Heppy reading All!
Pikiranku seakan dipenuhi tentang kehamilan setelah perbincanganku dengan Mbak Anggita, juga Sena. Bagaimana mungkin aku sama sekali tidak pernah terpikirkan sampai sana? Satu tahun delapan bulan, itu bukanlah waktu yang sebentar, lantas kenapa aku sama sekali tidak pernah berpikir akan hamil dan mempunyai anak dengan Mas Ryan.Awal pernikahan aku memang sengaja untuk menunda kehamilan terlebih dahulu, bukan tanpa alasan aku melakukannya. Aku hanya berjaga-jaga sebab hubunganku dengan Mas Ryan dulunya tanpa tujuan yang jelas. Bahkan aku cenderung tidak yakin akan bisa mempertahankan pernikahan kami, sehingga mencegah kehamilan adalah solusi yang paling tepat waktu itu. Agar tidak akan ada anak yang bernasib sama dengan Alshad, kedepannya. Bagaimanapun juga anak lah yang akan menjadi korban dan paling terluka dengan adanya perceraian dari kedua orang tuanya. Dan aku tidak ingin memberi luka itu terhadap anakku sendiri."Sayang!"Panggilan Mas Ryan diikuti remasan
"Kamu sudah bangun?"Suara Mas Ryan terdengar tepat di depan wajahku, tapi entah kenapa ketika aku akan membuka lebar mataku seperti ada yang menahannya. Pening yang kurasakan di kepalaku semakin kuat, sehingga aku tetap bertahan pada posisi berbaringku."Jangan dipaksakan jika masih ngantuk tidurlah, mas akan tetap di sini menjagamu," ujar Mas Ryan yang melihatku sudah bisa membuka mata dan ingin segera bangkit."Mas, kepala Nisya terasa sakit?" keluhku sambil memegangnya."Kamu demam tinggi semalam, apa sakit banget? Kita ke rumah sakit, ya," ajak Mas Ryan yang langsung kutolak dengan gelengan pelan."Apa yang sudah terjadi? Dan ini kita di mana, Mas?" Aku melihat sekeliling ruangan ini yang nampak asing bagiku."Kamu tidak ingat?"Sekali lagi aku menggeleng sambil mengingat-ingat apa yang sudah terlewatkan karena terakhir yang kuingat hanya saat aku berbincang dengan Sena, juga menanggapi ocehan Wira sel
"Mas, Nisya boleh ya, ke kantor.""Jangan dulu, Sayang! Kamu belum benar-benar pulih, lagian mas sekarang lagi sibuk dan nggak bisa keluar.""Nisya bosan, Mas, sudah tiga hari nggak keluar rumah, seenggaknya kalau di kantor, Nisya bisa bantuin Yasa, proyek yang kemarin juga belum rampung sepenuhnya dari pada Nisya nggak ngapa-ngapain di rumah.""Kamu bisa nonton sepuasnya, juga baca koleksi buku-buku yang sudah jarang kamu buka, dan masih banyak kegiatan lainya yang bisa dikerjakan di rumah."Begitu sulit bagiku melawan omongan Mas Ryan, aku diamkan saja biar dia menunggu jawabanku di seberang sana. Aku sudah jenuh berdiam diri di rumah, oke lah kalau untuk mengajar aku masih terima Mas Ryan, tidak mengijinkanku pergi. Tapi kenapa untuk ke kantor yang merupakan zona amanku bahkan aku yakin tidak akan ada orang luar yang akan berniat jahat terhadapku di sana Mas Ryan juga melarangnya."Sayang!"
