Vania meraih akta notaris yang disodorkan Andini. Buku sertifikat itu tak urung membuat jantungnya berdebar dengan kencang. Betapa tidak, jalan sudah jelas terbentang di hadapannya. Dikeluarkannya ponselnya dan menghubungi salah satu pemilik nomer yang ada di dalam kontaknya. “Er, aku berniat membeli sebuah rumah. Bisakah kamu membantuku mengenai kelengkapannya?” ***Andini memeluk putrinya dengan pikiran kacau. Impiannya memiliki sebuah keluarga yang harmonis bersama Martin bertahan tak lebih dari tiga bulan. Semua hasil kerja kerasnya habis tak bersisa. Jika saja ia tidak membawa sertifikat bangunan itu, entah bagaimana ia akan memulai kehidupan barunya. Sepasang matanya menatap berkas di hadapannya. Tanpa menunggu lebih lama, dicoretkannya nama sekaligus tanda tangan di atas lembar bermaterai itu. “Baiklah, semua sudah selesai sekarang. Rumah itu sudah sah menjadi milikmu. Vania,” ucap sang notaris dengan lugasnya. Mendengar nama yang disebut sang pejabat pembuat akta, wajah
“Aku sudah menemukan ibuku.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Regantara, seolah tak ada sesuatu yang penting. Namun sebaliknya bagi Vania. Namun justru perempuan itu mendelik, seolah kalimat itu sebuah kejutan besar baginya. “Dimana? Apa kamu sudah menemuinya? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari bibirnya. Regantara mengusap lembut paha wanita di pangkuannya. Ia tersenyum mendengar keantusiasan istrinya saat mendengar berita itu. “Dia baik-baik saja. Ternyata perempuan itu sengaja menyembunyikan ibuku di tempat yang tak pernah kuduga sebelumnya,” ujar lelaki itu sembari mempermainkan jari jemarinya di atas kulit lembut istrinya. “Maksudmu … di tempat yang seperti apa? Mereka mengirim tante Maya kemana?” tanya Vania yang semakin penasaran. “Selama ini aku sudah mencarinya di setiap rumah sakit dan klinik kecil kota ini. Bahkan sampai kota tetangga. Tapi hasilnya nol besar,” sahut Regantara, “ia hanya sesekali menyampaikan ka
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel
Beniqno menatap tubuh molek adiknya. Adik yang lahir dari rahim yang sama dengannya walau lain ayah itu bahkan membuatnya merasa gerah. Bagaimana tidak, kebiasaan Alisha terlalu aneh baginya. Adik perempuannya itu selalu tidur hanya dengan memakai selembar celana dalam saja. Ia selalu menanggalkan semua pakaiannya dengan alasan itu lebih sehat. Tapi menurut Ben alasan itu hanyalah bullshit semata.Tapi kali ini justru hal ini menguntungkan baginya. Perlahan ia membaringkan tubuh Regantara di samping Alisha. Bukan hanya itu, ia melucuti satu demi satu pakaiannya dan melemparkannya sembarangan. Ia sudah menyelesaikan bagiannya. Tapi … ia menatap tubuh adiknya. Kain segitiga yang menutup bagian di antara kedua pahanya itu akan membuat Regantara curiga. Ia tidak boleh gagal. Perlahan ia melepaskan kain tipis itu, membiarkan surga yang didambakan para kaum adam itu terpampang nyata. Ben menelan kasar salivanya. Sebagai lelaki normal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin menikmatinya
“Syukurlah, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Vania yang semalaman tidak bisa tidur karena menunggu suaminya pulang. Ia menatap lelaki itu dengan heran. Dari mimik wajahnya, ia bisa menebak sesuatu telah terjadi. “Kamu nggak papa kan, sayang?” tanyanya menyelidik.Regantara mengendurkan ikatan pada dasinya. Wajah dan rambutnya terlihat masih berantakan. Hal itulah yang membuat firasat Vania semakin kuat bahwa telah terjadi sesuatu semalam tadi. Vania menghampirinya, menangkup pipi suaminya dengan kedua tangannya untuk mensejajarkan pandangannya. “Hei, sayang. Apa yang terjadi? Kamu nggak papa kan?”“Dia menjebakku,” ucapnya lirih, “sepertinya aku terlalu naif, karena mengharapkan mereka berubah. Mereka tidak akan berubah. Serigala tidak akan berubah menjadi domba.” Vania melepaskan tangannya. Ia berusaha memahami kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Namun kalimat yang keluar, terlalu rumit untuk dipahaminya. “Siapa? Maksudmu …. Papa kamu? Ibu tiri kamu, atau saudara tirimu?”
Tangan perempuan itu mendarat di pipi Alisha. Lebam di kulitnya yang pucat, memperlihatkan betapa keras tamparan sang ibu. “Ma!” protes gadis itu, “dia itu kakak kandungku. Apa yang harus aku lakukan kalau aku hamil? Nikahin dia? Aku nggak gila!” “Dia bukan kakak kamu. Dia bukan anak mama. Dia anak suami pertama mama. Puas kamu!” Alisha ternganga mendengar jawaban ibunya. Ia tidak menyangka bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu hatinya telah tertutup oleh ketamakannya. Ia bahkan tidak menyangkal telah berkontribusi dalam menciptakan kegaduhan itu. “Biarpun dia bukan anak mama, tapi bukan berarti mama bisa mengijinkan dia merusak masa depanku!” Protes Alisha lagi, “seharusnya mama ngelindungi Alisha, bukan malah sebaliknya, mama mendorongku ke dalam jurang yang tak berujung.”“Alisha!” Gadis itu menjauh dari ibunya. Entah kenapa ia merasa jijik dan benci pada ibunya. “Alisha! Semua ini buat kamu. Kejadian semalam adalah cara kami memberikan kartu as buat kamu untuk memeras
Vania meletakkan beberapa foto yang didapatnya dari seorang pemegang saham. Ia tak bisa menyangkal kalau hatinya terasa sakit saat melihat lembaran foto yang memperlihatkan bahwa suaminya sedang tidur bersama gadis lain. Namun ia dituntut profesional, apalagi saat ini ia sedang melakukan tugasnya, sebagai seorang sekretaris. Ia tidak seharusnya melibatkan perasaannya. Regantara menatap foto-foto di depannya. Foto yang memperlihatkan betapa intimnya hubungannya dengan Alisha. Sesaat ia menghela napas sambil melirik tajam pada istrinya, mencari sirat kecemburuan di wajahnya nan ayu. “Tentang peristiwa ini, aku berhak untuk diam karena ini terlalu privacy dan aku tidak ingin melukai siapapun dengan pernyataanku,” ucap Regantara, “tapi aku bisa menjamin, nilai saham kita akan melesat naik di minggu berikutnya. Aku sudah menindaklanjuti pemberitaan itu dan orang-orang yang berniat buruk padaku juga sudah diamankan oleh para penegak hukum.” Kegaduhan kembali terdengar di dalam ruangan it