Vania mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tatapan mata lelaki muda di depannya terlihat mengintimidasinya, seakan hendak menelanjanginya di depan banyak orang. Ia benar-benar risih karenanya. Lelaki muda itu tersenyum sinis sembari menyodorkan tangannya pada Vania. Permulaan dari ujian yang harus mereka hadapi malam ini. “Beniqno. Panggil saja aku, Ben,” ucapnya sembari mengangkat dan mengecup punggung tangan Vania, “atau baby juga boleh.” Vania langsung menarik kembali tangannya. Ia merasa muak pada lelaki di hadapannya. Bukan karena penampilannya, tetapi tentang perilakunya yang sama sekali tak pantas pada seorang wanita bersuami. Lelaki itu seperti seperti sengaja berlaku tidak sopan untuk melecehkannya.“Ben, jaga sikapmu. Jangan sampai semua orang menganggapmu ….” “Kamu yang seharusnya menjaga sikap,” ujar seorang wanita yang tiba-tiba menegurnya dari anak tangga terbawah lantai atas rumah kediaman Regantara, “bukankah seharusnya kamu menyapa papa kamu terlebih dahulu?”Vania
“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa yang sudah kamu lakukan untuk keluargamu? Menghamburkan uang yang dengan susah payah aku kumpulkan untuk gadis-gadismu di luar sana?” cecar Regantara. Ia tidak suka mendengar adik tirinya menjelek-jelekkan Vania. “Hentikan pertengkaran kalian!” hardik Hutama, saat mendengar pertengkaran itu kembali berlanjut di hadapannya, “apa seperti ini didikan dari ibumu?” Wanita anggun yang berdiri di belakang suaminya itu mengerutkan alisnya seakan memberikan kode pada Beniqno agar diam. Beniqno tak bisa menerima sindiran tajam dari kakak tirinya, namun ia terpaksa menelannya begitu saja. “Apa benar yang dikatakan Ben tentang pekerjaanmu?” tegas Hutomo. “Benar, saya menyukai musik. Dan baru berkiprah di dunia ini setelah bertemu dengan Regan. Saya bersyukur memilikinya, karena dia sudah menjaga saya dari kegelapan dunia hiburan.” Hutomo menganggukkan kepalanya. Ia semakin menyukai Vania. Bukan hanya karena kesantunan dan cara bicaranya, tapi se
“Kenapa terburu-buru?” tanya Amalia ketika melihat Regantara dan Vania keluar dari ruang kerja suaminya. Ia tersenyum seolah tak pernah ada konflik di antara mereka. “Sudah larut, Tante,” sahut Vania, “kami harus pulang. Lagipula Pak Hutomo … ehm, maksudku, papa kelihatannya butuh istirahat.” Perempuan itu tersenyum menanggapi jawaban Vania. “Jangan ragu untuk datang kemari. Sepertinya Alisha juga menyukai kehadiranmu.” Vania menganggukkan kepalanya setelah melirik suaminya. Ia masih tak mengerti alasan Regantara bersikap kaku seperti itu. Bahkan ibu tirinya saat ini sudah bersikap lembut kepadanya. Cepat-cepat Vania menarik lengan suaminya, seperti sebuah kode agar ia memperlunak sikapnya. Tapi Regantara mengacuhkannya. Lelaki itu melangkah menuruni anak tangga, bersiap meninggalkan pesta yang sama sekali terasa tak nyaman itu. Ia mengacuhkan kedua wanita yang terlihat seperti sedang berada di balik topengnya itu. Melihat suaminya pergi, mau tak mau Vania mengikuti langkahnya.
Mata bulat dengan bulu lentik itu semakin membulat. Kecemasan sangat kentara di wajah ayunya. Hal itu justru membuat suaminya merasa tergelitik untuk kembali menggodanya. “Aah – aah! Jangan dorong. Nanti punyaku putus,” lanjutnya mengaduh seolah kesakitan.“Terus kita mesti gimana?” Regantara hampir tak dapat menahan tawanya. “Punya kamu terlalu sempit, bahkan menggigit milikku,” tuturnya, “pejamkan mata kamu, relax, supaya gigitannya nggak terlalu kencang.” “Memangnya bisa seperti itu?” Vania merasa aneh dengan perkataan Regantara. Seandainya bisa semudah itu, tidak mungkin berita-berita seperti itu sampai di telinganya. “Sudahlah, tutup matamu atau terpaksa kita ke rumah sakit dalam kondisi seperti ini,” ancam Regantara. Tentu saja Vania tidak mau hal seperti itu terjadi. Akan sangat memalukan jika peristiwa ini tersebar beritanya. Ia segera menuruti perintah suaminya untuk memejamkan matanya rapat-rapat.Regantara tersenyum. Ia masih merasakan kedut-kedut itu seperti memijat
Vania meraih akta notaris yang disodorkan Andini. Buku sertifikat itu tak urung membuat jantungnya berdebar dengan kencang. Betapa tidak, jalan sudah jelas terbentang di hadapannya. Dikeluarkannya ponselnya dan menghubungi salah satu pemilik nomer yang ada di dalam kontaknya. “Er, aku berniat membeli sebuah rumah. Bisakah kamu membantuku mengenai kelengkapannya?” ***Andini memeluk putrinya dengan pikiran kacau. Impiannya memiliki sebuah keluarga yang harmonis bersama Martin bertahan tak lebih dari tiga bulan. Semua hasil kerja kerasnya habis tak bersisa. Jika saja ia tidak membawa sertifikat bangunan itu, entah bagaimana ia akan memulai kehidupan barunya. Sepasang matanya menatap berkas di hadapannya. Tanpa menunggu lebih lama, dicoretkannya nama sekaligus tanda tangan di atas lembar bermaterai itu. “Baiklah, semua sudah selesai sekarang. Rumah itu sudah sah menjadi milikmu. Vania,” ucap sang notaris dengan lugasnya. Mendengar nama yang disebut sang pejabat pembuat akta, wajah
“Aku sudah menemukan ibuku.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Regantara, seolah tak ada sesuatu yang penting. Namun sebaliknya bagi Vania. Namun justru perempuan itu mendelik, seolah kalimat itu sebuah kejutan besar baginya. “Dimana? Apa kamu sudah menemuinya? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari bibirnya. Regantara mengusap lembut paha wanita di pangkuannya. Ia tersenyum mendengar keantusiasan istrinya saat mendengar berita itu. “Dia baik-baik saja. Ternyata perempuan itu sengaja menyembunyikan ibuku di tempat yang tak pernah kuduga sebelumnya,” ujar lelaki itu sembari mempermainkan jari jemarinya di atas kulit lembut istrinya. “Maksudmu … di tempat yang seperti apa? Mereka mengirim tante Maya kemana?” tanya Vania yang semakin penasaran. “Selama ini aku sudah mencarinya di setiap rumah sakit dan klinik kecil kota ini. Bahkan sampai kota tetangga. Tapi hasilnya nol besar,” sahut Regantara, “ia hanya sesekali menyampaikan ka
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel