“Kami sedang membicarakan salah satu kenalan kami,” sahut salah seorang di antara mereka, “ah … sudahlah, kita turun!” Kelima staff itu bergegas turun. Mata mereka meliriknya dengan tatapan sinis yang mencemooh. “Tunggu!” Vania meletakkan tangan kanannya, menahan pintu lift agar tetap terbuka, “aku mendengar semuanya dengan jelas. Aku juga tahu siapa kalian berlima.”Satu di antara mereka berbalik dan melangkah mendekati Vania. “Lalu … masalah apa denganmu?” ucapnya dengan nada mencemooh. “Tidak ada masalah denganku. Justru saat ini kalian lah yang bermasalah,” sahut Vania. Ia tersenyum dan melepaskan tangannya dari pintu lift, membiarkan pintu itu tertutup begitu saja. Sudah sejak awal mutasinya, para staff yang dulunya baik padanya berubah mencemooh. Entah apa yang membuatnya berubah. Mereka bahkan menjelek-jelekkan karena perceraiannya tanpa mengetahui alasannya. Vania menyimpan tasnya ke dalam laci di sisi mejanya. Ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Cepat ia memalin
“Kamu nemuin mamaku? Dimana dan bagaimana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar Vania dengan antusiasnya.Kerinduan yang membuncah yang terlihat jelas di matanya, membuat Regantara tak mampu menutupi kepahitan yang sempat didengarnya tadi. “Seseorang menyerahkan dia ke panti yang akan kita kunjungi,” tuturnya.“Jadi … kamu sengaja merencanakan kegiatan ini? Kamu sengaja melibatkan aku karena hal ini?” cecar Vania.“Bukan,” sahut Regantara, “ini semua kebetulan. Aku bahkan baru saja mendapatkan informasi keberadaan Bu Tiwi dari orang suruhanku.” Cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata Vania. Hatinya terasa sakit karena lagi-lagi Martin sudah membohonginya. Regantara mengulurkan tangannya, menggenggam tangan istrinya, berharap perasaan Vania bisa lebih tenang. “Semua akan baik-baik saja.” Vania terisak. Ia membayangkan malam-malam yang dihabiskan oleh ibunya di tempat yang sama sekali asing itu. Tempat dimana tak ada satupun orang yang dikenal dan bisa menjadi tumpuan hid
“Kasus ini sebenarnya belum pernah kutangani” ucap dokter Rikard saat Vania menemuinya, “kami sudah mengambil foto thorax nya. Dan Anda bisa lihat, kondisi paru-parunya tidak bisa dibilang baik-baik saja.”Lelaki berusia lebih dari lima puluhan itu menunjukkan bagian paru yang memperlihatkan keanehannya itu. “Seperti kabut tebal yang mengisi di kedua sisinya,” lanjutnya berusaha menjelaskan apa yang terjadi secara gamblang, “dan saya tidak bisa memprediksi sampai sejauh mana Ibu Pratiwi bisa bertahan.”“Tolong, dok. Lakukan apapun untuk menyelamatkannya,” pinta Vania. “Saya tidak berani melakukan apa-apa. Ibu Pratiwi terlihat sangat lemah. Terlalu beresiko untuk melakukan operasi apalagi di usianya saat ini, ditambah lagi dengan tekanan darahnya yang tidak stabil,” lanjut dokter Rikard menambahi, “jadi saya cuma menyarankan terapi obat saja sebagai alternatif pengobatannya. Saya harap obat itu bisa memperlambat prosesnya.”Tubuh Vania terasa lemas, badannya serasa melayang saat mend
“Aku bahkan tidak yakin orang tuamu akan merestui pernikahan kita, seandainya ia tahu bahwa aku cuma seorang janda,” sahut Vania pesimis.“Mereka tidak bisa melarangku. Aku bisa melakukan apapun, bahkan menentukan pasangan hidupku,” balas Regantara, “aku tidak pernah melakukan apa yang membuatku akan merasa tak nyaman.”Vania tahu apa yang dimaksud olehnya adalah tentang perjodohan yang dirancang oleh orang tuanya beberapa saat lalu. “Lalu … tentang mamaku? Apa mencari informasi tentangnya juga membuatmu nyaman?”“Tentu saja,” sahutnya cepat, “aku akan merasa nyaman jika istriku tidak lagi mengigau meratapi ibunya yang hilang.” Vania seperti tersentak kembali mendengar penuturan suaminya. Jadi alasan Regantara mencari ibunya adalah karena ia mengigau memanggilnya. Lelaki itu justru tersenyum melihat Vania terkejut. Ia tahu bagaimana cara menyenangkan hati istrinya. Bukan dengan semua barang mewah yang pasti bisa dengan mudah didapatkannya, melainkan dengan tindakan nyata dan perhat
