Andini semakin gelisah ketika nama Vina Laura disebutkan. Perempuan itu beberapa kali menoleh menatap sekelilingnya, seolah mencari sesuatu. Sementara itu Vania segera beranjak menuju ke hadapan para juri. Raut wajahnya tegang, seakan hendak menempuh ujian terberat dalam hidupnya. Senyum yang dilontarkannya pada para juri, terlihat canggung karena wajahnya seakan membeku. “Vina, bagaimana perasaanmu setelah terpilih menjadi bintang utama dalam Festival Gemerlap Buana yang akan diselenggarakan minggu depan?” tanya sang pembawa acara.Vania memaksakan seulas senyuman. Tak bisa dipungkirinya, dia merasa bahagia. Bagaimanapun ini adalah pertama kali baginya, dan bahkan debutnya diawali dengan penampilannya di ajang semegah itu. Ini seperti mimpi. Walau ia mencurigai ada campur tangan Regantara yang tanpa diduganya muncul sebagai juri tamu hari ini.“Terima kasih saya sampaikan kepada para juri yang sudah memberikan kesempatan bagi saya,” ucap Vania,”saya akan berusaha mempergunakan kese
Vania masih mengingat kalimat yang terucap dari mulut Tasya sore tadi. Wanita yang mengaku sebagai calon istri Regantara itu jelas adalah pilihan orang tua suaminya. Ia bahkan terlihat lebih cantik dan menarik daripadanya. Tubuhnya yang tinggi semampai, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang hanya 158 centi saja. Ukuran normal perempuan nusantara. Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Tapi ia hanya menahannya, karena tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah istri sah Regantara. Ia tidak bisa melakukannya, bukan hanya karena tak ingin rencana yang disusunnya dengan susah payah menjadi hancur, tetapi ia juga tak ingin membuat lelaki itu malu. Dengan perasaan kacau tak menentu, ia hanya bisa berserah diri, menahan emosinya dan pulang. Hari itu jarum jam seakan bergerak dengan lambat, tak seperti biasanya. Vania masih memikirkan ucapan yang mengalir dari bibir Tasya. Ia tak bisa menutupi pergolakan dalam hatinya. Namun saat Regantara pulan
Regantara menarik lepas dasinya, melepas manik-manik kemejanya dengan tak sabar, sementara sepasang kakinya mengunci setengah tubuh Vania untuk membuatnya tetap berada di bawah kungkungannya. “Pertama,” ucap Regantara sembari menyatukan kedua tangan Vania di atas kepalanya, “aku tidak pernah menyukai seorang wanita pun selain kamu.” Lelaki itu kembali melumat bibir Vania, membuat perempuan itu kewalahan karena tak bisa bernapas. Regantara menyesakkan lidahnya, merasakan dan mengabsen satu demi satu deretan gigi di dalam rongga mulut Vania. “Kedua, kamu adalah satu-satunya alasan aku menolak perjodohan itu,” bisik Regantara di telinga kekasihnya. Hembusan napas lelaki itu mengenai leher Vania, membuat tubuhnya berjingkat sambil menelan salivanya. Napasnya mulai terengah merasakan deburan hasrat lelaki yang sedang mengungkungnya. “Ketiga, terima kasih karena kejadian ini, aku jadi tahu perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan,” lirihnya di telinga Vania, “dan yang terakhir … aku ti
“Sial!” umpat Andini setiba di rumahnya. Umpatan itu spontan membuat putri kecilnya menangis ketakutan. Gadis yang menjadi asisten rumahnya segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, ia mulai tahu karakter tuannya.Martin yang segera menutup pintu dan meraih tubuh wanitanya. Ia tahu Andini merasa kesal, tapi bagaimanapun ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. “Dengarkan aku!” teriak Martin dengan kesal, “aku sudah banyak mengeluarkan uang, waktu dan tenaga untuk membuatmu berada di titik ini. Tapi kamu sama sekali nggak bisa improve performance kamu. Lalu … kamu mau lampiaskan kesalahan kamu ke aku? Apa otak kamu udah geser?”“Martin! Aku udah kasih semua kemampuan aku,” sahut Andini tak mau kalah, “kamu aja yang malas. Harusnya tuh, kamu cari cara buat nge lobi juri biar mereka menangin aku. Atau jangan-jangan amplop itu nggak pernah sampe ke mereka!” Martin mengangkat tangan kanannya. Ia mulai muak
