Pisau itu terayun menyerempet lengan Regantara. Lengan kemeja putih yang dikenakannya pun menjadi merah karena noda darah. Namun itu tak membuat Dul Botak merasa puas dan menghentikan serangannya. Ia kembali mengayunkan pisau bermata dua di tangannya dengan gerakan yang cepat. Regantara muda dengan gesit mengelak ke samping dan memukul pergelangan tangan Dul Botak dengan tangannya, hingga membuat lelaki berkulit gelap itu kesakitan. Pisau terlepas begitu saja dari genggaman tangan Dul Botak, seolah sang takdir memberikan waktu untuk pemuda itu kabur menghindari pertarungan yang mulai tak seimbang itu. “MUNDUURRR!!” teriaknya pada kawan-kawannya. Ia tak mau ada korban ataupun pertumpahan darah di antara kawan-kawannya. Bukan karena takut, tapi karena adanya senjata tajam. Ia berlari tanpa tahu arah, menyelinap di antara deretan bangunan. Hingga suara langkah Dul Botak yang mengejarnya tak lagi terdengar. Napasnya terengah dipadu dengan debaran jantungnya yang sangat cepa
Mobil di depan mereka menghidupkan lampu jauhnya, sengaja membuat kedua makhluk di dalamnya kelabakan. “Sialan!” umpatnya sambil mengarahkan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya terang itu masuk ke matanya. Ia baru saja membuka pengunci pintu mobilnya, hendak menegur siapapun yang sengaja melakukan hal menyebalkan itu. Tapi Vania segera meraih tangannya dan menghentikan niatnya. “Jangan,” pintanya, “kita pulang saja, ya.” Masih dengan perasaan kesal, lelaki itu memutar kemudinya dan berlalu dari tempat itu. Semua berjalan sesuai rencana. Seperti yang telah disepakati oleh semua pihak, kedua artis terpilih akan tampil bersama dalam event Festival Gemerlap Buana yang disponsori oleh Adiguna Regantara Group. Para penonton yang hadir, telah memadati gedung convention. Panggung gemerlap yang sengaja disediakan, telah tertata dengan layar besar sebagai backgroundnya. Sebuah pertanda bahwa sebuah even spektakuler akan segera dimulai. “Kamu nggak papa, Vin?” tanya Andini yang ter
Teriakan Vania membuat orang-orang yang sibuk berlarian sepanjang lorong itu berhenti. Mereka seakan lupa dengan hal yang harus dilakukannya demi suksesnya even besar itu. Kaki-kaki itu justru melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan pintu ruang rias dengan tatapan beku pada sepasang insan yang berlomba mereguk nikmatnya dunia. Lelaki itu terkejut saat pintu terbuka. Ia langsung menarik miliknya dan dengan tergesa memakai kembali celana dinasnya. “Bu–bukan seperti yang kalian lihat. Dia … dia menjebakku,” ucap lelaki itu. Jarinya menunjuk ke arah Andini yang berusaha menutup tubuh polosnya dengan gaun yang masih dalam jangkauannya. “Aku memintamu mengantarnya pulang. Tapi kenapa kamu justru mencelakai dia?” Vania mematikan ponselnya dan mendekati Andini. Diraihnya taplak meja yang ada di dalam ruangan itu, untuk menutup bagian yang masih terekspos.Namun tanpa di duganya, Andini mencekal tangannya. Dari wajah frustasinya, Vania tak bisa menebak apa yang diinginkannya. Sebua
“Kami sedang membicarakan salah satu kenalan kami,” sahut salah seorang di antara mereka, “ah … sudahlah, kita turun!” Kelima staff itu bergegas turun. Mata mereka meliriknya dengan tatapan sinis yang mencemooh. “Tunggu!” Vania meletakkan tangan kanannya, menahan pintu lift agar tetap terbuka, “aku mendengar semuanya dengan jelas. Aku juga tahu siapa kalian berlima.”Satu di antara mereka berbalik dan melangkah mendekati Vania. “Lalu … masalah apa denganmu?” ucapnya dengan nada mencemooh. “Tidak ada masalah denganku. Justru saat ini kalian lah yang bermasalah,” sahut Vania. Ia tersenyum dan melepaskan tangannya dari pintu lift, membiarkan pintu itu tertutup begitu saja. Sudah sejak awal mutasinya, para staff yang dulunya baik padanya berubah mencemooh. Entah apa yang membuatnya berubah. Mereka bahkan menjelek-jelekkan karena perceraiannya tanpa mengetahui alasannya. Vania menyimpan tasnya ke dalam laci di sisi mejanya. Ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Cepat ia memalin
