"Kaki sebelah kirinya patah, jadi untuk sementara waktu biarkan dia lebih banyak beristirahat. Tapi bila bosan boleh ajak jalan-jalan agar ototnya tidak kaku, asal tetap diperhatikan untuk kaki yang patah jangan dulu terlalu banyak melakukan pergerakan supaya proses penyambungan tulangnya berjalan dengan cepat."
"Tapi bisa langsung dibawa pulang kan, Dok?""Bisa, sesuai yang sudah saya jelaskan barusan.""Baik Dok, kalau begitu saya permisi dan terima kasih."Setelah dari ruangan Dokter, aku menuju bagian administrasi guna membayar tagihan lalu baru menghampiri Yasa, yang masih setia menungguiku di ruangan perawatan."Gimana?" tanyanya."Bisa langsung pulang, kata Dokternya tidak boleh terlalu banyak bergerak terutama kaki yang patah.""Ya sudah, ayo! tunggu apalagi?""Sa, itu di bawa dong, masa mau kamu tinggal begitu saja.""Kamu serius Nis, mau bawa dia pulang?" "Ak"Sa, anterin aku sekarang bisa?""Ryan gak bisa jemput?"Aku menggeleng tegas, "Bukan pulang, aku mau menemui mantan istrinya yang kembali berulah.""Ada apa lagi, Nisya? Sepertinya masalah kalian nggak ada habisnya.""Nanti aku jelasin, sekarang buruan anterin aku ke rumahnya. Karena jika menunggu Mas Ryan, yang bertindak mau sampai lebaran monyet juga nggak bakalan bereaksi."Bukan sekedar mengantar, Yasa, bahkan ikut turun dan kini kami sudah berada di depan pintu rumah kontrakan Mbak Sarah."Mbak Sarah, keluar! Aku tahu kalau kamu ada di dalam!" seruku sambil mengetuk pintu."Sabar Nisya! ini rumah orang." Yasa mencegahku saat akan kembali melakukan hal yang sama."Yang bilang ini rumahku juga siapa! Aku sudah terlalu sabar ,Sa, selama ini tapi apa? Dia bahkan selalu mengusikku lagi dan lagi."Ceklek!Suara pintu terbuka, menghentikan perdebatanku dengan Yasa,
Setibanya di rumah aku melihat mobil Mas Ryan, sudah terparkir rapi di garasi. Fix, doi beneran marah kali ini dan aku harus siapin mental untuk menghadapinya."Mau aku bantu jelasin ke Ryan?""Nggak usah," tanganku sigap membuka seat belt dan bersiap turun. Namun urung saat aku teringat akan sesuatu yang tertinggal. "Sa... Moly," lirihku menoleh kearahnya."Biar aku yang urus anak pungutmu itu, lebih baik sekarang cepat turun dan temui suamimu sebelum dia benar-benar akan menghajarku!"Aku tidak mendebatnya lagi, karena sama sepertinya aku juga merasa takut buat menemui Mas Ryan. Tapi tidak ada cara lain sebab aku harus tetap menemuinya dan menjelaskan kesalah pahaman ini agar tidak semakin melebar."Kalau butuh bantuan kamu tahu kan harus ke mana?" ujarnya sambil mengelus puncak kepalaku saat aku akan turun dari mobilnya.Kubalas dengan anggukan juga senyuman untuk rasa terima kasihku padanya karena sudah bersedia aku r
Kupercepat langkah kakiku menuju pintu, yang sedari tadi terdengar suara bunyi bel tiada henti. Aku sedang berkutat di dapur, sementara Mas Ryan masih berada di kamar entah apa yang sedang dilakukannya.Setelah pintu terbuka lebar, tidak ada satu orangpun yang kujumpai di depan pintu. Namun aku melihat ada sebuah paket dengan setangkai mawar hitam di atasnya.Mengingat teror yang kami terima belakangan ini, aku urung untuk mengambil paket itu dan kembali masuk untuk memberi tahu Mas Ryan soal ini. Karena terlalu panik aku tidak melihat jika Mas Ryan sudah berada tepat di belakangku sehingga membuatku menubruk dada bidangnya."Hati-hati Sayang!" kedua tangannya sigap merengkuh pinggangku. "Siapa yang datang?" tanyanya kemudian."Bukan siapa Mas, tapi... Mas lihat sendiri saja deh."Aku bergeser ke samping guna memberi jalan Mas Ryan untuk melihat apa yang ada di depan pintu."Mas jangan!" seruku melihat Mas Ryan akan m
Dua minggu sudah berlalu sejak insiden teror yang kembali kami terima. Jujur aku merasa takut, sebab pesan bernada ancaman itu hanya ditujukan kepadaku seorang. Aku bahkan tidak berani untuk keluar rumah sendirian, bayangan seseorang yang akan mencelakaiku membuatku tidak tenang selama berada di luar rumah. Beruntung aku mempunyai suami juga teman yang bersedia untuk mengantar jemputku ke sekolah, karena aku tidak sampai hati untuk mengabaikan pekerjan yang sudah menjadi tanggung jawabku.Mengenai keputusan yang dibuat Mas Ryan, aku tidak lagi dapat berkata-kata. Tanpa pikir panjang, Mas Ryan langsung melaporkan teror itu kepada pihak yang berwajib. Tepatnya setelah aksiku yang berurai air mata, pun dengannya."Seharusnya mas sudah melakukan ini dari dulu, sayangnya mas terlalu menganggap kalau ini hanya masalah sepele. Nyatanya mas salah karena terlalu menyepelekan itu semua, terlepas dari siapa pun pelaku yang terlibat, mas janji akan tetap memprosesnya s