“Aku cuma … memberitahu dia bagaimana cara menghargai dan menikmati kehidupan,” sahut Martin tanpa rasa bersalah, “bukan cuma membersihkan telur busuk yang dilemparkan tetangga karena ulahmu.”“Tutup mulutmu, Martin!” teriak Andini. Tangannya langsung melayang hendak menampar mulut lelaki yang masih mengumbar auratnya. Tapi Martin dengan sigap menangkap lengannya. Ia meremasnya hingga perempuan itu kesakitan. “Kamu nggak berhak untuk menyuruhku diam,” sahut Martin, “aku sudah capek ngalah sama kamu. Kamu terlalu egois untuk mengerti apa yang aku mau. Padahal aku sudah banyak berkorban buat kamu.” “Lepaskan, brengsek!” teriak Andini. Ia menghentakkan tangannya mencoba melepaskan cengkraman tangan lelaki itu. “Kamu itu cuma benalu yang hidup dari keringat perempuan. Kamu cuma laki-laki mo – kon – do, yang tak berdaya di bawah ketiak perempuan. Dan ketika perempuan itu sudah habis saripatinya, kamu cari perempuan bodoh lain yang bisa kau manfaatin. Tapi sayang, aku nggak sebodoh itu b
Anin berdiri tepat di hadapan Vania. Matanya menatap penuh rasa curiga pada kedua orang di hadapannya. Bagaimana tidak, ia mendapati rekan sekretarisnya berada bersama CEO nya di rumah sakit ini pada jam selarut ini. Jam 11 malam!Tidak ada satupun kerabat di jajaran direksi yang sedang sakit dan mendapat perawatan di sini. Bahkan klinik rawat jalan hanya tersisa beberapa pasien obgyn saja yang masih mengantri. Hal ini membuat pikiran Anin menjadi tak karuan. Mulai dari kemungkinan kehamilan Vania, sampai pada aborsi yang mungkin dilakukannya. Vania tak tahu harus bagaimana menanggapi pertanyaan Anin, terutama karena Regantara ada bersamanya. Ia masih belum siap untuk memberitahu Anin bahwa mereka berdua sudah menikah. Tentu saja, apapun yang akan dikatakannya, ia akan tetap terlihat buruk. Ia pasti akan dianggap salah karena terlalu cepat mengakhiri masa lajangnya. Rasa canggung itu segera dihilangkannya saat dilihatnya Regantara melangkah dengan kecepatan yang sama dan berlalu b
“Mami! Kenapa mami kemari?” “Karena mami ingin tahu, perempuan seperti apa yang bisa mencuri hatimu, hingga bisa melepaskan perempuan hebat seperti Tasya,” sahut perempuan berbalut gaun mewah lui vitong itu dengan ketus.“Untuk apa? Itu tidak akan mengubah keadaan. Aku menikah dengan perempuan manapun, Regantara Group tidak akan pernah berpindah ke tangan Beniqno,” sahut Regantara dengan tenangnya. Ia tahu kunjungannya tidak lain hanya untuk mencari celah agar saudara tirinya itu mendapatkan kesempatan mengambil alih perusahaan keluarganya. “Ayolah, kamu jangan terlalu picik. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi kenapa kamu masih belum juga bisa menerima kehadiranku?” cecar perempuan cantik yang hanya terpaut belasan tahun darinya itu. “Mami yang terlalu picik karena berharap anak mami bisa mendapatkan semuanya.”“Regan, mami yang selama ini merawat papa kamu. Mami yang melakukan semuanya. Tapi kamu masih tega menuduh mami seperti itu?” “Kalau begitu katakan, apa motivasi mami menik
