya. Lelaki itu melangkah menuruni anak tangga, bersiap meninggalkan pesta yang sama sekali terasa tak nyaman itu. Ia mengacuhkan kedua wanita yang terlihat seperti sedang berada di balik topengnya itu. Melihat suaminya pergi, mau tak mau Vania mengikuti langkahnya.
Mata bulat dengan bulu lentik itu semakin membulat. Kecemasan sangat kentara di wajah ayunya. Hal itu justru membuat suaminya merasa tergelitik untuk kembali menggodanya. “Aah – aah! Jangan dorong. Nanti punyaku putus,” lanjutnya mengaduh seolah kesakitan.“Terus kita mesti gimana?” Regantara hampir tak dapat menahan tawanya. “Punya kamu terlalu sempit, bahkan menggigit milikku,” tuturnya, “pejamkan mata kamu, relax, supaya gigitannya nggak terlalu kencang.” “Memangnya bisa seperti itu?” Vania merasa aneh dengan perkataan Regantara. Seandainya bisa semudah itu, tidak mungkin berita-berita seperti itu sampai di telinganya. “Sudahlah, tutup matamu atau terpaksa kita ke rumah sakit dalam kondisi seperti ini,” ancam Regantara. Tentu saja Vania tidak mau hal seperti itu terjadi. Akan sangat memalukan jika peristiwa ini tersebar beritanya. Ia segera menuruti perintah suaminya untuk memejamkan matanya rapat-rapat.Regantara tersenyum. Ia masih merasakan kedut-kedut itu seperti memijat
Vania meraih akta notaris yang disodorkan Andini. Buku sertifikat itu tak urung membuat jantungnya berdebar dengan kencang. Betapa tidak, jalan sudah jelas terbentang di hadapannya. Dikeluarkannya ponselnya dan menghubungi salah satu pemilik nomer yang ada di dalam kontaknya. “Er, aku berniat membeli sebuah rumah. Bisakah kamu membantuku mengenai kelengkapannya?” ***Andini memeluk putrinya dengan pikiran kacau. Impiannya memiliki sebuah keluarga yang harmonis bersama Martin bertahan tak lebih dari tiga bulan. Semua hasil kerja kerasnya habis tak bersisa. Jika saja ia tidak membawa sertifikat bangunan itu, entah bagaimana ia akan memulai kehidupan barunya. Sepasang matanya menatap berkas di hadapannya. Tanpa menunggu lebih lama, dicoretkannya nama sekaligus tanda tangan di atas lembar bermaterai itu. “Baiklah, semua sudah selesai sekarang. Rumah itu sudah sah menjadi milikmu. Vania,” ucap sang notaris dengan lugasnya. Mendengar nama yang disebut sang pejabat pembuat akta, wajah
“Aku sudah menemukan ibuku.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Regantara, seolah tak ada sesuatu yang penting. Namun sebaliknya bagi Vania. Namun justru perempuan itu mendelik, seolah kalimat itu sebuah kejutan besar baginya. “Dimana? Apa kamu sudah menemuinya? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari bibirnya. Regantara mengusap lembut paha wanita di pangkuannya. Ia tersenyum mendengar keantusiasan istrinya saat mendengar berita itu. “Dia baik-baik saja. Ternyata perempuan itu sengaja menyembunyikan ibuku di tempat yang tak pernah kuduga sebelumnya,” ujar lelaki itu sembari mempermainkan jari jemarinya di atas kulit lembut istrinya. “Maksudmu … di tempat yang seperti apa? Mereka mengirim tante Maya kemana?” tanya Vania yang semakin penasaran. “Selama ini aku sudah mencarinya di setiap rumah sakit dan klinik kecil kota ini. Bahkan sampai kota tetangga. Tapi hasilnya nol besar,” sahut Regantara, “ia hanya sesekali menyampaikan ka