“Kasus ini sebenarnya belum pernah kutangani” ucap dokter Rikard saat Vania menemuinya, “kami sudah mengambil foto thorax nya. Dan Anda bisa lihat, kondisi paru-parunya tidak bisa dibilang baik-baik saja.”Lelaki berusia lebih dari lima puluhan itu menunjukkan bagian paru yang memperlihatkan keanehannya itu. “Seperti kabut tebal yang mengisi di kedua sisinya,” lanjutnya berusaha menjelaskan apa yang terjadi secara gamblang, “dan saya tidak bisa memprediksi sampai sejauh mana Ibu Pratiwi bisa bertahan.”“Tolong, dok. Lakukan apapun untuk menyelamatkannya,” pinta Vania. “Saya tidak berani melakukan apa-apa. Ibu Pratiwi terlihat sangat lemah. Terlalu beresiko untuk melakukan operasi apalagi di usianya saat ini, ditambah lagi dengan tekanan darahnya yang tidak stabil,” lanjut dokter Rikard menambahi, “jadi saya cuma menyarankan terapi obat saja sebagai alternatif pengobatannya. Saya harap obat itu bisa memperlambat prosesnya.”Tubuh Vania terasa lemas, badannya serasa melayang saat mend
“Aku bahkan tidak yakin orang tuamu akan merestui pernikahan kita, seandainya ia tahu bahwa aku cuma seorang janda,” sahut Vania pesimis.“Mereka tidak bisa melarangku. Aku bisa melakukan apapun, bahkan menentukan pasangan hidupku,” balas Regantara, “aku tidak pernah melakukan apa yang membuatku akan merasa tak nyaman.”Vania tahu apa yang dimaksud olehnya adalah tentang perjodohan yang dirancang oleh orang tuanya beberapa saat lalu. “Lalu … tentang mamaku? Apa mencari informasi tentangnya juga membuatmu nyaman?”“Tentu saja,” sahutnya cepat, “aku akan merasa nyaman jika istriku tidak lagi mengigau meratapi ibunya yang hilang.” Vania seperti tersentak kembali mendengar penuturan suaminya. Jadi alasan Regantara mencari ibunya adalah karena ia mengigau memanggilnya. Lelaki itu justru tersenyum melihat Vania terkejut. Ia tahu bagaimana cara menyenangkan hati istrinya. Bukan dengan semua barang mewah yang pasti bisa dengan mudah didapatkannya, melainkan dengan tindakan nyata dan perhat
“Aku cuma … memberitahu dia bagaimana cara menghargai dan menikmati kehidupan,” sahut Martin tanpa rasa bersalah, “bukan cuma membersihkan telur busuk yang dilemparkan tetangga karena ulahmu.”“Tutup mulutmu, Martin!” teriak Andini. Tangannya langsung melayang hendak menampar mulut lelaki yang masih mengumbar auratnya. Tapi Martin dengan sigap menangkap lengannya. Ia meremasnya hingga perempuan itu kesakitan. “Kamu nggak berhak untuk menyuruhku diam,” sahut Martin, “aku sudah capek ngalah sama kamu. Kamu terlalu egois untuk mengerti apa yang aku mau. Padahal aku sudah banyak berkorban buat kamu.” “Lepaskan, brengsek!” teriak Andini. Ia menghentakkan tangannya mencoba melepaskan cengkraman tangan lelaki itu. “Kamu itu cuma benalu yang hidup dari keringat perempuan. Kamu cuma laki-laki mo – kon – do, yang tak berdaya di bawah ketiak perempuan. Dan ketika perempuan itu sudah habis saripatinya, kamu cari perempuan bodoh lain yang bisa kau manfaatin. Tapi sayang, aku nggak sebodoh itu b
Anin berdiri tepat di hadapan Vania. Matanya menatap penuh rasa curiga pada kedua orang di hadapannya. Bagaimana tidak, ia mendapati rekan sekretarisnya berada bersama CEO nya di rumah sakit ini pada jam selarut ini. Jam 11 malam!Tidak ada satupun kerabat di jajaran direksi yang sedang sakit dan mendapat perawatan di sini. Bahkan klinik rawat jalan hanya tersisa beberapa pasien obgyn saja yang masih mengantri. Hal ini membuat pikiran Anin menjadi tak karuan. Mulai dari kemungkinan kehamilan Vania, sampai pada aborsi yang mungkin dilakukannya. Vania tak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Anin, terutama karena Regantara ada bersamanya. Ia masih belum siap untuk memberitahu Anin bahwa mereka berdua sudah menikah. Tentu saja, apapun yang akan dikatakannya, ia akan tetap terlihat buruk. Ia pasti akan dianggap salah karena terlalu cepat mengakhiri masa lajangnya. Rasa canggung itu segera dihilangkannya saat dilihatnya Regantara melangkah dengan kecepatan yang sama dan berlalu b