Vania mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tatapan mata lelaki muda di depannya terlihat mengintimidasinya, seakan hendak menelanjanginya di depan banyak orang. Ia benar-benar risih karenanya. Lelaki muda itu tersenyum sinis sembari menyodorkan tangannya pada Vania. Permulaan dari ujian yang harus mereka hadapi malam ini. “Beniqno. Panggil saja aku, Ben,” ucapnya sembari mengangkat dan mengecup punggung tangan Vania, “atau baby juga boleh.” Vania langsung menarik kembali tangannya. Ia merasa muak pada lelaki di hadapannya. Bukan karena penampilannya, tetapi tentang perilakunya yang sama sekali tak pantas pada seorang wanita bersuami. Lelaki itu seperti seperti sengaja berlaku tidak sopan untuk melecehkannya.“Ben, jaga sikapmu. Jangan sampai semua orang menganggapmu ….” “Kamu yang seharusnya menjaga sikap,” ujar seorang wanita yang tiba-tiba menegurnya dari anak tangga terbawah lantai atas rumah kediaman Regantara, “bukankah seharusnya kamu menyapa papa kamu terlebih dahulu?”Vania
“Alisha!” teriak Regantara. Lelaki itu segera menarik bedcover untuk menutup bagian tubuhnya yang terekspos. “Maaf Kak,” ucap Alisha yang langsung menutup pintu kamar itu kembali. Mood mereka langsung menghilang karena peristiwa itu. …. Suasana di meja makan pagi itu sepi, tidak seperti biasanya. Alisha tidak lagi berceloteh. Gadis itu bahkan menghabiskan sarapannya jauh lebih cepat dari biasanya. “Aku hampir terlambat,” sahutnya ketika Vania mencoba mengajaknya bicara. Dan benar, selang beberapa saat kemudian ia berlari keluar. Ia menyalakan motor maticnya dan berangkat ke sekolahnya. Kaki Vania menyenggol kaki suaminya sebagai kode. Ia merasa perubahan sikap Alisha masih ada hubungannya dengan peristiwa semalam. Sungguh situasi yang sangat canggung. Mereka tak bisa sepenuhnya mempersalahkan Alisha yang langsung membuka pintu kamar mereka. Bagaimanapun mereka juga bersalah karena lebih mementingkan hasratnya dan melalaikan kewajibannya menutup pintu. “Papa suda
“Apa yang mau Papa lakukan jika bertemu kembali dengan mama?” tanya Regantara, “aku tidak akan pernah ijinkan Papa bertemu mama jika Papa hanya ingin menyakiti hati mama lagi.”“Papa sudah dengar semuanya,” ucap lelaki tua itu. Raut wajah sendunya memperlihatkan dengan jelas penyesalannya. “Kenapa kamu tidak memberitahu papa? Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi.” “Seandainya pun aku memberitahu Papa, apa mungkin Papa akan percaya?” Sahut Regantara dengan perasaan getir, “saat itu Papa sibuk dengan selingkuhan Papa yang menuntut tinggal di rumah ini. Aku masih ingat ketika perempuan jalang itu masuk ke rumah ini bersama dua anaknya. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukan mama di belakang Papa.” Vania meremas lengan suaminya. Ia tidak suka melihat suaminya menciptakan perasaan bersalah pada pemilik tubuh renta di hadapan mereka. Seharusnya ia dapat hidup dengan damai di usia senjanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutomo menghela napas dengan berat. Sepasang matanya