“Om jangan, Om,” tolak Silvia saat dirasakannya belaian sepasang tangan Martin. Satu tangan menyelinap masuk ke balik kaos longgarnya, sementara tangan lainnya masih membelai paha bagian dalamnya. Perasaannya tak menentu antara rasa gelisah, takut dan cemas. Ia tak ingin mengkhianati tante Andini yang telah mengijinkannya tinggal, bahkan memberikan pekerjaan mengurus Intan, dengan mengacau keluarganya.“Anggap saja malam ini, kamu lagi gantiin tante kamu urus Om.”“Via nggak bisa Om. Nanti tante marah.”“Urusan Andini, biar Om yang selesaikan,” rayu Martin, “sekarang Om mau gantian pijit kamu. Om mau tunjukin kalau pijatan Om bisa bikin kamu ketagihan.”Tubuh Silvia menegang. Ia tak tahu harus berbuat apa. Martin membelai wajah gadis itu. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di bibir Silvia. Karena tak mendapatkan perlawanan dari gadis itu, Martin pun merasa seperti berada di atas angin. Silvia mulai terbuai. Gadis yang muda yang memang sedang mencari jati diri
“Tapi nggak ada salahnya juga jika kita meletakkan nama Andini sebagai artis pengganti,” ucap Syerly, “tidak ada yang tahu apa yang bakalan terjadi, bukan? Bagaimana jika tiba-tiba Vina sakit?” Andini tersenyum senang saat mendengar pemilik agensinya merekomendasikan dirinya pada Regantara, lelaki paling berkuasa kedua setelah sang gubernur di kota itu. Ia tahu hampir semua acara pemilik Adiguna Regantara Group adalah even megah yang dihadiri oleh para pembesar negeri ini. Sebuah kesempatan langka untuk membranding diri di hadapan para taipan yang bahkan semua orang nantikan. Itulah sebabnya, ia berani mengambil resiko untuk mendapatkan job ini dengan segala cara. “Sebenarnya … aku yakin, itu tidak perlu. Tapi ….” Lelaki itu tersenyum pada wanita berparas anggun itu, “kamu atur saja bagaimana baiknya.” “Tentu saja, aku tidak mungkin akan membuatmu menyesal.” Syerly menarik sudut bibirnya, mengulas sebuah senyuman. Andini cepat-cepat menyelinap pergi. Ia tidak ingin ketahuan
Malam sudah larut saat Regantara pulang. Rasa penat di seluruh tubuh, tak terasa karena ia telah berhasil membujuk Tasya untuk kembali ke Jerman. Hanya satu yang ingin dilakukannya saat ini, bertemu dan menatap wajah kekasih yang seharian ini tak dijumpainya. Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Sepi seolah tak ada penghuni. Mungkin saja Vania sedang berada di kamarnya sendiri atau sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja karena sekarang Vania bukan cuma bekerja sebagai sekretarisnya.Siluet indah terlukis di kaca es kamar mandi, menjelaskan keberadaan perempuan yang telah dinikahinya seminggu ini. Perempuan yang membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertamanya itu, membuatnya tak dapat berhenti memikirkannya.Vania hampir saja menyudahi acara mandinya. Ia telah membilas bersih tubuhnya dari sabun ketika ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Dari sentuhan dan kecupan yang mendarat di punggungnya, Vania langsung dapat mengenali suaminya. “Kamu kemana saja hari ini?” tan
Pagi itu terasa sangat berbeda saat Vania datang ke kantornya. Ia merasa semua orang menatapnya penuh kebencian. Bahkan sepanjang hari, emosinya seakan sengaja dijatuhkan habis dengan tatapan yang tak dapat dipahami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. “Aku nggak bisa ngerti, Ren. Mereka melihatku seperti sampah yang menjijikkan,” keluh Vania saat jam makan siang berlangsung. Perempuan berbadan montok itu menepuk nepuk punggung Vania, seperti memintanya untuk tetap bersabar. “Udah, yang penting kamu nggak ada merugikan mereka. Biarin aja gosip itu bakal hilang dengan sendirinya.” “A– apa? Gosip?” Ulang Vania seolah tak bisa mendengar dengan jelas perkataan Renita, “gosip apa?”“Euh … itu. Mereka mempunyai sebuah grup chat. Grup tempat mereka berkicau tentang semuanya,” tutur Renita. Gadis itu seakan kehilangan nafsu makannya setelah merasa kebablasan menceritakan grup yang bahkan kerap membulinya, “grup yang menyebalkan.”Tak perlu menunggu lebih lama, sekelompok wanita duduk