“Mami! Kenapa mami kemari?” “Karena mami ingin tahu, perempuan seperti apa yang bisa mencuri hatimu, hingga bisa melepaskan perempuan hebat seperti Tasya,” sahut perempuan berbalut gaun mewah lui vitong itu dengan ketus.“Untuk apa? Itu tidak akan mengubah keadaan. Aku menikah dengan perempuan manapun, Regantara Group tidak akan pernah berpindah ke tangan Beniqno,” sahut Regantara dengan tenangnya. Ia tahu kunjungannya tidak lain hanya untuk mencari celah agar saudara tirinya itu mendapatkan kesempatan mengambil alih perusahaan keluarganya. “Ayolah, kamu jangan terlalu picik. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi kenapa kamu masih belum juga bisa menerima kehadiranku?” cecar perempuan cantik yang hanya terpaut belasan tahun darinya itu. “Mami yang terlalu picik karena berharap anak mami bisa mendapatkan semuanya.”“Regan, mami yang selama ini merawat papa kamu. Mami yang melakukan semuanya. Tapi kamu masih tega menuduh mami seperti itu?” “Kalau begitu katakan, apa motivasi mami menik
Vania mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tatapan mata lelaki muda di depannya terlihat mengintimidasinya, seakan hendak menelanjanginya di depan banyak orang. Ia benar-benar risih karenanya. Lelaki muda itu tersenyum sinis sembari menyodorkan tangannya pada Vania. Permulaan dari ujian yang harus mereka hadapi malam ini. “Beniqno. Panggil saja aku, Ben,” ucapnya sembari mengangkat dan mengecup punggung tangan Vania, “atau baby juga boleh.” Vania langsung menarik kembali tangannya. Ia merasa muak pada lelaki di hadapannya. Bukan karena penampilannya, tetapi tentang perilakunya yang sama sekali tak pantas pada seorang wanita bersuami. Lelaki itu seperti seperti sengaja berlaku tidak sopan untuk melecehkannya.“Ben, jaga sikapmu. Jangan sampai semua orang menganggapmu ….” “Kamu yang seharusnya menjaga sikap,” ujar seorang wanita yang tiba-tiba menegurnya dari anak tangga terbawah lantai atas rumah kediaman Regantara, “bukankah seharusnya kamu menyapa papa kamu terlebih dahulu?”Vania
“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa yang sudah kamu lakukan untuk keluargamu? Menghamburkan uang yang dengan susah payah aku kumpulkan untuk gadis-gadismu di luar sana?” cecar Regantara. Ia tidak suka mendengar adik tirinya menjelek-jelekkan Vania. “Hentikan pertengkaran kalian!” hardik Hutama, saat mendengar pertengkaran itu kembali berlanjut di hadapannya, “apa seperti ini didikan dari ibumu?” Wanita anggun yang berdiri di belakang suaminya itu mengerutkan alisnya seakan memberikan kode pada Beniqno agar diam. Beniqno tak bisa menerima sindiran tajam dari kakak tirinya, namun ia terpaksa menelannya begitu saja. “Apa benar yang dikatakan Ben tentang pekerjaanmu?” tegas Hutomo. “Benar, saya menyukai musik. Dan baru berkiprah di dunia ini setelah bertemu dengan Regan. Saya bersyukur memilikinya, karena dia sudah menjaga saya dari kegelapan dunia hiburan.” Hutomo menganggukkan kepalanya. Ia semakin menyukai Vania. Bukan hanya karena kesantunan dan cara bicaranya, tapi se
“Kenapa terburu-buru?” tanya Amalia ketika melihat Regantara dan Vania keluar dari ruang kerja suaminya. Ia tersenyum seolah tak pernah ada konflik di antara mereka. “Sudah larut, Tante,” sahut Vania, “kami harus pulang. Lagipula Pak Hutomo … ehm, maksudku, papa kelihatannya butuh istirahat.” Perempuan itu tersenyum menanggapi jawaban Vania. “Jangan ragu untuk datang kemari. Sepertinya Alisha juga menyukai kehadiranmu.” Vania menganggukkan kepalanya setelah melirik suaminya. Ia masih tak mengerti alasan Regantara bersikap kaku seperti itu. Bahkan ibu tirinya saat ini sudah bersikap lembut kepadanya. Cepat-cepat Vania menarik lengan suaminya, seperti sebuah kode agar ia memperlunak sikapnya. Tapi Regantara mengacuhkannya. Lelaki itu melangkah menuruni anak tangga, bersiap meninggalkan pesta yang sama sekali terasa tak nyaman itu. Ia mengacuhkan kedua wanita yang terlihat seperti sedang berada di balik topengnya itu. Melihat suaminya pergi, mau tak mau Vania mengikuti langkahnya.