“Nggak ada apa-apa. Pasti cuma mati lampu biasa. Sebentar lagi juga pasti nyala,” bisik Regantara menenangkan istrinya. Ia mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke dalam kamar mereka. Untung saja cahaya bulan dari jendela besar apartemennya cukup berguna malam itu. “Sepertinya kita memang harus melanjutkan misi kita malam ini,” goda Regantara disambut cubitan ringan di pinggangnya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Vania. “Sayang, pernikahan seperti apa yang sebenarnya kamu impikan?” tanya Regantara, “apakah itu tentang mengundang banyak orang, memakai gaun putih dengan dekorasi yang penuh bunga?” “Aku tidak mau. Bagaimana kalau pernikahan itu gagal? Aku nggak mau merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya,” sahut Vania, “jujur aku tak akan sanggup jika kegagalan yang sama kembali terulang. Mungkin aku bisa terlihat setegar ini, tapi sebenarnya hatiku —”Regantara menghentikan ucapan istrinya dengan sebuah kecupan. Ia memagut dengan penuh hasrat, menikmatinya, seakan h
Vania meletakkan beberapa foto yang didapatnya dari seorang pemegang saham. Ia tak bisa menyangkal kalau hatinya terasa sakit saat melihat lembaran foto yang memperlihatkan bahwa suaminya sedang tidur bersama gadis lain. Namun ia dituntut profesional, apalagi saat ini ia sedang melakukan tugasnya, sebagai seorang sekretaris. Ia tidak seharusnya melibatkan perasaannya. Regantara menatap foto-foto di depannya. Foto yang memperlihatkan betapa intimnya hubungannya dengan Alisha. Sesaat ia menghela napas sambil melirik tajam pada istrinya, mencari sirat kecemburuan di wajahnya nan ayu. “Tentang peristiwa ini, aku berhak untuk diam karena ini terlalu privacy dan aku tidak ingin melukai siapapun dengan pernyataanku,” ucap Regantara, “tapi aku bisa menjamin, nilai saham kita akan melesat naik di minggu berikutnya. Aku sudah menindaklanjuti pemberitaan itu dan orang-orang yang berniat buruk padaku juga sudah diamankan oleh para penegak hukum.” Kegaduhan kembali terdengar di dalam ruangan it
Tangan perempuan itu mendarat di pipi Alisha. Lebam di kulitnya yang pucat, memperlihatkan betapa keras tamparan sang ibu. “Ma!” protes gadis itu, “dia itu kakak kandungku. Apa yang harus aku lakukan kalau aku hamil? Nikahin dia? Aku nggak gila!” “Dia bukan kakak kamu. Dia bukan anak mama. Dia anak suami pertama mama. Puas kamu!” Alisha ternganga mendengar jawaban ibunya. Ia tidak menyangka bahwa perempuan yang telah melahirkannya itu hatinya telah tertutup oleh ketamakannya. Ia bahkan tidak menyangkal telah berkontribusi dalam menciptakan kegaduhan itu. “Biarpun dia bukan anak mama, tapi bukan berarti mama bisa mengijinkan dia merusak masa depanku!” Protes Alisha lagi, “seharusnya mama ngelindungi Alisha, bukan malah sebaliknya, mama mendorongku ke dalam jurang yang tak berujung.”“Alisha!” Gadis itu menjauh dari ibunya. Entah kenapa ia merasa jijik dan benci pada ibunya. “Alisha! Semua ini buat kamu. Kejadian semalam adalah cara kami memberikan kartu as buat kamu untuk memeras
“Syukurlah, akhirnya kamu pulang juga,” ucap Vania yang semalaman tidak bisa tidur karena menunggu suaminya pulang. Ia menatap lelaki itu dengan heran. Dari mimik wajahnya, ia bisa menebak sesuatu telah terjadi. “Kamu nggak papa kan, sayang?” tanyanya menyelidik.Regantara mengendurkan ikatan pada dasinya. Wajah dan rambutnya terlihat masih berantakan. Hal itulah yang membuat firasat Vania semakin kuat bahwa telah terjadi sesuatu semalam tadi. Vania menghampirinya, menangkup pipi suaminya dengan kedua tangannya untuk mensejajarkan pandangannya. “Hei, sayang. Apa yang terjadi? Kamu nggak papa kan?”“Dia menjebakku,” ucapnya lirih, “sepertinya aku terlalu naif, karena mengharapkan mereka berubah. Mereka tidak akan berubah. Serigala tidak akan berubah menjadi domba.” Vania melepaskan tangannya. Ia berusaha memahami kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Namun kalimat yang keluar, terlalu rumit untuk dipahaminya. “Siapa? Maksudmu …. Papa kamu? Ibu tiri kamu, atau saudara tirimu?”