"Kaki sebelah kirinya patah, jadi untuk sementara waktu biarkan dia lebih banyak beristirahat. Tapi bila bosan boleh ajak jalan-jalan agar ototnya tidak kaku, asal tetap diperhatikan untuk kaki yang patah jangan dulu terlalu banyak melakukan pergerakan supaya proses penyambungan tulangnya berjalan dengan cepat.""Tapi bisa langsung dibawa pulang kan, Dok?""Bisa, sesuai yang sudah saya jelaskan barusan.""Baik Dok, kalau begitu saya permisi dan terima kasih."Setelah dari ruangan Dokter, aku menuju bagian administrasi guna membayar tagihan lalu baru menghampiri Yasa, yang masih setia menungguiku di ruangan perawatan."Gimana?" tanyanya."Bisa langsung pulang, kata Dokternya tidak boleh terlalu banyak bergerak terutama kaki yang patah.""Ya sudah, ayo! tunggu apalagi?""Sa, itu di bawa dong, masa mau kamu tinggal begitu saja.""Kamu serius Nis, mau bawa dia pulang?""Ak
"Sa, anterin aku sekarang bisa?""Ryan gak bisa jemput?"Aku menggeleng tegas, "Bukan pulang, aku mau menemui mantan istrinya yang kembali berulah.""Ada apa lagi, Nisya? Sepertinya masalah kalian nggak ada habisnya.""Nanti aku jelasin, sekarang buruan anterin aku ke rumahnya. Karena jika menunggu Mas Ryan, yang bertindak mau sampai lebaran monyet juga nggak bakalan bereaksi."Bukan sekedar mengantar, Yasa, bahkan ikut turun dan kini kami sudah berada di depan pintu rumah kontrakan Mbak Sarah."Mbak Sarah, keluar! Aku tahu kalau kamu ada di dalam!" seruku sambil mengetuk pintu."Sabar Nisya! ini rumah orang." Yasa mencegahku saat akan kembali melakukan hal yang sama."Yang bilang ini rumahku juga siapa! Aku sudah terlalu sabar ,Sa, selama ini tapi apa? Dia bahkan selalu mengusikku lagi dan lagi."Ceklek!Suara pintu terbuka, menghentikan perdebatanku dengan Yasa,
Setibanya di rumah aku melihat mobil Mas Ryan, sudah terparkir rapi di garasi. Fix, doi beneran marah kali ini dan aku harus siapin mental untuk menghadapinya."Mau aku bantu jelasin ke Ryan?""Nggak usah," tanganku sigap membuka seat belt dan bersiap turun. Namun urung saat aku teringat akan sesuatu yang tertinggal. "Sa... Moly," lirihku menoleh kearahnya."Biar aku yang urus anak pungutmu itu, lebih baik sekarang cepat turun dan temui suamimu sebelum dia benar-benar akan menghajarku!"Aku tidak mendebatnya lagi, karena sama sepertinya aku juga merasa takut buat menemui Mas Ryan. Tapi tidak ada cara lain sebab aku harus tetap menemuinya dan menjelaskan kesalah pahaman ini agar tidak semakin melebar."Kalau butuh bantuan kamu tahu kan harus ke mana?" ujarnya sambil mengelus puncak kepalaku saat aku akan turun dari mobilnya.Kubalas dengan anggukan juga senyuman untuk rasa terima kasihku padanya karena sudah bersedia aku r
Kupercepat langkah kakiku menuju pintu, yang sedari tadi terdengar suara bunyi bel tiada henti. Aku sedang berkutat di dapur, sementara Mas Ryan masih berada di kamar entah apa yang sedang dilakukannya.Setelah pintu terbuka lebar, tidak ada satu orangpun yang kujumpai di depan pintu. Namun aku melihat ada sebuah paket dengan setangkai mawar hitam di atasnya.Mengingat teror yang kami terima belakangan ini, aku urung untuk mengambil paket itu dan kembali masuk untuk memberi tahu Mas Ryan soal ini. Karena terlalu panik aku tidak melihat jika Mas Ryan sudah berada tepat di belakangku sehingga membuatku menubruk dada bidangnya."Hati-hati Sayang!" kedua tangannya sigap merengkuh pinggangku. "Siapa yang datang?" tanyanya kemudian."Bukan siapa Mas, tapi... Mas lihat sendiri saja deh."Aku bergeser ke samping guna memberi jalan Mas Ryan untuk melihat apa yang ada di depan pintu."Mas jangan!" seruku melihat Mas Ryan akan m
Dua minggu sudah berlalu sejak insiden teror yang kembali kami terima. Jujur aku merasa takut, sebab pesan bernada ancaman itu hanya ditujukan kepadaku seorang. Aku bahkan tidak berani untuk keluar rumah sendirian, bayangan seseorang yang akan mencelakaiku membuatku tidak tenang selama berada di luar rumah. Beruntung aku mempunyai suami juga teman yang bersedia untuk mengantar jemputku ke sekolah, karena aku tidak sampai hati untuk mengabaikan pekerjan yang sudah menjadi tanggung jawabku.Mengenai keputusan yang dibuat Mas Ryan, aku tidak lagi dapat berkata-kata. Tanpa pikir panjang, Mas Ryan langsung melaporkan teror itu kepada pihak yang berwajib. Tepatnya setelah aksiku yang berurai air mata, pun dengannya."Seharusnya mas sudah melakukan ini dari dulu, sayangnya mas terlalu menganggap kalau ini hanya masalah sepele. Nyatanya mas salah karena terlalu menyepelekan itu semua, terlepas dari siapa pun pelaku yang terlibat, mas janji akan tetap memprosesnya s