“Kamu nemuin mamaku? Dimana dan bagaimana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar Vania dengan antusiasnya.Kerinduan yang membuncah yang terlihat jelas di matanya, membuat Regantara tak mampu menutupi kepahitan yang sempat didengarnya tadi. “Seseorang menyerahkan dia ke panti yang akan kita kunjungi,” tuturnya.“Jadi … kamu sengaja merencanakan kegiatan ini? Kamu sengaja melibatkan aku karena hal ini?” cecar Vania.“Bukan,” sahut Regantara, “ini semua kebetulan. Aku bahkan baru saja mendapatkan informasi keberadaan Bu Tiwi dari orang suruhanku.” Cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata Vania. Hatinya terasa sakit karena lagi-lagi Martin sudah membohonginya. Regantara mengulurkan tangannya, menggenggam tangan istrinya, berharap perasaan Vania bisa lebih tenang. “Semua akan baik-baik saja.” Vania terisak. Ia membayangkan malam-malam yang dihabiskan oleh ibunya di tempat yang sama sekali asing itu. Tempat dimana tak ada satupun orang yang dikenal dan bisa menjadi tumpuan hid
Martin mengecup perut Andini, membuat tubuh wanita muda itu menggelinjang. Suara desahnya dan gerakan sensualnya memancing hasrat kaum adam. "Beb," ucapnya sembari menepis tangan lelaki yang semula bermain di dalam ceruknya. "Kenapa?" tanya Martin kebingungan karena penolakan Andini yang sangat tiba-tiba. "Kita hentikan saja. Aku nggak mau Intan anak kita harus menderita karena orang tua seperti kita." "Beb." Martin mengurut keningnya. Kepalanya terasa pening karena harus menahan libidonya. "Aku pasti akan buat kalian berdua bahagia." "Buktikan! Buktikan sekarang," tuntut Anjani, "putri kecil kita butuh banyak uang. Tapi ... kamu bahkan hanya mengandalkan uangku." Mendengar kalimat itu, membuat darah Martin mendidih. Ia bergegas pulang ke rumahnya. “Vania! Vania!” Martin berteriak sangat kencang disusul dengan suara debum pintu yang terbanting ke dinding. “Kamu ini budek apa tuli? Mana kunci motornya?” teriak laki-laki itu. Sepasang matanya melotot menatap perempuan yang
Perasaan Vania masih tak nyaman pagi itu, namun ia tak bisa mengabaikan pekerjaan yang harus dihadapinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Agus, personalia perusahaan tempatnya bekerja, hari ini dia dialihtugaskan. Dia harus menggantikan posisi Arumi, sekretaris CEO nya yang entah kenapa diberhentikan. Konon Pak Regantara Handoro adalah sosok makhluk yang tak mudah cocok dengan orang lain. Dan itu terbukti dengan deretan nama sekretaris yang pernah bekerja bersamanya. Tidak ada satupun yang bertahan lebih dari enam bulan. Vania turun dari taxi online yang dipesannya. Ia menghela napas, berusaha melupakan kejadian semalam yang dialaminya. Bagaimanapun ia harus profesional, ia harus bisa memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadinya. Namun hardikan suaminya seakan terus terngiang di telinganya. “Kalau kamu nggak bisa nerima keputusanku, sebaiknya kita berpisah!” Sebodoh itu dulunya ia menerima lamaran Martin yang hanya seorang pengangguran karena sikap manisnya. Sebodoh
Setelah melakukan semua yang diinginkan oleh Regantara, Vania kembali menghadap. Tentu saja dengan perasaan yang masih tak nyaman karena telah melakukan banyak kesalahan sepagi ini. Seandainya saja ia fokus dan tidak memikirkan perkataan Martin semalam, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Bagaimana bisa dia tak menyadari dan masuk ke ruangan pimpinannya dengan bertelanjang kaki. Sungguh memalukan! Rega menatap sekilas sekretaris barunya yang kini terlihat lebih segar. Dengan acuh ia kembali berkutat dengan pekerjaan di hadapannya. “Kamu sudah mendapat catatan agenda kegiatan yang harus aku kerjakan hari ini?” “Sudah Pak,” sahutnya, “Anda harus menemui beberapa relasi dan menghadiri sebuah rapat dengan para pemegang saham di jam empat sore nanti.” Vania menyebutkan semua agenda yang didapatnya dari meja sekretaris terdahulu. Seharusnya semua tertulis cukup rapi dan semua terlihat sangat teratur. Hal itu membuatnya semakin penasaran dengan alasan Arumi diberhentikan hanya semin