Beniqno menatap tubuh molek adiknya. Adik yang lahir dari rahim yang sama dengannya walau lain ayah itu bahkan membuatnya merasa gerah. Bagaimana tidak, kebiasaan Alisha terlalu aneh baginya. Adik perempuannya itu selalu tidur hanya dengan memakai selembar celana dalam saja. Ia selalu menanggalkan semua pakaiannya dengan alasan itu lebih sehat. Tapi menurut Ben alasan itu hanyalah bullshit semata.Tapi kali ini justru hal ini menguntungkan baginya. Perlahan ia membaringkan tubuh Regantara di samping Alisha. Bukan hanya itu, ia melucuti satu demi satu pakaiannya dan melemparkannya sembarangan. Ia sudah menyelesaikan bagiannya. Tapi … ia menatap tubuh adiknya. Kain segitiga yang menutup bagian di antara kedua pahanya itu akan membuat Regantara curiga. Ia tidak boleh gagal. Perlahan ia melepaskan kain tipis itu, membiarkan surga yang didambakan para kaum adam itu terpampang nyata. Ben menelan kasar salivanya. Sebagai lelaki normal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin menikmatinya
“Rumah itu bisa rusak jika tidak ada yang menempati. Dan aku tidak ingin menyia-nyiakan uang hasil keringat suamiku,” ucap Vania. Ia menoleh melewati pundaknya, menatap wanita yang tampak tak terusik oleh percakapan mereka. “Aku rasa rumah itu cocok untuk kita tinggali bersama mereka,” lanjutnya. “Mereka?” ulang Regantara. Ia tersenyum seolah mulai bisa membaca apa yang diinginkan oleh suaminya. “Kamu sudah membeli rumah itu, merombaknya dan membangun sebuah istana di atasnya. Bukankah itu sangat ideal bagi keluarga kita untuk tinggal di dalamnya?” tutur Vania, “mamaku dan mama Maya juga butuh perhatian lebih dari kita. Dan … anak-anak kita nanti juga akan butuh ruang yang lebih luas untuk mereka tumbuh besar.” Regantara menatap istrinya dengan bahagia. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu sexy. Digenggamnya tangan perempuan itu dengan penuh hasrat ia mengecup punggung tangannya. “Aku akan memikirkan usulmu untuk pindah dari apartemen itu, Sayang. Tapi sebel
“Dia sudah mendapatkan ganjarannya,” gumam Regantara.Vania menatap keluar jendela. Diamatinya kericuhan yang terjadi di dalam rumah itu. Seharusnya dia merasa senang karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. Bahkan melebihi ekspektasinya. Martin mungkin akan dihukum berat karena apa yang sudah diperbuatnya. Tapi ternyata justru ia tidak merasa senang. Ia tidak pernah membayangkan bahwa sebuah nyawa akan melayang karena ulah mantan suaminya itu. Walau ia tidak tahu siapa yang ada di dalam kantong jenazah yang diangkut dari dalam rumah, tapi tak urung hatinya merasa tak tenang. “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bertindak sejauh itu,” gumam Vania, “mama memang nggak salah menilainya sejak awal. Hanya aku saja yang terlalu bodoh menganggapnya lelaki baik-baik hingga mau diajaknya berjuang dari nol.” Regantara mengusap rambut kekasihnya dengan lembut. “Bukan. Itu bukan salahmu. Mungkin saat itu kamu memang masih terlalu naif sehingga dibutakan oleh perasaan cinta. Dan sat