Vania benar-benar tak percaya jika Regantara berhasil mendaftarkan perceraiannya hingga surat resmi berhasil diterbitkan. Tapi bagaimanapun juga ia sangat bersyukur atas segala kemudahan yang diterimanya. Karena itulah, Vania berniat untuk memberikan sesuatu sebagai balasannya. Namun Regantara sudah memiliki semuanya. Lelaki itu seakan tak membutuhkan apa-apa lagi.Hal itu membuat Vania merasa sangat risau. Dalam satu sisi, ia tidak ingin berhutang terlalu banyak, karena Regantara bahkan sudah menyediakan tempat tinggal yang layak untuknya. Tapi di sisi lain, ia tak tahu apa yang bisa diberikannya. Tiba-tiba ia teringat pada sebuah file kertas kerja yang diberikannya pada atasannya itu sebelum mereka berangkat ke acara peresmian resort. Ia menyadari sebuah kesalahan yang sudah dilakukannya. Vania mengetuk pintu kamar yang berada tak jauh dari kamarnya. Namun ia tak mendengar jawaban. Dengan sedikit keraguan, diputarnya kenop pintu untuk melihat ke dalam. Kosong! Tak ada siapapun d
“Aku mengatakan padanya bahwa aku sudah menikahimu,” sahut Regantara tanpa rasa bersalah.Suara denting benda logam terdengar saat pisau dan garpu membentur lantai saat kedua benda itu lolos dari pegangan tangan Vania. Ia benar-benar terkejut mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Sepasang matanya membulat dengan bibir menganga. Sesaat kemudian Vania sudah dapat mengendalikan rasa terkejutnya. Ia tertawa karena yakin bahwa atasannya sedang mengajaknya bercanda. Ya … tentu saja mustahil Regantara mau menikah dengan perempuan yang pernah menikah seperti Vania. Dia hanya seorang janda. Ia tahu betapa buruknya status seorang janda cerai di mata masyarakat.Dan mendapatkan cinta seorang pewaris tunggal Adiguna Regantara Group, hanyalah sebuah impian yang sangat diketahuinya, tidak akan mungkin dapat dicapainya. Regantara bagaikan bintang di langit. Terlihat dekat, namun tak dapat diraih dengan tangannya. “Astaga, Bapak bercanda? Ibu Anda pasti marah besar,” sahut Vania, menanggapi perka
Regantara menelan salivanya. Lagi-lagi ia disuguhi oleh pemandangan yang memancing hasratnya. Sebagai seorang laki-laki normal, tentu saja ia tidak bisa terus menerus menekan hasratnya. Seperti halnya malam ini, saat ia pulang dari tempat kerjanya. Ia melihat Vania tertidur di kamar tidurnya. Gaun tipis yang dikenakannya tersingkap, memperlihatkan sepasang kaki jenjangnya. Lekuk tubuhnya terlihat indah, bagaikan gitar spanyol yang sedang menunggu untuk dimainkan olehnya. Regantara melangkah mendekatinya, walau perlawanan terjadi di dalam batinnya. Keinginan untuk memuaskan hasratnya karena toh mereka telah sah sebagai suami istri dan ini adalah malam pertama mereka. Tapi ia tidak ingin dianggap memaksakan kehendaknya sendiri. Perlahan disentuhnya wajah ayu perempuan itu. Dimainkannya rambut yang menutupi sebagian wajah perempuan yang pulas dalam tidurnya itu.Dilihatnya perempuan itu mengerjapkan mata sebelum keduanya benar-benar terbuka. Perempuan itu tersenyum padanya sambil men
“Kamu tahu apa yang pernah menjadi impian terbesarku dulu?” bisik Vania di telinga suaminya. Digigitnya kecil cuping telinga lelaki itu sebelum beringsut memposisikan kepalanya di dada Regantara. Sentuhan kecil yang membuat Regantara merinding, seakan gelitik yang menghentak bangun kembali hasratnya. Lelaki itu mengatur napasnya yang masih tak teratur, sementara satu tangannya sibuk membelai garis punggung kekasihnya dengan lembut.“Apa?” tanyanya tanpa berusaha menebaknya. Saat ini ia tak ingin berpikir, ia hanya ingin menikmati setiap detik berharga yang dimilikinya. “Bernyanyi.”“Bernyanyi?” Ulang Regantara seolah kata itu terdengar aneh baginya. “Profesi yang kugeluti sebelum bekerja di perusahaanmu. Tapi aku menyerah, karena ibuku selalu cemas ketika aku mendapatkan job,” tutur Vania, “konyol bukan?”“Jadi … kamu mau kembali ke dunia musik,” tegas Regantara, “bagaimana kalau aku tidak setuju? Bagaimana mungkin kubiarkan istriku bernyanyi di depan semua orang?” “Ayolah, ini cu
