Silvia segera kembali ke kamarnya. Ia segera menenggelamkan diri ke dalam selimutnya. Bayangan tantenya yang meracau dengan wajah erotisnya saat Martin menyesap di ceruk kenikmatannya, membuat dirinya tak dapat menahan hasratnya. Ia bergelung dalam selimutnya, sementara jemari tangannya mulai bergerak menyentuh miliknya sendiri. Ia membayangkan jemarinya adalah pamannya yang sedang bermain di dalam ceruk kenikmatan miliknya.“Ugh ….” Desahnya saat menemukan titik yang meninggalkan sensasi yang hebat. Tapi rasanya sama sekali berbeda. Ia lebih suka jika Martin yang melakukannya. Ah … seandainya saja tadi ia tidak menolak Martin.Vania mengerjapkan matanya saat sinar matahari mengenai wajahnya. Ia tersipu saat mengingat betapa panasnya aktifitasnya dengan suaminya semalam. Bahkan ia masih bisa merasakan kehangatan yang tersisa.Ditatapnya lelaki yang masih lelap dalam tidurnya itu dengan penuh kekaguman. Menikahi Regantara sama sekali bukan impiannya. Mereka bahkan disatukan nasib kar
“Jangan katakan kamu tidak mempertaruhkan perasaanmu dengan cara yang konyol. Bukankah kita menikah karena sebuah surat perjanjian?” Protes Vania. “Tapi ini dua hal yang berbeda. Aku bertaruh dengan waktu untuk mendapatkan cinta darimu,” sahut Regantara. Lelaki itu meraih tangan istrinya dan mengecupnya dengan lembut. “Dan dewi fortuna pun sepertinya mendukungku,” lanjutnya, “dia membuatmu jatuh cinta padaku.” Vania tersenyum dengan canggung. Ia merasa tak nyaman dengan gaunnya yang terlalu minim, baik di bagian atas maupun di bagian bawah. Beberapa kali ia berusaha menarik turun dan naik gaun cantik itu. “Astaga, semoga acara itu bukan pesta kebun,” gumamnya, “aku bisa masuk angin karena gaun ini.” Regantara tertawa. “Jangan khawatir, aku siap menjadi selimut yang bisa menghangatkanmu kapanpun,” godanya. Vania membalas senyuman itu dengan kesal. “Wow … lihat siapa yang datang!” Suara bariton itu membuat orang-orang di sekitar Vania menolehkan kepalanya. Regantara segera m
Pisau itu terayun menyerempet lengan Regantara. Lengan kemeja putih yang dikenakannya pun menjadi merah karena noda darah. Namun itu tak membuat Dul Botak merasa puas dan menghentikan serangannya. Ia kembali mengayunkan pisau bermata dua di tangannya dengan gerakan yang cepat. Regantara muda dengan gesit mengelak ke samping dan memukul pergelangan tangan Dul Botak dengan tangannya, hingga membuat lelaki berkulit gelap itu kesakitan. Pisau terlepas begitu saja dari genggaman tangan Dul Botak, seolah sang takdir memberikan waktu untuk pemuda itu kabur menghindari pertarungan yang mulai tak seimbang itu. “MUNDUURRR!!” teriaknya pada kawan-kawannya. Ia tak mau ada korban ataupun pertumpahan darah di antara kawan-kawannya. Bukan karena takut, tapi karena adanya senjata tajam. Ia berlari tanpa tahu arah, menyelinap di antara deretan bangunan. Hingga suara langkah Dul Botak yang mengejarnya tak lagi terdengar. Napasnya terengah dipadu dengan debaran jantungnya yang sangat cepa
Mobil di depan mereka menghidupkan lampu jauhnya, sengaja membuat kedua makhluk di dalamnya kelabakan. “Sialan!” umpatnya sambil mengarahkan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya terang itu masuk ke matanya. Ia baru saja membuka pengunci pintu mobilnya, hendak menegur siapapun yang sengaja melakukan hal menyebalkan itu. Tapi Vania segera meraih tangannya dan menghentikan niatnya. “Jangan,” pintanya, “kita pulang saja, ya.” Masih dengan perasaan kesal, lelaki itu memutar kemudinya dan berlalu dari tempat itu. Semua berjalan sesuai rencana. Seperti yang telah disepakati oleh semua pihak, kedua artis terpilih akan tampil bersama dalam event Festival Gemerlap Buana yang disponsori oleh Adiguna Regantara Group. Para penonton yang hadir, telah memadati gedung convention. Panggung gemerlap yang sengaja disediakan, telah tertata dengan layar besar sebagai backgroundnya. Sebuah pertanda bahwa sebuah even spektakuler akan segera dimulai. “Kamu nggak papa, Vin?” tanya Andini yang ter