"Ibu nggak papa, kan? Maaf kami sedikit terlambat."Tubuhku masih lemas bagai tak bertulang, kejadian yang aku alami barusan sungguh membuatku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Aku sangatshockdantidak menyangka akan mengalami kejadian menakutkan seperti ini. Selama aku hidup kejadian seperti ini hanya pernah aku lihat di layar televisi,nyatanya sekarang aku mengalaminya sendiri di dunia nyata."Ibu tenang ya, jangan takut sekarang Ibu sudah aman bersama kami."Ucap salah satu dari mereka yang masih terus berusaha untuk membuatku tenang. Satu persatu dari mereka ikut jongkok di depanku dan melihat keadaanku yang mengenaskan."Terima kasih, ibu... nggak tahu jika ...."Aku tidak sanggup lagi meneruskan kalimatku, tubuhku masih bergetar hebat. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika Arka dan teman-temannya tidak segera datang menolongku. Pasti aku sudah tidak bisa selamat dari orang-orang yang sudah b
"Untuk sekarang kamu hanya perlu fokus terhadap istrimu, masalah ini nanti biar papa yang ikut turun tangan.""Terima kasih, Pa. Dan maaf Ryan belum bisa menjaga mereka sebaik yang Papa lakukan."Sayup-sayup aku mulai bisa mendengar obrolan antara Mas Ryan dan papa, ketika akan bangkit aku merasakan nyeri yang teramat berpusat pada perut bagian bawahku. Mungkin mendengar suara rintihanku sehingga kini bukan hanya Mas Ryan, bahkan papa langsung sigap menghampiriku."Sayang! Kamu sudah sadar, butuh apa biar mas ambilkan," ucap Mas Ryan menghampiriku.Setelah aku amati nyatanya bukan hanya Mas Ryan dan papa yang berada di sini, ada mama serta ibunya Mas Ryan yang duduk bersebelahan di sofa. Aku masih sadar ketika Mas Ryan berikut Yasa membawaku ke sini dengan paniknya, sampai akhirnya dokter mengatakan sesuatu yang membuatku langsung tidak sadarkan diri."Ma!" panggilku kepada sosok wanita yang paling berjasa selama perjalanan kehi
"Maafin Nisya, Ma.""Ya, memang seharusnya kamu minta maaf," balas mama."Bukan maksud Nisya seperti itu, Ma. Hanya saja Nisya enggak mau nantinya Mama juga Papa malah ikut kepikiran.""Kamu tahu Nis, kami sebagai orang tuamu dari dulu tidak pernah sekalipun berbuat kasar kepada putri semata wayang kami. Anak perempuan mama satu-satunya, tapi sekarang melihat keadaan kamu seperti ini hancur hati mama Nisya. Mama merasa berdosa karena tidak bisa menjagamu dengan baik.""Ma, ini bukan salah Mama. Maaf Nisya tidak bermaksud untuk merahasiakan ini dari Mama dan Papa. Nisya tidak ingin membut kalian terbebani dengan masalah yang kami hadapi.""Dengan membahayakan nyawamu? Bahkan anak yang keberadaannya belum sempat kalian ketahui juga sudah lebih dulu pergi? Apa kalian pikir itu tindakan yang paling benar?!"Aku tidak dapat membantah ucapan mama, yang beliau katakan memang benar adanya. Tentang aku yang menyembunyikan masa
Suasana hatiku teramat kacau, setelah tanpa sengaja mendengar pembicaraan papa dan Mas Ryan. Aku sudah tidak bersemangat lagi, bahkan jika aku boleh memilih aku akan pergi saja dari sini. Sayangnya aku tidak berdaya untuk itu, sebab kini kondisiku sedang dalam perawatan intensif pasca keguguran. Jika aku nekat pulang akibatnya sangat fatal bagi kelangsungan hidupku kelak, bisa jadi aku akan sulit mendapatkan momongan jika sampai aku tidak patuh terhadap perintah dokter yang menanganiku."Kata Ryan kamu belum makan apapun dari kemarin, mau aku belikan sesuatu? Barangkali kamu ingin makan makanan dari luar."Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku dari sejak kejadian kemarin, bahkan itu kepada Mas Ryan sekalipun aku tetap bungkam dan tidak ingin berbicara dengannya.Hari ini Yasa kebagian menjagaku karena Mas Ryan sudah mulai masuk kantor setelah tiga hari absen."Nis, ayolah jangan seperti ini. Ini bukan akhir dari segalanya Nisya, kamu masih punya kesem