Vania ingin sekali menjelaskan perasaannya. Namun bagaimanapun ia harus menghormati keputusan Regantara. Ia tahu bahwa masa lalu hanyalah masa lalu. Dan itu tak akan pernah kembali atau bahkan berubah. “Semuanya nggak penting. Karena yang paling penting, saat ini aku ada bersamamu,” ucap lelaki itu menutup perdebatan mereka. Malam bergulir begitu saja. Dan kegelapan pun terurai menjadi terang. Waktu dimana manusia mulai menyibukkan diri dengan aktivitasnya.Suara ketukan di atas lantai keramik terdengar dalam tempo yang teratur. Dengan rasa percaya dirinya, Andini memasuki studio, tempat namanya dilambungkan itu. “Audisinya dimana?” Tanyanya pada salah satu kru yang berseliweran di sekitarnya. “Di studio B,” sahut seorang gadis dengan raut wajah masa bodo nya. Andini merasa kesal. Bagaimana bisa mereka tidak peduli pada kehadirannya, seolah ia bukanlah siapa-siapa. Dia adalah Andini Soraya, sang diva yang sedang naik daun dan bahkan banyak orang sedang antri untuk menggunakan jas
Andini semakin gelisah ketika nama Vina Laura disebutkan. Perempuan itu beberapa kali menoleh menatap sekelilingnya, seolah mencari sesuatu. Sementara itu Vania segera beranjak menuju ke hadapan para juri. Raut wajahnya tegang, seakan hendak menempuh ujian terberat dalam hidupnya. Senyum yang dilontarkannya pada para juri, terlihat canggung karena wajahnya seakan membeku. “Vina, bagaimana perasaanmu setelah terpilih menjadi bintang utama dalam Festival Gemerlap Buana yang akan diselenggarakan minggu depan?” tanya sang pembawa acara.Vania memaksakan seulas senyuman. Tak bisa dipungkirinya, dia merasa bahagia. Bagaimanapun ini adalah pertama kali baginya, dan bahkan debutnya diawali dengan penampilannya di ajang semegah itu. Ini seperti mimpi. Walau ia mencurigai ada campur tangan Regantara yang tanpa diduganya muncul sebagai juri tamu hari ini.“Terima kasih saya sampaikan kepada para juri yang sudah memberikan kesempatan bagi saya,” ucap Vania,”saya akan berusaha mempergunakan kese
Vania masih mengingat kalimat yang terucap dari mulut Tasya sore tadi. Wanita yang mengaku sebagai calon istri Regantara itu jelas adalah pilihan orang tua suaminya. Ia bahkan terlihat lebih cantik dan menarik daripadanya. Tubuhnya yang tinggi semampai, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang hanya 158 centi saja. Ukuran normal perempuan nusantara. Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan bahwa laki-laki itu adalah suaminya. Tapi ia hanya menahannya, karena tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah istri sah Regantara. Ia tidak bisa melakukannya, bukan hanya karena tak ingin rencana yang disusunnya dengan susah payah menjadi hancur, tetapi ia juga tak ingin membuat lelaki itu malu. Dengan perasaan kacau tak menentu, ia hanya bisa berserah diri, menahan emosinya dan pulang. Hari itu jarum jam seakan bergerak dengan lambat, tak seperti biasanya. Vania masih memikirkan ucapan yang mengalir dari bibir Tasya. Ia tak bisa menutupi pergolakan dalam hatinya. Namun saat Regantara pulan
Regantara menarik lepas dasinya, melepas manik-manik kemejanya dengan tak sabar, sementara sepasang kakinya mengunci setengah tubuh Vania untuk membuatnya tetap berada di bawah kungkungannya. “Pertama,” ucap Regantara sembari menyatukan kedua tangan Vania di atas kepalanya, “aku tidak pernah menyukai seorang wanita pun selain kamu.” Lelaki itu kembali melumat bibir Vania, membuat perempuan itu kewalahan karena tak bisa bernapas. Regantara menyesakkan lidahnya, merasakan dan mengabsen satu demi satu deretan gigi di dalam rongga mulut Vania. “Kedua, kamu adalah satu-satunya alasan aku menolak perjodohan itu,” bisik Regantara di telinga kekasihnya. Hembusan napas lelaki itu mengenai leher Vania, membuat tubuhnya berjingkat sambil menelan salivanya. Napasnya mulai terengah merasakan deburan hasrat lelaki yang sedang mengungkungnya. “Ketiga, terima kasih karena kejadian ini, aku jadi tahu perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan,” lirihnya di telinga Vania, “dan yang terakhir … aku ti