Teriakan Vania membuat orang-orang yang sibuk berlarian sepanjang lorong itu berhenti. Mereka seakan lupa dengan hal yang harus dilakukannya demi suksesnya even besar itu. Kaki-kaki itu justru melangkah mendekat dan berhenti tepat di depan pintu ruang rias dengan tatapan beku pada sepasang insan yang berlomba mereguk nikmatnya dunia. Lelaki itu terkejut saat pintu terbuka. Ia langsung menarik miliknya dan dengan tergesa memakai kembali celana dinasnya. “Bu–bukan seperti yang kalian lihat. Dia … dia menjebakku,” ucap lelaki itu. Jarinya menunjuk ke arah Andini yang berusaha menutup tubuh polosnya dengan gaun yang masih dalam jangkauannya. “Aku memintamu mengantarnya pulang. Tapi kenapa kamu justru mencelakai dia?” Vania mematikan ponselnya dan mendekati Andini. Diraihnya taplak meja yang ada di dalam ruangan itu, untuk menutup bagian yang masih terekspos.Namun tanpa di duganya, Andini mencekal tangannya. Dari wajah frustasinya, Vania tak bisa menebak apa yang diinginkannya. Sebua
“Kami sedang membicarakan salah satu kenalan kami,” sahut salah seorang di antara mereka, “ah … sudahlah, kita turun!” Kelima staff itu bergegas turun. Mata mereka meliriknya dengan tatapan sinis yang mencemooh. “Tunggu!” Vania meletakkan tangan kanannya, menahan pintu lift agar tetap terbuka, “aku mendengar semuanya dengan jelas. Aku juga tahu siapa kalian berlima.”Satu di antara mereka berbalik dan melangkah mendekati Vania. “Lalu … masalah apa denganmu?” ucapnya dengan nada mencemooh. “Tidak ada masalah denganku. Justru saat ini kalian lah yang bermasalah,” sahut Vania. Ia tersenyum dan melepaskan tangannya dari pintu lift, membiarkan pintu itu tertutup begitu saja. Sudah sejak awal mutasinya, para staff yang dulunya baik padanya berubah mencemooh. Entah apa yang membuatnya berubah. Mereka bahkan menjelek-jelekkan karena perceraiannya tanpa mengetahui alasannya. Vania menyimpan tasnya ke dalam laci di sisi mejanya. Ia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Cepat ia memalin
“Kamu nemuin mamaku? Dimana dan bagaimana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar Vania dengan antusiasnya.Kerinduan yang membuncah yang terlihat jelas di matanya, membuat Regantara tak mampu menutupi kepahitan yang sempat didengarnya tadi. “Seseorang menyerahkan dia ke panti yang akan kita kunjungi,” tuturnya.“Jadi … kamu sengaja merencanakan kegiatan ini? Kamu sengaja melibatkan aku karena hal ini?” cecar Vania.“Bukan,” sahut Regantara, “ini semua kebetulan. Aku bahkan baru saja mendapatkan informasi keberadaan Bu Tiwi dari orang suruhanku.” Cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mata Vania. Hatinya terasa sakit karena lagi-lagi Martin sudah membohonginya. Regantara mengulurkan tangannya, menggenggam tangan istrinya, berharap perasaan Vania bisa lebih tenang. “Semua akan baik-baik saja.” Vania terisak. Ia membayangkan malam-malam yang dihabiskan oleh ibunya di tempat yang sama sekali asing itu. Tempat dimana tak ada satupun orang yang dikenal dan bisa menjadi tumpuan hid
“Kasus ini sebenarnya belum pernah kutangani” ucap dokter Rikard saat Vania menemuinya, “kami sudah mengambil foto thorax nya. Dan Anda bisa lihat, kondisi paru-parunya tidak bisa dibilang baik-baik saja.”Lelaki berusia lebih dari lima puluhan itu menunjukkan bagian paru yang memperlihatkan keanehannya itu. “Seperti kabut tebal yang mengisi di kedua sisinya,” lanjutnya berusaha menjelaskan apa yang terjadi secara gamblang, “dan saya tidak bisa memprediksi sampai sejauh mana Ibu Pratiwi bisa bertahan.”“Tolong, dok. Lakukan apapun untuk menyelamatkannya,” pinta Vania. “Saya tidak berani melakukan apa-apa. Ibu Pratiwi terlihat sangat lemah. Terlalu beresiko untuk melakukan operasi apalagi di usianya saat ini, ditambah lagi dengan tekanan darahnya yang tidak stabil,” lanjut dokter Rikard menambahi, “jadi saya cuma menyarankan terapi obat saja sebagai alternatif pengobatannya. Saya harap obat itu bisa memperlambat prosesnya.”Tubuh Vania terasa lemas, badannya serasa melayang saat mend