"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini."
"Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu."
"Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku."
"Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."
Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi.
"Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
[Ryan, Alshad sakit! Aku butuh uang untuk membawanya berobat, tolong segera kirim secepatnya, aku tunggu!] Rasanya Ryan sudah mulai muak dengan permintaan Sarah Amalia. Mantan istrinya itu semakin kesini makin sering meminta uang dengan alasan yang hampir sama setiap harinya. [Ryan, kenapa cuma read doang? Ayo cepetan kirim uangnya!] [Atau kamu mau, anakmu ini tambah parah sakitnya?] Kepala Ryan serasa mau pecah, Sarah terus-menerus menerornya. Sedangkan hubungannya sendiri dengan Nisya, istrinya yang sekarang sedang dalam masalah besar, dan yang menjadi sumber masalahnya tak lain adalah mantan istrinya sendiri. Bukan hanya Ryan, tapi Nisya sepertinya sudah diambang batas kesabarannya menghadapi Sarah. Sehingga Nisya memilih untuk menyerah atas pernikahan yang rumit ini. Apalagi sejak kehadiran Sarah, Nisya semakin membulatkan tekadnya untuk bercerai dari
Matahari mulai terbangun dari peraduannya, tetapi netra ini seakan engan untuk menyambutnya. Dekapan hangat dari seseorang yang kini berbagi ranjang denganku semakin membuatku terlena, Ryan Ahmad Salim, pria yang sudah 6 bulan ini menjadi suamiku. Terpaksa aku harus secepatnya bangkit dari kenyamanan ini, karena jika tidak bisa dipastikan kalau kami akan semakin kerepotan, apalagi 'dia' pasti sebentar lagi akan menjerit heboh karena tidak menemukanku ada di sampingnya. Alshad Ahmad Salim, putra semata wayang kami. "Bunda!" teriaknya. Nah kan, sesuai perkiraanku kalau sudah begini mau tidak mau aku memang harus beranjak dari dekapan erat suamiku. "Mas, lepasin itu Alshad sudah teriak-teriak," Dia hanya bergumam dan menggeser lengannya yang semula melingkar erat di pinggangku. Segera kuhampiri anak itu, sebelum teriakannya berubah menjadi tangisan yang sangat menggangu. "Selamat pagi, Al. Gimana tidurnya, nyenyak nggak?" sapaku sambil kupeluk tu
"Percaya sama papa, Ryan orang baik, papa yakin kalau kalian akan cocok nantinya. Lagian papa juga nggak mungkin asal memilih jodoh buat kamu, putri semata wayangnya papa.' Teringat ucapan papa saat beliau memutuskan untuk menjodohkanku dengan Mas Ryan, awalnya aku menolak dengan tegas keinginan papa, bagaimana bisa aku menikah dengan seorang yang sama sekali belum pernah aku kenal. Terlebih dengan statusnya yang seorang duda dengan satu anak. Atas paksaan papa dan juga mama akhirnya mau nggak mau aku terpaksa harus menerima Mas Ryan sebagai suamiku. Tentunya melalui banyak drama dariku yang berusaha agar papa luluh dan membatalkan niatannya itu. Namun ternyata tak seburuk bayanganku, aku mengira akan sulit menjalani pernikahan ini. Terlebih aku juga harus terpaksa menjadi ibu saat itu juga, aku tentu saja takut jika nantinya tidak bisa menjalani kewajibanku sebagai seorang ibu yang baik. Nyatanya ketakutanku terbantahakan pada akhirnya, karena justru kehadi
"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya. "Dikirim lagi?" Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut." "Kali ini gara-gara apa lagi?" "Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut. Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping. "Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu." "Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu." Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, ter
"Kamu kenapa? Mas lihat dari tadi diam saja." "Ah... enggak papa, Mas mau pesan apa?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mas Ryan. "Biar mas saja yang pesan seperti biasanya, kan?" tanyanya sekaligus mencegahku untuk memesan makanan. Aku pun hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, perlakuan manis Mas Ryan tidak hanya dilakukan saat kami di dalam mobil, ketika turun dari mobil dengan cepat Mas Ryan kembali mengambil jemariku untuk dia gandeng dan berjalan memasuki tempat makan yang kami tuju. Setelahnya kami makan dalam diam, karena sudah kebiasaan di rumah jika sedang makan tidak boleh ada yang bersuara. Kulihat Mas Ryan sepertinya memang sangat lapar terbukti dia dengan cepat menghabiskan makanan di piringnya. "Mas, mau nambah lagi?" "Enggak, mas sudah cukup kenyang." "boleh ambil makan punya Nisya kalau Mas mau." "Kenapa? Mau pesan yang lain?" tanyanya. Jangankan pesan lagi ini saja hanya tiga suap yang berhasil
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan